Jose menatapku dengan kening berkerut gelombang. Heran, tetapi dia sedikit kesal karena tingkahku yang tercenung di depan mesin olahraga. Aku terkinjat dan segera menyusul ke anak tangga.
Jose sudah lebih dulu menuruni setiap anak tangga hingga ke lantai bawah. Sementara diriku masih merasa canggung berada di belakang, yang singgah ke depan meja makan begitu kikuk.
Jose menduduki kursi makan, lalu mendongak ke arahku. "Kenapa lo diem aja di situ?" tegurnya datar.
"Oh!" sergahku segera mengambil posisi duduk di depannya. Menjadi seorang istri yang baik adalah menemaninya makan siang.
'Makan kok repot!'
Geramku dalam hati menggerutu seorang diri, bibirku ikut mencibir tanpa bersuara.
Beruntung, dia tidak menengok diriku yang sedang kesal seorang diri. Kenapa tidak? Baru pertama bertemu langsung diajak menikah dengan alasan ayahnya kenal dengan ayahku.
Aku masih penasaran dengan pernikahan kontrak semacam ini. Apa lagi Jose sudah memiliki seorang istri yang tinggal bersamanya di Jakarta Utara. Aku masih ragu dan bimbang menjalani hidup yang terlalu memaksa.
Jose makan dengan lahap, bahkan dia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Aku jadi ragu untuk menyapa dan berkata-kata.
"Hei, kenapa nggak makan? Habis ini kita ke Mall, mau belanja banyak," tegurnya seraya menelan sisa makanan di dalam mulut.
Aku tercengang menatap wajah pria di depanku akhirnya menegur. Walau dia tidak bersikap ramah, tapi caranya membuatku merasa nyaman karena tidak diiringi oleh sifatnya yang dingin.
Hanya saja, perubahan raut wajahnya agak berbeda. Keningnya sedikit berkerut-kerut yang mungkin reaksi merasakan kuah dari dalam mangkuk.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
Jose sesekali melirik ke dalam mangkuk dan ke arahku secara berulang-ulang. "Kuahnya kok hambar ya?"
Wah, lidahnya sangat tinggi. Aku memang bisa memasak, tetapi tak seenak ibuku.
Tanganku ragu-ragu meraih sendok garpu. Tapi, kenapa ragu? Perutku berpura-pura mulai lapar, dan akhirnya meraup nasi ke dalam piring agak sedikit, mengambil beberapa sayuran ke dalam piring. Karena rupanya yang aneh saat mencicipi kuah dari mangkuk, aku pun ikut menyesap.
Lidahku ikut mengecap berkali-kali, "Lah! Padahal gue udah tambahin garam kok."
"Udahlah biarin! Lain kali dicicip dulu kalo masak." Jose menuangkan merica bubuk dan garam yang berada di dekatnya. Tampak rautnya memang resah saat menelan kuah hambar buatanku.
Walau tak terasa enak, dengan lahap, aku menghabiskan makanan dengan begitu santai.
Isinya tidak seberapa, aku sudah merasa sangat kenyang. Hanya tiga sendok makan saja, itu sudah lebih dari cukup. Apa lagi ditambah kalau aku sudah mengisi perut di kafe ala Jepang tadi.
Jose terpelangah melihat tingkah porsi makanku yang terbilang sangat sedikit.
"Apa lo makan cuma tiga sendok gitu?" Jose terheran-heran yang masih memegang sendok garpu di tangan. Kepalanya menatap jelas rupaku yang benar-benar sudah cukup.
Aku meranggul, lalu menaruh sendok garpu ke atas piring kosong. Tanganku meraih gelas berisi air putih lalu meminumnya perlahan.
Padahal, aku jadi sangat kenyang dibuatnya.
Jose kemudian menaruh sendok garpu dan mengikuti gerakanku. Tubuhnya berdiri tegak sambil memperhatikan raut wajahku. Matanya memperhatikan diriku dari atas hingga ke bawah. Anehnya, dia seperti orang yang baru melihatku.
"Ikut gue!" Jose berlalu dari dapur, meninggalkanku yang masih duduk di depan meja makan.
Aku sontak beranjak, memandangi meja makan yang masih berantakan. "Tapi, meja ini?!" Aku menoleh ke arahnya yang sudah di lantai ruang tengah.
"Biarin! Ikut gue sekarang juga. Gue tunggu di depan pintu." Jose berbalik dan benar-benar berkirai tanpa keramahannya.
Aku jadi penasaran, lalu menutupi semua isi makanan yang masih tersisa banyak. Dengan gesit, aku melangkah mengguyur lantai menuju ambang pintu. Mataku menyoroti ruangan, lalu berbalik menutup pintu.
