Chereads / Dosa Yang Manis / Chapter 22 - Berbincang

Chapter 22 - Berbincang

Bab 22

POV Intan

Detak jam dinding turut menemaniku malam itu. Aku gak bisa tidur, pikiranku terus berkelana jauh sampai ke kampung halamanku. Ayah dan ibuku pasti tengah bersedih saat ini, mereka merasa gagal sebagai orang tua saat menerima surat keputusan cerai dari pengadilan siang tadi.

Mas Gupta, mengingatnya menimbulkan rasa nyeri di sudut hatiku. Bukan salahnya jika kemudian mengambil keputusan untuk menceraikan diriku. Akulah yang bersalah dalam hal ini.

Aku tak berani berterus terang tentang bicara padanya tentang masa laluku. Dosa di masa lalu yang kini telah menjadi seorang gadis kecil yang cantik dan manis, Aleysa yang kini kuasuh dengan penuh kasih sayang.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan di pintu kamarku. Siapa yang mengetuk pintuku di jam segini. Kulirik jam di dinding, sudah hampir pukul tiga pagi. Ketukan itu kembali terdengar, kali ini dibarengi dengan suara Pak Arfan yang mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Intan. Aku ingin bicara?" serunya dari luar.

Segera saja kubuka pintu kamarku, tampak Pak Arfan tengah berdiri di depanku dengan pakaian tidurnya.

"Ada apa, Pak. Ini masih jam tiga pagi, lho," ujarku mengingatkan dia.

"Aku tahu, tapi lampu kamar kamu masih menyala sejak tadi. Jadi aku rasa kamu juga tak bisa tidur, kan?" tanya Pak Arfan.

Dengan ragu aku mengangguk, kemudian Pak Arfan mengajakku ke ruang tengah. Rupanya dia sudah sejak tadi berada di situ, buktinya ada secangkir kopi yang tinggal separuh saja tersisa.

"Duduk, Intan. Aku ingin bicara!" ajaknya.

Aku pun menjatuhkan bobot di kursi sofa yang lebih kecil. Tak mungkin aku duduk berdekatan dengan Pak Arfan. Walau bagaimanapun kami bukanlah muhrim dan sekarang sedang aja dia orang di antara kami berdua.

"Bapak mau bicara apa?" tanyaku.

"Hmm, kenapa kamu tidak bisa tidur?"

Haish, ternyata dia masih kepo dengan keadaanku. Kukira dia ingin curhat padaku.

"Kenapa bapak ingin tahu?" balasku bertanya.

"Itu karena ... ehm, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Tapi aku ingin tahu dulu perasaanmu saat ini," jawabnya dengan wajah bingung.

Pak Arfan aneh!

"Jadi apa kamu masih bersedih karena perceraian itu. Kalau boleh tahu apa yang menyebabkan kalian bercerai?" cecar Pak Arfan lagi dengan pertanyaannya.

Aku hanya bisa melongo melihat kekepoan Pak Arfan. Ini maksudnya apa, ya? Kenapaa dia jadi ingin tahu ke apa aku sampai bercerai dengan Mas Gupta?

"Saat ini, saya tidak tahu bagaimana perasaan saya, Pak, sebab saya sedang berbahagia bisa sedekat ini dengan Aleysa. Itu semua karena kemurahan hati, Bapak. Jadi, saya ingin mengucapkan terima kasih."

"Sebenarnya, itulah masalahnya, Intan. Sebelum Mia meninggal dunia, dia sempat berpesan agar aku ... manikahi kamu," ucap Pak Arfan ragu.

Apa?! Bu Mia meminta suaminya untuk menikahi aku? Maksudnya apa lagi ini? Aku semakin pusing saja mendengar ucapan Pak Arfan.

"Maksudnya bagaimana, Pak? Saya tidak mengerti," balasku kemudian.

Pak Arfan menatapku sejenak, lalu mengalirkan cerita dari mulutnya. Bahwa sebenarnya sebelum meninggal dunia, Bu Mia sempat berpesan kalau dia tidak ingin Aleysa diasuh oleh ibu tiri yang jahat. Jadi dia meminta Pak Arfan untuk mencari dan menikahiku.

Kebetulan sekali, kami malah bertemu karena kecelakaan Aleysa dulu. Apa ini memang sudah jalannya, agar aku bisa mengurus anakku sendiri. Entahlah, aku tak bisa menemukan jawabannya.

