Chereads / Dosa Yang Manis / Chapter 23 - Berdebar

Chapter 23 - Berdebar

Bab 23

Aku dan Mas Gupta saling menyebutkan nama dengan kagetnya. Kami saling bertatapan dalam diam di tengah jalan raya. Sungguh aku tidak menyangka jika aku akan bertemu dengannya di sini. Rupanya dia juga sudah kembali ke kota. Aku baru akan menyapa Mas Gupta saat klakson mobilnya berbunyi.

Spontan aku menoleh ke mobil dan melihat ada seorang wanita berambut pirang duduk di dalam mobil. Siapa dia? Ah, pasti itu Kristin, kekasihnya Mas Gupta. Ternyata mereka sudah hidup bersama sekarang. Syukurlah jika Mas Gupta akhirnya bisa menikmati kehidupan bahagia dengan orang yang dicintainya.

Aku pun melihat Mas Gupta yang tampak gugup lalu segera berlari ke mobil tanpa pamit padaku. Tak lama kemudian, mobil pun segera melaju kembali meninggalkan aku yang masih berdiri termangu di tengah jalan.

"Mbak, jangan bengong di sini. Ayo kita ke tepi jalan!" ajak seseorang di sampingku.

Aku pun tersenyum saat melihat gurunya Aleysa yang menepuk bahuku tadi. Kami pun berjalan ke arah depan sekolah. Aku masih sedikit terkejut dengan kejadian tadi.

Hampir saja nyawaku melayang karena Mas Gupta. Beruntung aku masih diberi umur panjang oleh Allah SWT. Aku pun mengucapkan puji syukur di dalam hati.

"Ibu kenapa?" tanya Aleysa begitu aku tiba di dekatnya.

"Ah, gak apa-apa, Sayang. Kamu sekolahnya sudah selesai. Kita pulang sekarang, ya. Tapi Ibu pesan taksi online dulu," sahutku.

Aleysa yang berdiri di samping gurunya pun mengangguk. Aku pun mengambil ponsel di dalam tas kecilku lalu memesan sebuah taksi di aplikasi online.

"Sudah selesai, kita tunggu sebentar, ya," kataku setelah selesai memesan taksi.

"Iya, Bu. Aku main ayunan di sana dulu, ya, Bu!"

"Iya, tapi hati-hati. Jangan sampai jatuh, ya!" seruku.

"Iya, Bu!" sahut Aleysa sambil berlari menjauh.

Gurunya Aleysa yang sejak tadi hanya mendengarkan saja pumbertanya padaku setelah Aleysa menjauh.

"Aleysa memanggil Mbak dengan sebutan Ibu?" tanyanya.

"Iya, Bu Guru. Soalnya kata Aleysa saya terlalu tua untuk dipanggil Mbak, he-he-he," jawabku berbohong.

Bu Guru yang kutahu bernama Yeni itu pun mengangguk, tapi matanya memandangku kemudian melihat pada Aleysa. Perasaanku mulai tidak enak, pasti sebentar lagi dia akan berkata kalau wajah kami sangat mirip satu sama lain.

"Maaf, apa ada yang ingin ditanyakan lagi, Bu?"

"Ada, Mbak Intan. Kalau saya perhatikan, wajah kalian berdua emang mirip, lho. Seperti ini dan anak saja," lanjutnya.

Nah, benar, kan? Seperti biasa aku berkelit dan menjawab kalau itu mungkin hanya kebetulan saja. Syukurnya, taksi yang kupesan sudah datang, aku pun selamat dari cecaran pertanyaan Bu Yeni.

Apa iya wajah kami sangat mirip? Ini bahaya, bagaimana kalau akhirnya orang-orang menyadari dan mulai bertanya-tanya.

"Bu, kita sudah sampai!" seru Aleysa mengagetkanku.

Seketika lamunanku pun buyar. Bergegas aku turun setelah membayar ongkos taksinya.

***

Sore harinya, Aleysa baru saja bangun dari tidur siangnya. Aku pun menyuruhnya untuk mandi karena sore ini, Pak Arfan akan mengajaknya ke pesta ulang tahun anak akan kerjanya.

Aleysa sudah berdandan cantik dengan pakaian ala princess sewarna biru laut kesukaanku yang juga kesukaannya. Aku tersenyum melihat kecantikan anakku itu.

"Assalamualaikum," salam Pak aarfan dari depan pintu.

"Waalaikumsalam, Papa. Kita langsung berangkat?" tanya Aleysa tak sabaran.

