"Papa, aku dateng ke sini buat nanya ma papa. Apa papa udah ngejual Ocha ke orang kaya, hah?!" jeritku mengeluh dengan tanya memilukan.
"Kamu dijual karena kami butuh kesenangan!!"
Apa?? Kenapa ayahku berkata demikian? Sementara hatiku sudah hancur berkeping-keping oleh perlakuannya, sekarang dia bahkan melemparkan ucapan sengitnya. Dari kemarin dia berpura-pura senyum, sedangkan aku sudah mendapat hipnotis kebodohan.
Aku mundur satu langkah, kedua kakiku terpaku kaku. Tak mampu melangkah maju untuk mendekati sosok pria yang kukenal penyayang ini. Lalu kepalaku menggeleng, "Papa, Napa ngomong kayak gitu ke Ocha? Apa papa selama ini udah nggak sayang sama Ocha? Ocha kecewa sama papa!!" seruku membawa pelarian, suaraku sumbang.
Kakiku mengibrit ke arah samping, menjauhi mereka semua. Berlalu melewati pintu dapur sambil menahan tetes buir air mata yang hendak jatuh.
"Ocha!!"
Suara ibuku sudah aku tidak pedulikan lagi. Aku terus berlari sampai ke luar dari pagar rumah orang tuaku. Tak sadar kalau aku sudah menumpahkan air mata di sepanjang jalan. Dengan satu telapak tangan untuk menutupi keheningan dalam sesak.
Telapak tangan ini seolah-olah melindungiku dari rasa malu terhadap banyak orang. Pelarianku mengiringi trotoar yang entah ke mana. Aku sudah tidak mengerti arah mana yang harus dipilih. Karena suara dan bentakan itu begitu menyesakkan, aku pun terus melayangkan kaki ini dengan ringan.
Beliau bilang untuk kesenangan, apa kesenangan yang mereka harapkan? Sementara hatiku sudah layu, bunga itu telah gugur. Mungkin, aku tidak akan menumbuhkan kembang mekar lagi. Karena semalam, dia hinggap dengan goresan di atas kertas.
Kejadian itu membuatku bodoh dan terjadi begitu saja. Akhirnya aku berhenti di salah satu jembatan tua di pusat kota. Di sebelah dinding menuju anak tangga, aku menyender sambil meneteskan air mata.
"Haaa … kenapa papa sampe segitunya? Gue kayak nggak punya mereka. Apa selama ini papa berpura-pura jadi papa yang baik?"
"Gue nggak mau balik, gue nggak mau balik, titik!"
Wajahku terdongak ke depan pandangan, mataku dilumuri oleh air asin yang lengket. Urat maluku sudah hampir putus karena perasaan ini. Akhirnya aku berjongkok, kepalaku menunduk sambil mendekap erat diriku sendiri dengan kedua tanganku yang saling memeluk.
Rambutku yang terurai panjang lurus jatuh menutupi kepalaku.
Kreook!!
Duh! Tiba-tiba aku merasa lapar, mungkin aku tadi hanya makan roti bakar dengan secangkir kopi yang sudah dingin. Kepalaku melengak, menatap kerumunan sudah memenuhi jalanan di samping anak tangga.
Sontak aku malu dan terkejut. Baru sadar kalau aku sudah di sini, apa lagi perutku bernada kurang seru. Kepalaku menurun untuk menengok dan mendengar getaran laparnya. Ya, nada ini sangat meresahkan!
"Gue juga hampir lupa makan," gerutuku akhirnya melangkah.
Satu per satu langkah aku mengguyur setiap jalanan. Mereka yang berlalu memperhatikanku secara diam-diam. Aku masa bodoh karena aku memang tidak mengenal mereka. Di satu sudut kota, sebuah kafe istimewa yang biasa kukunjungi.
Kafe yang menyajikan makanan cepat saji ala Jepang. Walau aku menyukai makanan kebarat-baratan, tetapi aku tetap menyukai makanan Asia tentunya. Ah, aku tidak peduli! Perutku sudah mau minta jatah makan.
Kakiku melaju cepat memasuki ruangan yang super elite. Seluruh pintu dan jendela dipenuhi dengan kaca tebal. Pernak-pernik di dalamnya sungguh menyejukkan mata. Aku duduk dan sambil menunggu pelayan itu tiba.
Mereka mendatangiku, lalu memesan untuk diriku sendiri. Saat beberapa waktu menunggu, makanan ala Jepang ini cukup memuaskan perutku. Nasi Kepal, Ramen, dan minuman dingin sudah cukup mengenyangkan.
