Bab 26
"Ibu, lihat aku!" seru Aleysa dari atas rumah balon yang berwarna-warni.
"Awas jatuh, Sayang!" seruku khawatir.
Bagaimana tidak khawatir melihat Aleysa berada di ketinggian begitu. Walaupun jatuhnya juga di atas balon, tapi resiko terluka atau terlilit tetap ada.
Aleysa pun meluncur dari atas sampai ke bawah dengan selamat. Aku pun menarik napas lega melihat dia tidak apa-apa.
"Sini, Sayang!" panggilku.
Aleysa berlaei sambil melompat-lompat di atas lantai yang terbit dari balon juga.
"Ada apa, Bu?" tanyanya begitu berada di dekatku.
"Jangan naik ke atas lagi, ya. Ibu takut kamu kenapa-kenapa. Nanti papa marah weus ibu di suruh pergi, bagaimana?" kataku menakuti Aleysa.
"Iya, Bu. Aku main di bawah sini aja," sahutnya. Kemudian berlari sambil melompat-lompat lagi.
Alhamdulillah, dia mau menuruti larangan ku. Aleysa memang sangat takut jika aku pergi meninggalkan dia. Jadi dengan ancaman kalau papanya kan mengusirku saja sudah cukup untuk membuatnya menuruti perintah ataupun larangan ku.
Puas bermain di istana yang terbuat dari balon, Aleysa mengajakku ke area bola basket. Dia juga suka bermain permainan itu. Walaupun tubuhnya belum sampai untuk mencapai tepian meja sehingga harus menaiki tangga yang memang disediakan oleh pengelola tempat permainan itu.
Aleysa tampak senang dan menikmati Jalan-jalannya kali ini. Walaupun hanya berdua saja denganku, tapi dia sangat senang dan semangat memainkan semua permainan yang ada di sana.
Pukul 12 lewat lima menit, aku mengajaknya untuk makan siang dulu. Menu ayam goreng yang terkenal itu jadi pilihan kami siang itu. Restoran cepat saji cukup ramai siang itu.
Aku memilih meja di sudut agar tak terganggu lalu lalang orang lain. Aleysa tampak sangat menikmati makannya, dia sudah menghabiskan satu potong ayam goreng ukuran besar beserta nasinya.
"Lho, Alleysa!" seru seorang wanita mengagetkan kami.
Aleysa menoleh sekilas lalu kembali asyik menikmati makanannya. Merasa dicuekin, bukannya pergi wanita itu malah menarik kursi di dekatnya lalu ikut duduk di samping Aleysa.
"Maaf, Ibu siapa?" tanyaku dengan heran.
"Oh, iya saya lupa kenalan. Saya Poppy, rekan bisnisnya Pak Arfan," jawabnya.
Bu Poppy? Oh, jadi dia orangnya yang sudah membuat Aleysa ngambek Minggu lalu. Aku memperhatikan penampilan Bu Poppy, orangnya cantik ditambah dengan penampilannya yang up to date, sayangnya dia tidak mengenakan hijab.
Aku melirik pada Aleysa gak sudah mulai berubah roman wajahnya. Aleysa melihatku dengan wajah cemberut seakan protes dan menyuruhku untuk mengusir Bu Poppy.
Aku tersenyum sambil menepuk punggung tangannya.
"Wah, Aleysa makannya banyak juga, ya. Pantas saja sehat. Nanti kalau sudah jadi anaknya Bu Poppy, akan Ibu buatin masakan yang enak-enak. Aleysa mau, kan?" Bu Poppy sepertinya tak peka dengan keadaan. Dia terus saja bicara tanpa peduli jika Aleysa sudah menunjukkan angka tak suka padanya.
"Tidak! Aleysa tidak mau! Tante bukan ibu aku. Ibu aku itu cuma Bu Intan!" seru Aleysa dengan marah.
Dia berdiri sambil menggebrak meja, aku sjaa sampai kaget melihatnya. Belum pernah Aleysa marah seperti itu. Bu Poppy juga tampak kaget dan syok.
"Aleysa, gak boleh seperti itu! Aleysa lupa, ya, apa pesan Ibu?" ujarku membujuknya.
Aleysa tak menyahut, dia kembali duduk setelah menggeser kursinya mendekat padaku.
"Bu Intan? Siapa dia?" tanya Bidan Poppy kemudian.
"Bu Intan itu ...."