"Tidak, dong, Sayang. Papa mandi dulu, bau asem, nih," jawab Pak Arfan sambil menyodorkan tubuhnya ke Aleysa.

"Oh, Papa bau! Mandi dulu, sana!" seru Aleysa panik sambil menutup hidungnya.

Aku yang sedang menyapu di ruang tengah tertawa melihat Pak Arfan yang sengaja menggoda Aleysa. Mereka berlarian di ruang tamu lalu beralih ke ruang tamu.

"Eh, Aleysa udah mandi, kan. Jangan lari-larian lagi, nanti keringatan jadi bau asem juga kayak Papa!" seruku saat mereka berlarian mengelilingiku.

"Heem, i i juga udah gerah. Ngadem dulu, ah, di kamar!" jawabnya sambil mendorong tubuhku sebelum berlari ke kamarnya.

Aku yang tak siap di dorong seperti itu jadi oleng ke samping. Hampir saja aku terjatuh jika Pak Arfan tidak cepat menangkap tubuhku. Kami pun berpelukan beberapa saat.

Entah mengapa detak jantungku mendadak berdetak lebih kencang. Hembusan napas Pak Arfan terasa hangat menerpa wajahku saking dekatnya jarak kami.

"Pak, saya bisa berdiri sendiri," ucapku gugup mencoba meredakan debaran di dadaku.

"Oh, iya. Maaf, Intan," jawab Pak Arfan sambil melepaskan tubuhku.

Pak Arfan pun segera masuk ke kamarnya, sementara aku meneruskan kegiatan bersih-bersih yang sempat tertunda karena insiden tadi.

Setelah selesai, aku mengembalikan sapu dan alat pel yang kugunakan ke tempatnya semula.

Pintu kamar Aleysa terbuka, anakku tersebut sudah rapi kembali.

"Papa belum selesai, Bu?" tanya Aleysa.

"Belum, Sayang. Kami duduk aja di situ. Jangan banyak gerak, nanti keringatan lagi!" jawabku.

Aleysa menurut, tak lama kemudian papanya pun keluar dari kamar dan mereka pun langsung berangkat berdua saja.

Sepeninggal mereka berdua, aku merasakan kesunyian yang sangat mendalam. Entah mengapa, di hatimu bisa terbit keinginan untuk pergi bersama mereka. Namun, sepertinya memang Pak Arfan hanya menganggap ku sebagai pengasuh anaknya saja. Tidak lebih dan tidak kurang, sehingga dia tak mengajakku ke pesta ulang tahun temannya itu.

Drrttt! Drrttt! Drrttt,!

Ponselku berdering tiba-tiba, rupanya panggilan video dari Ibu. Aku pun segera menekan tombol hijau dan wajah ibu langsung muncul memenuhi layar ponselku.

[Assalamualaikum, Bu. Apa kabar?] tanyaku berbasa-basi.

[Waalaikumsalam, ibu dan ayah baik-baik saja, Intan. Kami sedang berada di mana. Sepertinya kamar kamu mewah banget. Pasti biaya kostnya mahal, ya?]

Aku menatap ke sekelilingku, sekarang aku memang tengah berada di kamar Pak Arfan karena hendak mengambil pakaian keejanya yang kotor tadi.

[Eh, iya, Bu. Ini kamar Bos aku dulu. Ibu ingat Pak Arfan?]

[Pak Arfan? Sepertinya pernah dengar. Sebentar ibu ingat dulu ... oh, iya. Bukannya itu mantan bos kamu yang dulu, Intan. Sedang apa kami berada di rumahnya?] tanya ibu dengan suara terdengar panik.

Aku pun menceritakan tentang meninggalnya Bu Mia juga tentang Aleysa yang harus kehilangan pengasuhnya karena kecelakaan lalu lintas beberapa waktu yang lalu.

[Pak Arfan memintaku untuk menemani Aleysa beberapa waktu sampai dia bisa menerima kehillangan Mama dan pembantunya, Bu,] jawabku berterus terang.

[Oh, begitu. Kasihan sekali nasib siapa tadi namanya?] tanya ibuku lagi.

[Aku juga gak percaya kalau tidak mengalami sendiri, Bu.]

[Sekarang di mana anaknya?]

[Sedang pergi bersama papanya, Bu.]

[Ya sudah kalau begitu. Ibu pamit dulu, kamu hati-hati, ya!] ujar ibuku.

Panggilan pun berakhir setelah aku mengucapkan salam, dan ibu menjawabnya. Aku pun menarik napas lega karena ibuku tak keberatan dengan pekerjaan yang kujalani saat ini.

Bersambung.