Bab 21
Suara alarm membangunkan aku dari tidur yang gelisah sepanjang malam. Mimpi bertemu dengan Mia dan permintaannya itu membuat aku jadi tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Sekarang, aku terbangun dengan kepala yang terasa pusing. Pandangan mata juga berkunang-kunang, sepertinya tekanan darahku turun karena kurang tidur semalam.
Arrrgggh! Kenapa harus begini, sih?
Kuremas rambut dengan kesal. Mengapa hidupku jadi seperti ini? Kehilangan istri yang sangat kucintai dengan permintaannya yang sangat sulit kuturuti.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan di pintu membuat ku terpaksa bangkit dan berjalan perlahan untuk membukanya.
"Selamat pagi, Pak Arfan. Anda baik-baik saja, kan? Tak biasanya Bapak bangun kesiangan."
Intan bertanya setelah aku membuka pintu kamarku. Kepalaku mendadak terasa pusing lagi dan pandangan mataku kembali berkunang-kunang.
"Aku ...." Aku tak dapat melanjutkan kata-kataku karena semuanya menjadi gelap.
Sebelum kesadarannya hilang, masih sempat kudengar Intan berteriak memanggil Pak Dirman. Lalu semuanya gelap.
______
"Bagaimana, Dok? Apa Pak Arfan baik-baik saja?" Sayup aku mendengar suara Intan bicara di sampingku.
"Heem, sepertinya Pak Arfan kecapekan baik fisik maupun psikisnya. Maklumlah, dia baru aja kehilangan orang yang paling dicintainya. Namun, dia tidak apa-apa, sebentar lagi juga akan sadar. Biarkan dia beristirahat dahulu. Ini obat untuk menambah stamina tubuhnya."
Sepertinya itu suara Dokter Wina yang rumahnya sekitar dua blok dari rumahku. Pasti Pak Dirman yang memanggilnya, aku sudah sadar dan mendengar semuanya. Namun, mataku masih terasa berat untuk dibuka.
"Ooo, begitu, ya, Dok. Baiklah, kalau begitu terima kasih, Dok. Maaf sudah mengganggu waktunya," ucap Intan lagi dengan sopan.
Gadis itu memang sangat santun menghadapi siapapun. Aku merasa heran mengapa Gupta sampai melepaskan Intan yang baik dan cantik itu.
Sepertinya Dokter Wina dan Intan sudah pergi, sebab tak ada lagi suara mereka di dekatku. Aku pun mencoba untuk membuka mata yang masih terasa berat ini. Langit-langit kamar yang berwarna biru, warna kesukaan Mia langsung tampak di depan mataku.
"Eh, Bapak sudah sadar. Gimana, apa ada yang sakit? Kepala atau punggungnya? Soalnya tadi Bapak terjatuh cukup keras, saya gak sempat menahan tubuh bapak," terang Intan yang baru saja masuk ke kamarku lagi.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja, Mia," sahutku sambil berusaha bangkit dari berbaring ku.
"Intan, Pak. Aku Intan, Bu Mia sudah pergi dan tenang di alam sana. Bapak harus ikhlas merelakannya," sahut Intan.
Dia membantuku untuk duduk dan bersandar di dashboard tempat tidurku. Aku mendesah pelan lalu berkata, "tidak, Intan. Mia belum tenang di sana. Ada permintaannya yang belum bisa dipenuhi."
"Maksud, Bapak?" tanya Intan tak mengerti.
Tentu saja dia tak mengerti dan bingung dengan perkataan ku tadi. Sama sepertiku yang juga bingung bagaimana menceritakan awal mulanya pada Intan.
"Tidak apa-apa, oh, ya, Aleysa mana?" tanyaku mengalihkan perhatiannya.
"Ada di kamarnya, Pak. Dia tidak jadi pergi ke sekolah, sebab aku dan Pak Dirman sibuk mengurus Bapak tadi," jawabnya.
"Tak apa, terima kasih sudah membantuku, Intan," ucapku tulus.
Intan tersenyum dan tiba-tiba ponselnya berbunyi.
"Saya terima telepon dulu, ya, Pak?" katanya sambil berjalan menjauh dariku.
Intan menerima panggilan telepon di dekat pintu, sehingga aku bisa melihat ekspresinya yang berubah menjadi sedih. Intan lebih banyak diam mendengar si penelepon berbicara. Tak lama kemudian, dia menyimpan ponsel ke dalam kantong roknya.
