Chereads / Si dungu mendadak kaya / Chapter 22 - Belajar mengemudi.

Chapter 22 - Belajar mengemudi.

Entah mereka berpura-pura untuk menjadi dingin atau memang disengaja dan dituntut menjadi tegas. Hampir mirip, tetapi menuntut pada cara kerja mereka memperlakukan diriku selayaknya bos wanita.

Kunci mobil yang sudah aku pegang di tangan mulai ditunjukkan mengarah mereka. Dua pengawal keren ini mengangguk, lalu menyilakan diriku untuk lebih dulu menaiki mobil yang mereka bawa. Bukan berarti aku memakai mobil ini karena mobil yang satunya masih berada di suatu tempat.

Karena diriku penurut, atau memang sedikit bodoh, ya … aku jadi duduk dan mengikuti perintah kedua pengawal. Duduk di kursi belakang sambil mengawasi punggung keduanya membawaku ke tempat mobil berada.

Mataku mendelik ketika pikiranku mengingat ponsel lamaku ada di tangan mereka. Dengan cekatannya, tanganku menepuk pundak Agam yang sebaya denganku, walau memang dia lebih tua satu tahun.

"Hei, gue minta ponsel lama, ayo!" desakku.

Agam terkinjat hingga menoleh tanpa senyuman. Kali ini kacamata tidak menutupi bagian beningnya bola mata. Kilatan tatapan Agam begitu serius, lalu melesat pandangan ke arah samping dirinya berada.

Si pengemudi membalas dengan menoleh pelan. "Nanti kalau sampai, kami bisa berikan. Ponsel itu masih ada di kotak penyimpanan di rumah," ungkap Yoanto.

Kesal, mataku jadi layu setelah mendengar jawaban Yoanto. Padahal, aku membutuhkan ponsel itu lebih awal. Aku pasti akan melakukan banyak hal dari sana. Pikiran ini kacau, sering kali menimbulkan kecemasan yang mendadak.

Agam kembali memiringkan badan untuk menatapku. "Nona, nanti saya bisa mengambilnya. Untuk sekarang, kita akan mengambil mobil nona di perumahan dulu."

Aku sontak meranggul, saat mendengar beberapa kalimat yang jelas pasti akan mendapatkan ponsel lamaku kembali. Akhirnya kulega dan geloyor ke badan kursi untuk menyender lebih tenang.

Agaknya, dua pengawal ini sangat taat terhadap Jose. Dimana mereka yang tidak saling berdekatan, seakan mereka dipantau ketat oleh sudut CCTV yang andal. Entah itu tersimpan di mana, mereka seakan merasa segan dan serius. Aku kagum!

Tampaknya jalan ini terlihat sama yang diambil oleh Jose kemarin ketika aku menemaninya di hari libur.

Kami melewati satu perumahan yang minimalis. Memang benar dugaanku! Mereka berdua memasuki perumahan elite berkelas minimalis hadir di depan mata. Mobil ini berhenti tepat di salah satu rumah kemarin.

Aku sudah tidak heran lagi, tetapi pikiranku bertanya-tanya akan posisi yang mereka simpan di sana. Gas mobil perlahan meredam, lalu benar-benar mati dan lamsam. Kami siap untuk menuruni mobil dan menjejaki tanah lapang perumahan.

Kakiku patuh terhadap perintah, akhirnya membuntuti arah dua pengawal yang hendak membuka garasi. Kemarin, mobil itu tidak terlihat di dalamnya. Hari ini aku benar-benar terheran, bagaimana bisa mobil mini itu ada di dalam?

Dua pengawal membalikkan badan, Yoanto yang lebih senior melangkahkan kakinya mendekati posisiku. Dia memasang dua tatapan bersengit. "Nona, kau bisa memilih siapa sopir yang ingin kau ajak jadi guru?"

Jemarinya mengacung datar mengarah dirinya sendiri, lalu berangkat ke arah Agam yang hanya memaksa senyum. Mataku malah berputar ke tepat ujung jemari pak Yoanto karena dia lebih senior dari Agam.

Lalu tanganku sungkan untuk mengacung tinggi mengarah belakang. Bahkan dengan sorotan melemah, aku pun siap untuk ditemani oleh pak Yoanto. "Sama bapak saja!" tegasku.

