Bab 27
Wanita tersebut memperkenalkan dirinya dengan nama Kristin.
Oh, Kristin. Jadi wanita ini pacar Mas Gupta yang berasal dari Singapura itu dan dia sudah fasih berbahasa Indonesia. Pasti Mas Gupta yang mengajarinya.
"Kristin yang mana, ya?" tanyaku pura-pura tak tahu.
Kristin tampak mengernyitkan dahinya, tapi tak alam kemudian dia tersenyum lagi.
"Aku pacarnya Mas Gupta," jawabnya kemudian.
"Oh, pacarnya Mas Gupta. Kok masih pacar saja, apa kalian belum menikah?" tanyaku heran.
Susah beberapa bulan aku dan Mas Gupta berpisah. Surat putusan cerai dari pengadilan juga sudah keluar, seharusnya Mas Gupta juga sudah bisa menikah dengan pacarnya. Walaupun sebenarnya tidak perlu menunggu perceraian kami resmi, Mas Giota tetap bisa menikah dengannya.
"Boleh minta waktunya sebentar? Aku ingin bicara penting."
Kristin meminta waktu untuk bicara denganku. Aku memerintahkan sejenak lalu menyetujui permintaannya. Aku pun mengajaknya ke warung di dekat pasar yang sudah buka pagi itu.
Aku memesan segelas teh hangat karena aku sudah sarapan, sedangkan Kristin memesan bubur ayam dan segelas teh hangat untuknya. Sepertinya dia belum sempat sarapan di rumahnya.
Aku jadi penasaran di mana Kristin tinggal jika dia belum menikah dengan Mas Gupta. Apa mereka tinggal satu atap tanpa menikah alias kumpul kebo?
Huh! Sungguh menjijikkan jika hal itu sampai terjadi.
Tak lama makanan yang dipesan Kristin pun datang. Dia pun segera memakan bubur ayam tersebut dan dalam waktu singkat sudah ludes tak bersisa.
"Sepertinya kamu lapar berat, ya?" tanyaku sembari tersenyum.
"He-he-he, iya. Aku lapar banget, soalnya aku langsung pergi tanpa sarapan tadi," jawabnya.
"Oh, jadi sekarang kau inggal di Indonesia. Sejak kapan, apa kamu tinggal di rumahnya Mas Gupta?" tanyaku lagi.
"Iya, aku tinggal di sana. Mas Gupta tidak mengizinkan aku untuk tinggal di tempat lain."
Aku menghela napas mendengar jawaban Kristin. Ternyata benar, dia tinggal di sana. Apa mereka sudah melakukan hal itu di kamar dan tempat tidur yang pernah kutempati?
Memikirkannya aku jadi sebal sendiri. Kemudian, aku tersadar kalau aku sudah tidak ada hak untuk melarang apapun yang dilakukan oleh Mas Gupta. Itu hak dia, apapun yang dikerjakannya adalah tanggung jawab dia sendiri.
"Intan, aku mau bertanya padamu, boleh, kan?" tanya Kristin dengan ragu.
"Tanya, aja. Kalau aku bisa jawab, pasti aku akan jawab."
"Aku ingin tahu ... mengapa kamu sampai berpisah dengan Mas Gupta?" tanyanya lagi.
"Apa Mas Gupta tidak memberitahu kamu apa alasan perceraian kami?" Aku malah balik bertanya.
Kristin menggeleng, berarti Masih Gupta tidak menceritakan tentang amsalah bekas operasi itu pad siapapun. Sebab, di pengadilan perceraian kami pun poin tersebut tidak diutarakannya.
Diam-diam aku merasa berterima kasih pada mantan suamiku itu. Dia menutupi aibku dengan rapat. Jujur, sebenarnya aku sudah mulai ada rasa sayang padanya, tapi, begitulah! Jodoh kami tenyata hanya beberapa bulan saja.
Kepergian orang tuanya yang tiba-tiba memudahkan jalan untuk kami berpisah.
"Kalau Mas Gupta tidak memberitahu kamu, berarti aku juga tidak perlu menjawab pertanyaan kamu tadi, kan, Kristin?"
"Tapi aku penasaran, aku ingin tahu mengapa sampai dia memutuskan untuk berpisah dengan kamu," ucap Kristin dengan semangat.
"Menurut kamu apa alasannya?"
"Kok malah balik bertanya padaku?"
"Hanya ingin tahu menurut pendapat kamu saja, kok," ucapku santai.
