Semua itu hanyalah khayalan singkat. Mataku bagaikan ditutup oleh awan gelap, bahkan telingaku tersumbat oleh kapas tebal. Sebuah tangan melambai ringan, lalu perlahan melambat terdengar suara panggilan namaku.
"Nona, Nona Ocha!"
"Nona Ocha!"
Panggilan itu menyeruku, yang akhirnya wajahku tertoleh karena suara itu. Baru menyadari kalau diriku sudah dikejutkan oleh dua orang pria lebih tua dariku. Pak Yoanto dengan seorang pria pemandu di sana tersenyum agak cekakakan.
Mataku mengerjap, lalu dua tanganku seraya turun dan menghamburkan lamunan seketika membuatku bangga.
"Udah selesai, Nona. Kita akan memulai pelajaran di lapangan," pungkas pak Yoanto membungkukkan kepalanya.
"Oh!" sergahku langsung keluar dari kursi nyaman ini. Kebetulan membuat bangku terasa hangat dan puas untuk mempelajari langkah awal menuju perjalanan. Di layar itu, tidak bergerak sama sekali. Layar itu masih menyala terang, tetapi karena mesin ini berhenti jalanan terlihat diam mematung.
Pak Yoanto mempersilakan aku untuk mengikuti dirinya ke depan sebuah pintu. Di sana, aku melihat penampakan halaman seluas mata memandang. Ada beberapa mobil yang melewati jalur penyeberangan, ada pula yang mobilnya sangat lambat.
Beberapa dari mereka adalah salah satu dariku yang menjadi murid mengemudi. Rasanya tidak percaya kalau aku sudah melewati banyak hal hari ini. Setelah melewati hari pernikahanku yang sudah sesingkat dibayangkan.
Satu hari lagi, maka hari pernikahan gelap ini berumur satu minggu. Entah kenapa? Aku lebih suka menjalani hidup seperti ini kalau sudah melihat kenyamanan. Tapi, aku tetap waspada akan penyesalanku nanti.
Mereka menyapaku, dari seorang perempuan tak kukenal, pria yang menjadi pelatih, lalu dua orang pria yang berusaha membuatku tersadar. Tetap berada di sisiku berada, atau aku yang berusaha mengikuti arahan mereka.
"Nona, kau bisa memulainya." Pak Yoanto menjulurkan salah satu tangannya ke depan agar aku lebih fokus dan tanggap akan panggilan terhadap pembelajaran hari ini.
Ini sudah seperti pelatihan khusus, akhirnya aku benar-benar terpanggil.
Karena formal, aku ikut petunjuk mereka semua. Dari membuka pintu mobil di posisi kemudi, lalu duduk dengan posisi nyaman. Pak Yoanto duduk di sampingku, kali ini kami bergantian posisi.
Akulah yang akan menjadi pengemudi pemula saat ini. Dia terus mengatakannya, tetapi pria tadi malah mengetuk pintu jendela karena aku tidak juga menyalakan mesin.
Maka, pak Yoanto keluar begitu saja dari mobil ini. Aku hanya terfokus dan diam ketika pria tadi menggantikan posisi pak Yoanto. "Nah, biar aku yang ngawasin kamu jadi kemudi, Neng," ucap pria tadi.
Aku meranggul dan harus memaksa senyuma. Karena intruksi yang diberikan, tanganku sontak merangkak untuk ke arah kunci dan menggesernya. Ini bukan mobil keren, semua dibutuhkan dan mengawalinya secara manual.
Kakiku menginjak pedal gas ragu-ragu, tetapi si pria di sampingku malah mendorong dua tangannya untuk membuatku merasa tenang. "Pelan—"
"Pelan, pelan aja ya, Neng! Nggak usah terburu-buru kalo lagi pemula. Ntar lama-lama juga bisa gesit sendiri kok."
Dia sedikit bercanda. Mana bisa bercanda ketika diriku sedang serius? Sementara aku penuh dengan ketegangan antara keringat dan fokus ke jalanan.
Aku terus mengulanginya lagi dan lagi. Injak pedal, berhenti, maju, mundur, melakukannya secara terus-menerus. Sampai waktu ini berputar dengan sendirinya. Kebosanan menghantui diriku dan mereka.
Maka istirahat adalah jalan buntu setelah diriku masih belum bisa.
