Aku harus mengejar langkahnya menuju lift kembali. Dia menungguku di depan pintu lift dengan raut bangganya. Dia menatapku dari jauh sambil menyipitkan matanya memanjang.
"Kenapa sih lo jalannya kayak keong?!" kesalnya.
Dia langsung meraih tanganku untuk memasuki ruang lift yang sudah terbuka untuk kami. Tiba-tiba aku melihat sesosok pria yang aku kenal hampir melihat diriku.
"Haaaa!!!" Mulutku menganga lebar.
Aku sontak menubruk, mendorong tubuh Jose ke dalam lift bening, sedangkan kepalaku malah bersembunyi di balik jas dadanya. Aku tidak peduli jika Jose akan memarahiku, tetapi dia malah menjatuhkan pandangan mengarahku.
'Sial! Dia liat gue nggak ya??'
Keresahanku dalam hati ketika melihat pria yang kukenal hampir saja berpapasan denganku. Dia, pria yang pernah mengejarku, tetapi aku berusaha menolaknya. Dia terus berusaha, walau dia pernah gagal. Aku muak!
Ini terjadi secara tidak terduga. Pria bertampang manis dengan kacamata hitam, sama sekali tidak memikat hatiku.
Sekarang, aku masih berpaling dan meminta perlindungan dari seorang suamiku sendiri.
"Cha, Ocha, Ocha!!" serunya menegurku dengan suara lantang.
Aku tersadar, kepalaku sedikit keluar dari balik jas hitamnya. Aku menyunggingkan seutil senyuman kepada Jose agar dia tidak memarahiku. Dengan perlahan, aku keluar dan mengendur sedikit. Tubuhku akhirnya berdiri menyender ke dinding lift sambil menunduk.
Jose malah membersihkan kemejanya yang sempat dirusak olehku. Beruntung, lift ini sudah menurun dan sebentar lagi kami akan tiba di lantai bawah.
"Kenapa? Lo diincar sama pria tadi?" Jose mengungkap, kepalanya mendongak percaya diri ke depan pintu lift.
"Ya!" Aku terkinjat, menatap raut wajah Jose yang santai dengan gaya kedua tangannya memasuki kantong celananya.
Pintu lift terbuka, ini peluangku untuk tidak menjawabnya sekarang. Kami keluar secara bergantian, aku membuntuti langkah Jose mengitari ruangan yang luas untuk menuju ke sebuah supermarket.
Dia berhenti sambil melirik ke arahku dengan raut datar. "Bawa trolinya!" perintahnya santai.
Tanganku terpaksa menuruti keinginan Jose untuk mengitari ruangan yang dipenuhi oleh benda-benda konsumsi dan kebutuhan sehari-hari. Akhirnya Jose tidak menginginkan penjelasanku tadi. Dia malah fokus pada daftar belanjaannya.
Dia mengambil shampoo, handbody, sikat gigi, pasta gigi, dan masih banyak lainnya. Entah apa lagi? Dia bahkan memenuhi troli yang kudorong membuntuti langkahnya.
Jose mengelilingi setiap rak yang ada di dalam ruangan luas ini. Lalu dia berhenti dan memperhatikan beberapa susu dan produk lainnya. Dia ke sana dan aku ikut. Tangannya meraih susu promil berukuran besar. Dilempar tepat di dalam troli, berpapasan di hadapanku.
Dia menatapku setelah melempar susu kotak tersebut. "Kenapa?" tanyanya.
Aku harus menjawab apa? Karena dia sudah melakukannya, maka aku tidak bisa menolak. Dari segala macam vitamin, promil, serta kebutuhan kesehatan sudah sangat lengkap di dalam troli. Mataku menatap sinis, curiga, bahkan terheran-heran.
Kini berakhir di meja kasir untuk membayarnya. Jose dengan santai menukarnya dengan kartu yang dia tunjukkan ke mesin pembaca.
Kasir segera meringkus dan memasukkan satu per satu barang ke sebuah plastik dan kantong belanjaan.
Dua pria pengawal datang menghampiri lalu merebut kantong-kantong besar yang akan kami bawa. Aku hanya terpengah saat melihat kelakuan mereka menatap diriku. Dua pria berkacamata ini dengan penampilan rapi nan elegan.
Jose berbalik menatapku, sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jas hitam yang dipakai olehnya. "Lo mau makan cake?" ajaknya.
Tiba-tiba dia mengajakku dengan ramah, wajahnya berubah dan terlihat lebih akrab dari sebelumnya. Aku tidak menolak yang kemudian terangguk pelan.
