Akan tetapi, air yang terasa asin dan lengket ini tidak juga turun dari pelupuk mataku. Aku berusaha untuk mengeluarkannya, tetapi dia nakal tak ingin keluar. Namun kakiku malah ringan, berlari melayangkan tubuh langsingku menjauhi sisi kafe.
Mungkin, hatiku sudah mati dan tidak ada jalan untuk kembali. Jose yang tadinya terpelangah, tetap saja masa bodoh. Mungkin, dia akan memanggil dua pengawalnya untuk mengejarku atau malah tidak mempedulikanku, dalam tebakanku.
Kepalaku berbalik ke belakang sesekali melihat keamanan. Beruntung, tidak ada yang mengejar diriku berlari. Rasanya lelah setelah sekian jauh aku menguras tenaga. Di persimpangan kota, tepat di bawah pohon pinang aku berhenti.
Napasku sedikit tersengal-sengal sambil membungkuk sejenak. Kedua tanganku menopang tubuh yang tersendat karena kelelahan.
"Hah!"
"Hah!"
"Duh, capek!"
Aku malah mengeluh seorang diri di antara orang-orang yang berlalu diantaraku. Aku mencoba menopang kembali tubuhku, lalu menoleh ke belakang lagi. Mewanti-wanti siapa tahu ada yang mengejarku.
Nah, ternyata dugaanku benar! Aku melihat dua pria berkacamata sedang berjalan sambil mengendap-endap di balik kerumunan orang banyak. Beruntung, aku masih mengenali rupa mereka dari sudut keramaian.
"Oh my god!" desisku sigap.
Tubuhku mulai memutar ke depan dan akhirnya melompat ke jalanan lagi. Persimpangan jalan berhasil aku seberangi tanpa hambatan. Aku tidak peduli di belakang jika mereka berdua melihatku sedang melarikan diri.
Pelarianku akhirnya berhasil juga. Tapi kepalaku malah menoleh untuk melihat kondisi. Oh … tidak! Dua pria pengawal itu mengejarku dengan kacamata yang sudah dilepas. Tampaknya mereka benar-benar serius untuk mengejarku dari arah yang tidak beraturan.
Yang satu di sebelah kanan, dan satunya malah tepat di belakangku. Aku menjadi alih-alih tangkapan lezat bagi mereka berdua.
Sial!
Ini seperti bermain kucing-kucingan. Kedua tanganku berayun untuk lebih memudahkan pelarianku. Beruntung, tubuhku yang langsing tidak terlalu membawa beban. Walau dua tanganku malah menahan buah dadaku yang malah mengganggu pelarian ini.
Rasanya agak ganjal ketika berlari, tidak bebas untuk melompat sepuasnya. Para lelaki hidung belang sangat senang memperhatikannya.
Oh celaka! Aku semakin lelah, tenagaku tidak bisa melawan dua pengawal itu. Salah satu pria di belakang main kejar-kejaran denganku. Aku harus melawan dua pria jantan ini. Pria di belakang sebaya denganku, dia pasti kuat dan setara denganku.
Oh, aku sudah hampir kalah!
Pria di belakangku akhirnya merampas pundakku. Tubuhku yang sudah dipegang olehnya, akhirnya kakiku malah melemah hendak terjungkil. Namanya Agam, dia mendapati tubuhku dan memutarnya agar tidak terjengkang di tengah jalan.
"Aaahh!!" teriakku lantang.
Akhirnya pria ini menangkap dan melepaskanku seketika. Dia pikir, aku tidak mungkin melarikan diri karena kelelahan dan kalah.
"Hah!"
"Oke! Gue nyerah," dengusku dengan napas berat. Sungguh berat! Aku sudah mengacungkan dua tangan meninggi.
Pria yang ada di seberang mendekati kami, dia—Yoanto mendengus napas lega. "Nona Ocha, jangan buat kita pingsan. Ternyata nona larinya kenceng banget!"
Mereka sama-sama mengembus dan mengempis napas mirip denganku. Kami bertiga sudah terjaga dan tidak dikelilingi oleh singa jantan yang sedang menunggu. Tiba-tiba sebuah mobil sport merah cerah berhenti di tepi jalan tepat di hadapan kami semua.
Pintunya terbuka, siapa lagi kalau bukan Jose? Dia pria berengsek yang sudah mencemooh diriku seenaknya. Aku jijik melihat pria ini menghampiri diriku! Mataku malah menyolot kesal ke arahnya. Walau aku bersifat manja, aku jadi merajuk.