Kami keluar, tetapi bukan dengan raut bahagia. Pria pelatih itu tetap mengumbar senyuman agar mungkin aku merasa nyaman. "Nggak apa-apa kok, ini baru awal. Orang-orang pada takut juga kalo pertama, kalo udah seminggu pasti udah bisa."
Mulutku masih belum menyahut, meranggul dan mematuhi aturan mereka. Di sana, dua orang pengawal menunggu kehadiranku untuk kembali pulang, mungkin. Agam—si pengawal yang sebaya denganku menjulurkan genggaman tangan yang sudah memegangi ponsel lamaku.
Aku sudah hafal betul warna dari ponselku ini. Warna putih terang tanpa corak yang penuh, polos dan licin. Aku segera merampas ponselku dari tangan Agam. "Nah! Gue bisa lega lagi kalo udah nemu ini. Makasih, ya."
Agam hanya tersenyum kecil dan cepat. Raihnya seakan memaksa diri untuk tersenyum. Karena kesal menatap wajahnya, aku langsung memperhatikan ponselku yang sudah lama tidak berjumpa. Aku mengacungkan ponsel mengarah dua pengawal di depan yang sedang menunggu.
"Eh, kenapa ponselnya nggak dicas?" keluhku menggerutu.
Pak Yoanto akhirnya menerangkan, "Maaf, Nona. Mungkin karena kami lalai, tetapi itu perintah tuan Jose supaya ponsel itu tetap mati. Tapi tenang aja kok, ponselnya nggak pernah nyala setelah berada di tangan kami."
Sudahlah, ini pasti sudah jelas dengan keberadaan ponsel lama di tanganku. Dengan begitu, semua aman setelah apa yang diharapkan cukup memuaskan bagiku.
Kami tidak lagi berada di sisi halaman, berlanjut menikung ke posisi kembali pulang. Agam menjadi setir kemudiku, sedangkan pak Yoanto berangkat dengan mobil pribadi mereka. Mungkin saja itu bukan mobil pribadi, melainkan milik Jose—suami sementaraku.
Ah! Aku sudah tidak peduli. Bahkan di dalam mobil, aku duduk di kursi belakang sambil menyalakan ponsel yang mungkin masih bisa menyala. Namun sayang, baterai ponsel ini hampir sekarat. Masih menunjukkan angka sekitar 15 persen saja.
"Gila, hampir sekarat?!" gerutuku.
Agam tidak menyahut, dia tetap serius ke jalan pulang. Karena terlalu sayang, secepatnya aku mematikan ponsel untuk tidak segera dihidupkan kembali. Mati untuk sementara dan kembali ke rumah baru.
***
Setelah semua berlalu begitu saja. Malam ini, aku pergi dari keadaan di rumah baruku. Aku memilih naik taksi menuju suatu tempat. Sebuah kafe minuman adalah pilihanku berhenti.
Karena aku belum bisa memakai mobil baru, aku terpaksa keluar dengan caraku sendiri. Kakiku merangkak ke jalanan setelah alih-alih pemberhentian di depan mata.
Kafe berbintang dengan nuansa seru cahaya lampu bergelantungan menyapa diriku. Keramaian di sudut dinding tampak berseru hangat.
Mataku meringkas ke seluruh halaman, tanganku memegang ponsel lamaku begitu erat. Sampai-sampai aku tidak sadar kalau seorang pria hendak melewati jalan dan ….
Brak!
Dia menabrakku dengan kasarnya. Pria bertopi itu menumpahkan es kopi yang sedang dipegang di tangannya. Sedikit menumpahkan ke sisi lengan kemeja panjangku, dia cekatan membersihkan dengan tisunya tanpa harus menatap wajahku. "Maaf, gue nggak sengaja. Lo nggak kenapa-napa kan?"
Lalu, wajah pria itu mulai terlihat ketika sebelah tangannya menarik ujung topi. Aku melihat rupanya yang manis, dihiasi oleh temaram bola lampu kafe. Bodohnya aku menatap rupanya sedikit lama.
"Lo kenapa?" tanyanya heran.
"Oh! Nggak apa-apa kok. Gue nggak apa-apa," pungkasku segera menarik lenganku yang masih dipegang oleh tangannya.
Wajahku berpaling dari tatapannya yang asing.
"Cha!!"
Seruan itu membuatku melesat pandangan, lalu segera meninggalkan sisi pria tadi tanpa kata pamit. Aku berseru dan melambai ke arah kursi panjang, dimana teman-temanku sedang duduk bersantai.