"Aleysa cuci tangan dulu, ya. Kita udah mau pulang. Nanti papa nungguin di rumah," potongku cepat.
Aku tak mau Bu Poppy jadi salah paham kaenqa jawaban Aleysa. Aleysa pun menurut, dia turun dari kursinya lalu berlari ke wastafel untuk mencuci tangannya.
Aku membereskan makanan yang amaih belum tersentuh, lalu meminta plastik pada pelayan yang kebetulan sedang membersihkan meja di sebelah kami.
"Maaf, Bu Poppy. Sebaiknya kalau bicara dengan anak kecil jangan sembarang. Nanti dia jadi berpikir kalau itu benar dan dia jadi marah pada papanya," ucapku sambil tersenyum.
"Maksudnya apa?"
"Begini, Aleysa tidak suka jika Ibu berkata seperti tadi. Dia tidak suka ada orang yang menggantikan posisi mamanya," terangku lagi.
"Oh, seperti itu. Saya tidak bercanda, kok. Saya memang ingin menjadi pengganti ibunya. Saya dan Mas Arfan itu teman lama bahkan sangat dekat sebelum dia berkenalan dengan Mia. Saya sudah menyukainya sejak dulu dan sekarang setelah istrinya meninggal sedangkan saya sudah bercerai dengan suami saya. Jadi saya ingin melanjutkan hubungan kami yang sempat tertunda dulu."
"Saya paham, Bu. Namun, Aleysa masih sangat kehilangan mamanya. Jadi tolong, lebih bijaklah jika bicara dengannya. Jaga hatinya agar dia tidak membenci Ibu," kataku kemudian.
Bu Poppy tampak paham kemudian mengangguk. Dia tersenyum pada Aleysa yang sudah selesai mencuci tangannya. Aleysa tampak cuek dan tak membalas senyuman Bu Poppy.
"Kita pulang, yuk, Bu?" ajaknya kemudian.
"Iya, ini bawa tas kamu!"
Aleysa mengambil tas ransel kecilnya kemudian memakainya di punggung.
"Pamit dulu sama Bu Poppy!" suruhku saat Aleysa sudah akan melangkah pergi.
Aleysa berbalik menatapku, aku mengulang perintahku lagi. Aleysa pun menyalami Bu Poppy tanpa berbicara kemudian melangkah ke arah pintu keluar.
"Kami pulang dulu, ya, Bu," pamitku pada Bu Poppy.
"Oke, take care," sahutnya.
Aku mengangguk lalu meninggalkan Bu Poppy dan menyusul Aleysa yang terus melangkah ke arah lift.
Saat pintu lift terbuka, kami pun masuk ke dalam. Aku menekan tombol lantai satu dan pintu lift pun tertutup. Aleysa hanya diam saja, tak ada sepatah katapun yang diucapkannya.
Aku mengerti kalau hatinya sedang kacau, meskipun dia masih kecil. Lift tiba di lantai satu, aku menggandeng Aleysa ke luar gedung menunggu taksi untuk pulang ke rumah.
***
Keesokan harinya, Aleysa sudah berangkat ke sekolah dengan papanya. Aku pun bersiap untuk pergi ke pasar karena persediaan bahan makanan di dapur sudah menipis.
Pak Dirman sudah menunggu di depan rumah seperti untuk mengantarkan aku ke pasar.
"Sudah siap, Mbak?" tanya Pak Dirman begitu aku masuk ke mobil dan duduk di sampingnya.
"Sudah, Pak," jawabku sembari tersenyum.
Pak Dirman pun melajukan mobilnya menuju ke pasar. Sesampainya di pasar, Pak Dirman langsung pergi karena harus pergi ke kantornya Pak Arfan. Ada tamu yang harus diantarnya sedangkan sopir di kantor sedang keluar semua.
Aku pun melangkah masuk ke pasar, tapi baru saja dia langkah aku berjalan, terdengar suara memanggil namaku. Namun, aku terus melangkah karena kupikir hanya salah dengar saja.
"Intan!" Kembali terdengar suara memanggil namaku.
Aku menoleh ke belakang dan terkejut melihat seorang wanita bule berdiri di belakangku.
"Kamu siapa?" tanyaku karena memang tak mengenalnya.
Wanita itu malah tertawa kemudian mengulurkan tangannya.
"Kenalkan! Aku Kristin," jawabnya.
Bersambung.