Dia berjalan pelan ke arahku, lalu bertanya apa yang ingin kumakan siang ini.
"Siapa yang menelepon, kenapa wajahmu berubah jadi sedih seperti itu?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Intan tadi.
"Itu ... ah, bukan apa-apa, kok, Pak," sahutnya mengelak.
Dia mencoba tersenyum, tapi aku sudah hafal dengan sikap Intan sehingga tidak mudah ditipu dengan senyum manisnya itu.
"Ceritakan Intan, agar kesedihanmu berkurang!" suruhku kemudian.
Intan menghela napas sebentar kemudian bercerita kalau yang meneleponnya tadi adalah ibunya. Beliau membaringkan kabar kalau surat putusan dari pengadilan sudah sampai.
Intan dan Gupta sudah resmi bercerai secara hukum dan agama. See, sepertinya alam mendukung keinginan terakhir Mia. Sekarang, intan sudah berpisah dan resmi menyandang status janda muda.
Aku jadi merasa galau, apa aku katakan saja sekarang padanya? Tapi, tidak! Aku tak mau menambah beban pikiran Intan. Dia sudah banyak masalah karena Gupta, aku tak mau fokus Intan jadi terbagi sehingga mengabaikan Aleysa.
"Apa kamu bersedih, Intan?" tanyaku sekedarnya
Tak enak rasanya berdiam diri dalam waktu lama, sebab sejak tadi Intan hanya diam menunduk di sampingku.
"Terus terang, tentu saja aku sedih, Pak. Gupta marah karena sesuatu yang tak mungkin kuceritakan padanya. Dia ... ah, sudahlah! Sebaiknya bapak istirahat sekarang biar staminanya pulih kembali!'"
Intan memaksaku untuk tidur kembali, terpaksa aku memejamkan mata dan anehnya aku pun kembali terlelap.
______
Aku terjaga saat hari sudah gelap, itu kutahu dari lubang angin yang ada di atas jendela. Suara khas hewan malam juga langsung masuk ke Indra pendengaranku.
Kulihat jarum jam di dinding sudah menunjukkan angka tujuh. Ternyata cukup lama juga aku tertidur. Kenapa Intan tidak membangunkan aku?
Aku pun berusaha untuk bangkit dan duduk di tepi tempat tidur. Sepertinya tubuhku sudah enakan. Kepala sudah tidak pusing lagi dan pandanganku jga jelas dan jernih.
Perlahan, aku berdiri lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Segar sekali rasanya setelah mandi dan berganti pakaian. Aku pun keluar dari kamar karena perutku terasa lapar.
Sepi, tak ada siapapun di luar. Sepertinya Intan dan Aleysa sudah selesai makan malam. Aku pun berinisiatif pergi sendiri ke dapur. Berharap masih ada sisa makanan yang masih bisa kumakan.
Ceklek!
Suara pintu terbuka membuatku menoleh ke asal suara. Ternyata Intan dan Aleysa yang keluar dari kamarnya.
"Papa! Papa sudah sembuh?" tanya Aleysa sambil berlari menghambur ke pelukanku.
"Hmm, sudah, Sayang. Kamu sudah makan?"
"Ini baru mau makan, tadi belajar mengaji dulu sama Bu, eh, Mbak Intan," jawab Aleysa hampir salah memanggil Ibu pada Intan.
Intan tampak salah tingkah saat kulirik, aku pun menyuruhnya untuk menyiapkan makan malam karena aku sudah sangat lapar.
Intan pun bergegas ke dapur dan tak lama kemudian, hidangan lezat penggugah selera sudah terhidang di atas meja makan.
Sambil menikmati hidangan, aku terus mencuri pandang pada Intan. Sebenarnya dia bisa jadi calon istri yang sempurna. Wajahnya kelihatan semakin cantik, tapi bagiku masih jauh lebih cantik Mia. Ah, lagi-lagi permintaan Mia kembali melintas di pikiranku.
"Kamu harus segera menikahi Intan, Mas. Aku tak mau Aleysa di asuh oleh Ibu tiri yang jahat nantinya!" Kata-kata Nia kembali terngiang dengan jelasnya.
Mia, kamu membuat aku dalam dilema, keluhku.
Bersambung.