Yoanto—akhirnya aku memanggilnya dengan sebutan bapak. Yoanto sedikit tersenyum kecil, lalu merunduk sopan. Tubuhnya miring, lalu meminta kunci yang ada di tangan Yoanto. "Bisa kuminta kuncinya? Kita akan keluar lapangan menuju tempat khusus belajar mengemudi."

Agam menyusul berdekatan dengan kami berdua. Kepalanya merunduk, lalu menyapa Yoanto selaku atasan. "Pak, saya pamit mengambil ponsel nona dulu."

Yoanto meranggul sekali, "Ya, ambillah cepat! Setelah itu kau bisa menyusul kami berdua."

"Baik, Pak!" Agam memeluk dua pergelangan tangannya menyiku di depan perut. Kepalanya memang masih merunduk, melewati kami berdua dan meninggalkan sisi halaman setelah meraih kunci dari tangan pak Yoanto.

Sementara kami ditinggalkan begitu saja oleh Agam. Dengan begitu, aku dan pak Yoanto siap meluncur ke tempat yang hendak dituju.

Karena berasal dari sini, kami menaiki mobil tak sebesar dibayangkan. Mobil khusus untuk para wanita, dengan warna silver terang yang memang mengesankan. Kami berdua telah duduk berdampingan, aku sengaja menyimak cara pak Yoanto menerangkan persiapan awal mengemudi.

Kepalaku menyimak betul yang dia ucapkan, seolah-olah memahami yang dia katakan. Katanya, "Kau tidak boleh lupa menggunakan sabuk pengaman karena ini penting. Lalu, kuncinya harus benar-benar tertancap. Siapkan posisi badan dan matamu ke depan, maka kau akan siap mengemudi dengan baik dan jangan terburu-buru!"

Dia mengulangnya untuk yang kedua kali. Dia menjelaskan secara singkat saja, hingga suara mobil berderu pelan. Memasukkan gigi dan siap meluncur mundur. Ada pedal gas yang harus diinjak secara perlahan-lahan.

Semua dia lakukan dengan hati-hati, sedangkan aku menjadi penyimak yang baik.

Kami tiba di sebuah tempat khusus belajar mengemudi. Karena ini perintah, maka aku pasti akan masuk dan mempelajari banyak hal hari ini. Di sana, kami sudah disambut oleh seorang pria berjas hitam rapi, sepatunya mengilap, dengan tatakan rambut yang licin berwarna gelap.

Dia menyapa pak Yoanto dengan hangat, satu jabat tangan telah usai. Kemudian kami memasuki satu ruangan yang dipenuhi dengan layar dan tempat-tempat untuk belajar mengemudi.

Pria berjas hitam itu memegangi bahuku pelan, tidak berani menyentuh banyak dari tubuhku. "Ah, kamu bisa coba dulu," ucapnya.

Mataku langsung terbawa oleh ucapan pria ini. Mungkin, dia seorang pengurus di tempat ini yang mengarahkan seluruh siswa baru. Aku duduk di atas kursi yang mirip dengan posisi dalam mobil.

Rasanya begitu nyaman, sedikit perbedaan. Jika di sini sangat luas dan disuguhkan dengan layar panjang dan tinggi, maka aku akan melihat dan berpura-pura masuk ke dalam dunia fantasi berkendara.

Dia memperagakan tangan bersama bibirnya sedang menjelaskan persiapan pertama. Aku mengangguk dan berusaha memahami dengan ucapan pria itu.

"Sekarang, injak pedal gasnya," perintahnya mendorong dua tangan ke bawah. Dia mengarahkanku dengan segala kemampuan.

Ah, rasanya ini seperti anak kecil yang akan belajar dari awal. Karena ini hanya berada di dalam, jika aku salah arah dan menabrak sesuatu maka aman. Layar itu bergerak, seperti perintah kakiku yang menginjak pedal gas mainan.

Tapi ini nyata! Gambar di hadapanku mengikuti apa yang aku lakukan. Tiba-tiba saja ini menjadi khayalan pertama di hari pertama belajar mengemudi.

***

"Cha, keren lo! Punya mobil sekarang, ya."

"Udah cocok jadi artis sebenernya!"

Aku mendongakkan daguku meninggi, kacamata hitam cokelat berkilauan mengarah mereka bertiga. Teman-temanku yang masih berdiri di tengah taman perkotaan. Aku berlagak arogan dengan penampilanku yang baru.