Di sana, Jose malah menungguku di depan mobil mewahnya. Padahal, tadi kulihat tidak ada mobil mewah itu di depan. Aku berjalan mendekati Jose yang menggunakan mobil sport berwarna merah mengilap.
Tampaknya, dia ingin bersenang-senang.
"Masuk!" perintahnya sambil mendongak dan membuka pintu untukku.
Aku ikut perintah, duduk di posisi mobil yang belum pernah aku naiki. Suasana di dalam seperti berada di sebuah ruangan nyaman yang rendah. Di depan mata, aku melihat sejumlah kendaraan yang berlalu tidak begitu berisik.
Jose memasuki mobilnya, dan mulai menekan tombol untuk memulai perjalanan. Setelah memakai sabuk pengaman, kami berlalu dari kediaman rumah minimalis yang aku tinggali. Aku masih saja mendiam, tidak ingin berkata-kata.
Jose melewati beberapa pemandangan kota, mobilnya berbelok menuju ruang parkir yang berada di dalam sebuah bangunan. Dia membuka pintu untukku secara otomatis, hingga menoleh ke arahku. "Turun!" ketusnya.
'Duh nih orang garang amat!'
Gerutuku dalam hati menyimpan kesal. Pria dingin ini terlalu memaksaku untuk mengikuti dirinya. Aku berdiri di depan pintu dengan begitu anggun menunggu dirinya.
Dia menarik tanganku dengan kasar dan menyeret langkahku agar lebih cepat.
"Jose, pelan-pelan dong!" seruku tak kuasa mengikuti langkahnya.
Lalu dia melewati sebuah pintu dan memasuki sebuah tempat perbelanjaan. Kami melewati kerumunan, sedangkan dia masih saja memegangi tanganku dengan erat. Rasanya pergelanganku sudah terimpit oleh jemari kekar miliknya.
Tapi dia tidak juga melenturkan genggaman di pergelangan tanganku. Dia menaiki lift kecil yang ada di tengah, hingga kami sampai ke lantai paling atas. Dia berhenti dan menarikku ke sebuah store pakaian perempuan.
"Jose, emangnya lo mau beli apa sih?" tanyaku. Kepalaku bahkan memutar ke segala tempat. Aku harus menutup malu karena sebagian orang memperhatikan kami berdua yang sedikit aneh.
Kami ini bukan pasangan serasi, lihatlah tingkah pria pemaksa ini! Dia bahkan tidak menjawab pertanyaanku. Di depan sederet pakaian, dia mengendurkan tanganku secara kasar. Lalu dia merampas beberapa kemeja dan ditunjukkan ke hadapanku.
"Jose, lo mau beli baju buat gue?"
Jose tidak juga menjawab, tapi dia masih fokus memilah dan mencocokkannya untukku. Dengan berani dan percaya diri, dia langsung meraih kemeja manis, celana panjang dan beberapa pakaian dalam.
Tangannya sudah dipenuhi pakaian dan dilempar ke depan mataku. Dua tanganku menyambut pakaian yang sudah dipilih olehnya.
"Jose!!" seruku terpengah.
Wajahku sudah ditutupi oleh semua pakaian yang sudah dia pilih. Kemudian dia menarikku ke arah kasir untuk membayar semuanya.
"Jose, kenapa lo milih-milih gitu aja? Emang ini untuk siapa sih?" Aku masih saja penasaran dan terus mengulang-ngulang pertanyaan.
Akhirnya Jose menatapku dengan serius. "Untuk lo," singkatnya.
Dia selesai membayar semua dengan kartu kreditnya, lalu berkirai meninggalkanku. "Ta-tapi—"
Dia malah tidak peduli, aku menoleh ke arah kasir yang sudah membereskan semua ke dalam sebuah bungkusan apik. "Kakak, barangnya sudah selesai." Pelayan itu ramah sambil menjulurkan bungkusan kepadaku.
"Iya, makasih." Aku meraih dan membalas dengan senyuman.
'Padahal kalo dia beli buat gue, gue juga mau pilih sendiri.'
Aku jadi mengeluh karena aku tidak bisa memilih pakaian yang aku sukai. Aku melangkah dengan raut lesuku mengarah dirinya yang sedang menyender tegak. Wajahnya sungguh tidak berdosa telah melakukan yang dia sukai.
"Biar pria ini yang bawa, kita pergi ke supermarket!" Dia malah memperlihatkan dua orang pria. Siapa lagi?
Dia pria yang pernah menjemputku di hari pertama. Mereka meraih kantong-kantong yang sudah di tanganku. Mereka membawakannya untukku. Sementara dia sudah menjauh dari sini, sedangkan aku harus melompat cepat untuk mengejar posisinya.
Duh kesalnya!
Aku harus ngebut dalam melangkah agar tidak tertinggal olehnya. Dia seenaknya berjalan tanpa harus menunggu diriku.