Lalu aku termenung ketika menatap orang-orang saling berpasangan. Aku menegakkan tubuh dengan rautku yang kusut.
"Ih, nyebelin banget kalo liat cowok! Masa gue harus balik ke rumah itu lagi. Apa gue kabur aja kali ya?"
"Tapi—"
Tanganku meraih ponsel dan dompetku yang kian menipis. Ponsel ini baru, tidak ada satu pun nomor yang kukenal. Tanganku mencoba menggeser layar untuk mencari nomor kontak di dalamnya.
Tak beruntung, hanya satu-satunya nomor yang tersimpan ialah milik Jose. Dia menulis namanya di kontak teleponku dengan tulisan 'Suami sementara'. Aku menutupi layar dengan cepat, kesal ketika melihat namanya di sana.
Mataku beralih menatap ke luar jendela.
Drrrt!!
Tiba-tiba aku terkinjat ketika ponsel ini bergetar. Sontak tanganku mendongak memperlihatkan namanya sudah di depan mata.
"Ah, dia pasti nyari kan?!"
Rautku langsung berubah dan panik. Harus diterimakah atau tidak? Kepalaku memutar ke segala arah, tapi ponselku terus bergetar.
"Ih, angkat nggak ya?"
Ragu-ragu aku menekan dan menempelkan layar ponsel di daun telingaku.
("Lo itu di mana?!")
Suara Jose memekik telingaku, hingga jemariku langsung menjauhkan ponsel dari telingaku.
"Aw! Berisik amat!" dengusku dengan suara mengecil.
("Gue di kafe.")
Balasanku cukup singkat.
("Pulang atau elo dapet hukuman! Kalo nggak, gue bakal minta pengawal gue buat nyari elo. Lo pikir bisa kabur gitu aja?!")
Dalam hatiku menjawab.
'Duh, nih orang punya GPS kayaknya. Eh, iya, gue juga nggak bisa bohong. Hp kan bisa terdeteksi gue di mana?'
("Iya, gue pulang. puas?!")
("Kurang ajar ya, elo! Cepet pulang!")
Panggilannya terputus, sedangkan jemariku spontan menjauhkannya dari telingaku. Aku menggerutu, bibirku jadi mencibir aneh. "Kok dia tahu gue pergi? Jangan-jangan dia ada di rumah lagi!"
"Hah!"
Aku beranjak cepat tanpa harus diperintah. Aku tidak ingin melanggar yang ada di dalam surat perjanjian itu.
[Jika istri meninggalkan rumah tanpa izin suami, maka istri wajib menuruti semua keinginan suami dan melayaninya secara penuh. Plus denda satu juta jika dia tidak kembali sebelum sore.]
"Walah!!" Mulutku menganga lebar, kakiku langsung melangkah cepat meninggalkan meja kemudian membayar ke kasir dengan lembaran uang kertas.
Si kasir memberikan kembali kembalian karena wajahku terburu-buru. Langsung saja aku pulang dan keluar mencari sebuah taksi. Beruntung, satu taksi kulambai dan akhirnya berhenti. Aku langsung duduk dan mencemaskan diriku sendiri.
"Gue nggak mau nurutin keinginannya. Gue juga nggak mau bayar denda!"
"Cepet-cepet!!" gusarku sambil mengusap telapak tangan.
Taksi membawaku ke alamat baru. Mataku terjaga awas ke segala halaman. Namun, tidak ada tanda-tanda setelah aku turun dari taksi. Akhirnya aku menghela napas panjang yang ternyata Jose tidak ke sini. Langkahku santai dan melupakan cemas yang sempat membara.
Melewati pintu gerbang, halaman, dan kemudian membuka pintu.
Krek!
"Lho? Kok nggak dikunci?"
Pintu itu terbuka, aku malah tercengang melihat pintu ini terbuka lebar tanpa terkunci.
"Padahal gue tadi udah kunci, kenapa malah bisa dibuka?" Kepalaku secara perlahan menyelinap untuk mengintip ruangan.
Sepertinya aman, kemudian kakiku mulai menjejaki lantai pertama dan masuk ke dalam ruang tengah. Kakiku maju, dan masih mendapati koper di tengah ruangan. Di salah satu anak tangga menuju dapur, aku jadi lega.
"Huuufft … akhirnya dia nggak dateng!"
"Siapa bilang dia nggak dateng?"
DEG!
Suara itu ada di balik sebelah kanan, lalu kepalaku memutar lalu membelalak tegang.
"Aaahh!!"
Jose menyender sambil bersedekap tangan di depan pintu kamar mandi bawah. Tepat di balik sekat menuju ruang dapur. Dia tersenyum sinis sambil memiringkan kepalanya.