Tidak jauh dari sini, kami mengitari keramaian, dan berhenti di sebuah kafe bernuansa kaca bening minimalis. Kami memasuki ruangan paling ujung, sehingga terkesan dapat menikmati penampakan kota yang megah.
"Dua cake cokelat dan Amerikano panas," pintanya kepada seorang pelayan wanita datang menghampiri.
Aku mulai melirik cemas ke wajahnya, "Kenapa lo tiba-tiba pesen? Gimana kalo gue nggak suka kopi? Nah, lo malah pesen kopi panas." Mataku menjadi begitu sipit dan menajam.
"Udah terima aja! Yang penting gue udah pesen, kalo nggak mau ya pesen aja lagi. Kenapa repot-repot ngomel?" Jose menimpaliku dengan berbalas sorotan miring.
Aku yang enggan menatap dirinya malah berpaling menatap kesal ke arah kaca bening. Sejuta pemandangan di depan membuatku merasa nyaman. Dua kopi panas dan dua cake cokelat datang di atas meja bulat.
Jose langsung meraih sendok kecil untuk mencicipi cake yang baru dipesan olehnya. "Lo mau cerita silakan dan lo penasaran sama pernikahan kita juga silakan. Hari ini, gue sengaja dateng buat jawaban dan jadi pendengar untuk lo. Jangan sampai lo nilai gue pria kejam."
Jose menyodorkan potongan kue kecil ke dalam mulutnya. Dia menegakkan tubuhnya dan sedikit bersandar untuk menatap wajahku.
Sepertinya dia menyerahkan kesempatan bagiku untuk mempertanyakan soal pernikahan ini. Inilah waktu yang paling penting dan tepat. Masalah ini sangat berbeda dengan pria tadi.
"Kalo gitu, gue mau tanya-tanya soal bokap."
"Ehem!" dehamku seolah-olah percaya diri. Daguku sedikit terangkat, lalu menaruh kedua tanganku di atas meja begitu rapi.
"Gue penasaran sama bokap gue ma bokap lo. Emang, dari mana dia tahu sama bokap lo. Lagian bokap gue kan bukan orang tersohor atau bukan orang hebat?!"
Jose meranggul, mengacungkan salah satu tangannya untuk mempersilakan diriku berucap. Aku pun diberi kesempatan untuk yang pertama kali oleh pria dingin di depanku ini.
Jose akhirnya mendekati posisi tatapannya, dia membungkukkan tubuhnya sambil menatap raut wajahku.
"Bokap lo punya urusan sama papa gue. Gue sama keluarga gue juga nggak level sama orang miskin! Dan gue kebetulan mau cari cewek biar bisa dapet keturunan. Bokap lo sengaja dateng buat ngemis-ngemis ke bokap gue buat dikurangi hutang yang sampe kini belum juga dilunasi. Dan lo tau ngak? Bokap gue orangnya kasar!"
"Bokap lo dulu punya hubungan bisnis yang entah dari mana gue juga kurang tau."
Jose menyipitkan matanya. "Dan gue dateng buat nebus hutang bokap lo." Dia kembali menegakkan tubuhnya. Duduk dengan santai, lalu tertawa sinis menatapku.
Aku jadi terheran-heran sembari memikirkan hal yang tidak masuk akal ini. "Nggak akan mungkin! Masa bokap gue punya hutang ke bokap lo. Emang ceritanya cuma gitu aja? Gue nggak percaya."
"Kalo lo nggak percaya? Lo bisa cari tau sendiri. Lagian kan kita cuma nikah sebentar. Kalo lo habis kontrak juga bisa minggat, nggak usah bawa anak! Kan enak jadi single lagi, tinggal cari yang baru lagi." Jose mengeluarkan niat yang selama ini dia rampas dariku.
Aku bahkan sempat melihat rautnya yang santai setelah mengucapkan kalimat dengan semena-mena. Aku mulai tersinggung dengan ucapannya. Betapa murahannya bagiku untuk pria sekaya dirinya.
Aku bahkan tidak mengingat lagi perjanjian di atas kertas. Amarahku membuncah dan beranjak dengan nanarnya. "Lo emang cowok brengsek!!" serangku spontan, tubuhku berdiri dan tanganku menggebrak meja dengan kuat.
Blam!!
Aku pun meninggalkan lokasi kafe dengan geram.
Aku tidak peduli, kakiku dengan ringan pergi begitu saja. Mataku rasanya tak ingin menoleh lagi ke arah Jose. Rasanya mataku jadi perih hendak menjatuhkan air yang terasa asin.