"Sudahlah, kamu itu aneh Intan. Aku bertanya karena ingin yabunalaaan yang sebenarnya, kamunamlah balik ikut bertanya, ini gimana sih, sebenarnya!"
Aku hanya tertawa saja melihat Kristin yang berlalu meninggalkanku sambil mengomel. Aku pun kembali melanjutkan acara belanja yang sempat tertunda tadi.
Setelah selesai berbelanja, aku pun kembali ke rumah dengan menumpangi angkot.
***
Drrrtt! Drrttt! Drrrtt!
Aku menghentikan kegiatan memasak karena ponselku berteriak minta diangkat. Ternyata panggilan dari ibuku, segera saja kujawab dengan perasan berdebar.
"Hallo, Assalamualaikum, Bu," jawabku.
"Waalaikumsalam, Nduk, hikss ayah kamu ...."
Pandanganku mendadak kabur saat mendengar berita yang disampaikan oleh ibuku.
Ayah kembali drop seperti dulu, setelah beberapa tahun ini kesehatannya mulai membaik.
"Ibu jangan panik, ayah pasti akan baik-baik saja, Bu," bujukku.
Ibu masih menangis tersedu, sampai aku mendengar suara seorang pria di sampingnya.
"Halo, Intan. Ini pakde Karto, ibu kamu masih syok. Begini ayah kamu ...."
Pakde Karto, saudara tuanya ayahku pun menenangkan kondisi ayah sekarang.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan ibu saat menemukan ayah jatuh tersungkur di kamar mandi pagi tadi. Untung saja Pakde Karto yang tinggal di sebelah rumah kami belum pergi ke kantor kelurahan tempatnya bekerja.
Beliau lah yang membantu ibu mengangkat dan membawaku ayah ke Puskesmas. Ayah pingsan dan belum sadarkan diri sampai sekarang. Pihak Puskesmas merasa tak sanggup untuk menangani ayah.
"Sekarang bagaimana, Pakde?" tanyaku sedih.
"Ini masih diusahakan untuk dirujuk ke rumah sakit di kabupaten, Nduk. Menurut kamu, gimana?" Pakde malah balik bertanya.
"Intan juga gak tahu, Pakde. Hikss, gimana ini, ya."
Aku semakin kalut, bingung dan sedih serta cemas menjadi satu. Ayahku kritis di kampung, sedangkan aku tak bisa apa-apa.
"Ya, sudah kalau begitu. Kamu tenang saja, Pakde yang akan mengurus semuanya di sini," jawab Pakde Karto.
"Iya, Pakde. Terima kasih."
Pakde Karto mengakhiri panggilannya,.aku pun menangis tersedu di ruang tengah. Aku bebas menangis karena tak ada orang lain di sekitar diriku.
Hatiku terasa sakit mengingat keadaan ayahku yang sedang sakit. Ingin pulang saja ke amling saat ini juga, tapi pasti tidak diizinkan oleh Pak Arfan mengingat aku masih baru bekerja di kantor ini.
"Ayah!" rintihku.
Aku menangis sembari menelungkupkan kepala ke meja kaca yang ada di depanku.
"Intan, kenapa kamu menangis?" tegur Pak Arfan membuatku kaget.
Aku pun spontan menghapus air mataku lalu mencoba bicara dengan nada biasa saja.
"Pak Arman, kok kembali lagi? Apa ada yang tertinggal?"
"Heem, berkas saya tertinggal di kamar. Kenapa kamu menangis tadi. Apa ada yang mengganggu perasaan kamu?"
"Saya sedang sedih, Pak. Ayah saya kembali sakit. Dan puskesmas tidak bisa menangani penyakitnya, sekarang Pakde Karto sedang mengurus agar ayah bisa dirujuk ke rumah sakit di kabupaten," jawabku.
"Ayah kamu sakit? Apa beliau bisa dibawa perjalanan jauh?" tanya Pak Arfan tak berapa lama setelah dia diam berpikir.
"Maksudnya, Pak?" Aku balas bertanya.
"Iya, coba kamu tanya sama yang di sana! Apa ayah kamu sanggup dibawa dalam perjalanan jauh. Jika bisa, bawa saja ke sini. Saya akan mengurus dan bertanggung jawab semua biaya perobatan ayah kamu di sini," terang Pak Arfan membuatku kaget.
Ini maksudnya apa Pak Arfan menyuruhku membawa ayah untuk berobat ke Jakarta?
"Cepat Intan, hubungi pakde kamu. Suruh dia bawa Ayah kamu ke Jakarta kalau memang dokter mengizinkan!"
Pak Arfan mengulang perintahnya lagi.
Bersambung.