Jose malah menarik lenganku dengan kuat. "Ayo pulang!" paksanya.
Aku menepis tangan Jose dengan kasar. Tiba-tiba amarahku membuncah di tengah kelelahan itu juga. Darahku yang setelah berlari begitu jauh membuat nadiku berdenyut cepat. Seiring napas pelarian yang masih menguasai keberanianku.
Aku menoleh dan menatap visus ke arahnya. "Bisa nggak sih lo ngehargain cewek di depan umum?! Istri! Lo bilang gue istri? Gitu ya caranya ngelakuin cewek murahan kayak gue, hah!!"
Wah! Sepertinya urat nadiku sudah tertutup oleh kulit tebal. Penglihatanku bahkan redup mengambang tinggi, tidak melihat di sekelilingku bahwa mereka sedang mengawasi kami. Aku menantang pria kaya di depan muka umum.
Beberapa dari mereka jadi ikut perhatian dan menoleh ke arah kami. Dua pengawal sempat terpelangah karena bentakanku kepada Jose. Lalu mereka mencoba untuk menutupi kami berdua.
Kepalaku spontan menoleh ke arah dua pria pengawal, berusaha menutupi malu bosnya. "Woi! Lo bedua ngapain ditutupin? Biarin semua orang tau!" bentakku pada kedua pengawalnya.
Dua pengawal malah segan mendekatiku, dia menuruti keinginanku karena Jose terdiam dan tidak berbalas menyerangku. Aku akhirnya meraih kemenangan untuk memaki pria yang sudah kurang ajar. Walau dia mengenal diriku dari ayahku, dan entah dari mana dia bisa mengenaliku selama ini? Aku bahkan tidak peduli. Tapi, ketika aku marah dengan napas beratku ini terselip rasa cemas karena nanti pasti akan kena batu.
Namun, Jose malah memperhatikanku dengan raut tenang dan datarnya.
"Gue nggak suka, gue juga punya perasaan! Gue cewek. Walau murahan, gue manusia, Bro!!" jeritanku akhirnya terpanggil. Dari hati paling dalam terungkap di hadapannya.
Jose santai saja di depanku, akhirnya dia maju sambil menelengkan kepala. Tubuhnya yang memang tinggi tegap, melewati batas penglihatanku. Kepalanya menunduk lalu mulai memperhatikanku sambil bersedekap tangan.
"Udah lega?" tanyanya singkat.
Kenapa? Kenapa dia malah bertanya kepadaku? Mataku membalas tatapannya yang tenang. Pria ini benar-benar membuatku naik pitam. Tapi dia malah melirikku dengan santai dan penuh keberanian.
'Gue belum puas! Lo udah nyakitin perasaan gue. Gue muak! Kali ini terserah lo mau campakin gue, gue juga nggak akan peduli lagi.'
Dalam hatiku masih kesal. Tambahku lagi. 'Kayaknya, kalo dia ngelepasin gue. Gue pasti jadi cewek nggak bener. Gue juga kehilangan keperawanan, sedangkan gue juga kehilangan malu.'
Lalu timbul keresahan dan perasaan panik. Aku jadi memalingkan muka, menutupi mataku perlahan. Sedikit malu dan tidak bisa terarah lagi.
Jose malah meraih lenganku dengan pelan. Anehnya, dia tidak berbalas marah kepadaku. "Lo mau dilembut? Oke!"
"Pulang dulu, kita bicara baik-baik." Ajakannya seperti madu manis, suaranya merdu layaknya burung di atas pohon.
Hatiku meleleh, malah terenyuh dan akhirnya memutar kepalaku. Aku langsung menatap raut tampannya. Dia tersenyum kecil, lalu menaikkan alis sebelah saling bersamaan. Dua pengawal membuka pintu untukku, dia segera membawaku ke pintu sebelah kemudi.
Dengan bodohnya lagi, aku pun menuruti perintah Jose yang berubah lemah lembut. Apakah ini hanya taktik yang sering digunakannya untuk meluluhkan hati klaen dan teknik seorang CEO?
Aku duduk dengan manis, seperti orang yang baru saja kena hipnotis. Tapi ku yakin, kalau dia bukanlah penghipnotis, bukan penyihir atau semacamnya. Dia manusia normal seperti orang biasa lainnya. Aku menoleh, melirik diam ke wajahnya yang mengukir seulas dengan senyuman. Aneh.