"Bagaimana, Intan? Menurutmu, apa yang harus saya lakukan sekarang" tanya Pak Arfan setelah mengakhiri ceritanya.

"Sa-saya juga tidak tahu, Pak. Ini begitu mengejutkan bagi saya."

"Saya paham, jadi biar saja ulu seperti ini. Mia ingin aku menikahi kamu agar tidak di asuh oleh ibu tiri yang jahat. Jadi, selama aku tidak menikah, mungkin itu tidak akan jadi masalah. Benar, kan, begitu?"

"Benar juga, Pak. Kalau bapak tidak menikah, Aleysa tidak akan diasuh oleh ibu tiri yang jahat. Sedangkan sekarang saya sudah jadi pengasuhnya sekarang, jadi kita tidak perlu menikah," sambungku dengan gembira.

Pak Arfan tampak mengangguk, tapi sejurus kemudian, dia kembali berwajah murung.

"Akan tetapi, Intan. Bagaimana soal mimpiku kemarin? Apa itu bukan pertanda kalau Mia tidak tenang di sana sebab keinginan terakhirnya belum terwujud?"

"Bisa jadi seperti itu, tapi bisa juga karena bapak terlalu memikirkan Bu Mia, sehingga dia datang ke dalam mimpi Bapak," jawabku.

"Hmm, benar. Jadi anggap saja seperti itu, ya. Oke kalau begitu, aku merasa lega sekarang. Semoga saja Mia mau mengerti dan tak menggangguku lagi," ucap Pak Arfan penuh harap.

"Semoga saja, Pak," sahutku.

Pak Arfan pun mengangguk sembari tersenyum, kemudian pamit untuk salat Subuh. Tak terasa kami sudah mengobrol selama dua jam, azan Subuh sudah terdengar dari pengeras suara di masjid depan komplek.

Aku juga segera melaksanakan ibadah salat Subuh, setelah itu membereskan kamarku lalu membangunkan Aleysa.

Rutinitas setiap pagi memang seperti itu, sambil menunggu Aleysa bersiap, aku pun menantu sedikit pekerjaan si bibi di dapur.

Pukul setengah tujuh, kami sudah duduk di meja makan untuk sarapan pagi. Selesai sarapan, Aleysa akan diantar oleh papanya ke sekolah.

"Nanti kamu jemput jam setengah sebelas, ya, Mia. Soalnya hari ini Pak Dirman harus menemani saya ke Tangerang untuk menemui klien.

"Baik, Pak," sahutku.

Pak Arfan pun pergi menuju ke kantornya. Sementara itu, aku kembali membantu si Bibi merapikan ruang makan dan juga peralatan makannya, kemudian lanjut memasak makanan untuk makan siang nanti.

Pukul sembilan aku pun mulai bersiap untuk menjemput Aleysa. Rencananya, sebelum ke kantor, aku ingin mengirimkan paket ke kampung.

Paket berbungkus kertas warna coklat itu sudah berisi daster dan baju untuk kedua orangtuaku, yang kubeli saat aku diajak Pak Arfan menemaninya dan Aleysa ke mal dua hari yang lewat.

Setelah selesai bersiap, aku pun pergi dengan menumpang taksi menuju ke kantor penitipan kilat khusus. Letaknya agak jauh, tapi searah dengan sekolahnya Aleysa.

Jadi aku berangkat lebih awal agar tak terlambat untuk menjemputnya nanti.

"Beres, paket sudah dikirim. Sekarang, aku langsung ke sekolahnya Aleysa saja," ucapku pada diri sendiri. Jarak ke sekolah Aleysa sudah dekat, jadi aku memilih untuk berjalan kaki saja.

Untung saja cuaca siang itu tidak terlalu terik, bahkan sepertinya agak mendung. Sambil menikmati suasana di sekitar, aku terus melangkah. Sekolah Aleysa sudah kelihatan olehku, aku pun menyeberang karena posisi sekolahnya memanfaatkan dan di seberang jalan.

Ciitttt!

Aku berdiri mematung di tengah jalan, karena tiba-tiba saja sebuah mobil yang sedang mengebut hampir saja menabrakku. Untung saja pengemudinya masih sempat mengerem dan berhenti tepat satu langkah di depanku.

Pengemudinya pun keluar dan menghampiriku.

"Intan!"

"Mas Gupta!"

Aku dan Mas Gupta berseru bersamaan.

Bersambung.