"Eh, tunggu!" seru pria bertopi tadi yang sempat menabrakku.
Karena panggilan mendadak itu, aku langsung memutar ke arah belakang. Mengarah pria bertopi dengan raut wajah yang cukup lumayan. Keningku sedikit melengkung begitu penasaran ketika jemari pria itu mengacung sebelah tangan mendatar.
"Lo pernah ikutan challenge di tahun 2017, bukan? Di media waktu itu, kalo nggak salah sih." Pria itu memiringkan kepalanya, sedikit mengukir senyuman miring. Jemarinya bergoyang, "Nah, waktu itu lo lolos ke babak final model. Tapi lo malah nggak dateng waktu final." Kepalanya mendongak tepat ke arahku.
Lupa, aku seakan tidak mengingat hal itu lagi. Entah sengaja atau kenangan itu membuatku takut untuk mengingatnya. Dimana dan kapan?
Akhirnya daguku terangkat pelan, memaksa tersenyum. "Maaf ya, gue nggak kenal ma lo. Mungkin, lo salah orang." Karena kesal, aku sengaja berputar untuk menghindari pria aneh itu.
"Ocha Qabila," sebutnya. "Nggak salah lagi!" Suara pria itu begitu jelas dan tegas.
Ketika kakiku hendak melangkah maju, berhenti spontan kejutkan dengan suaranya. Sengaja aku melirik perlahan, hingga kembali memutar tubuhku yang sudah hampir menjauhi dirinya. Pria bertopi itu melangkahkan kakinya mendekatiku, lalu menjulurkan kartu nama berwarna putih bergaris cokelat muda.
Mataku sontak terpaku dengan namanya di kartu itu, lalu mengacungkan pelan jemariku untuk menyambut kartu tersebut. Bergeming.
"Hubungi gue kalo lo berniat buat acting." Pria itu menaruh kartunya di atas telapak tanganku. "Sampai nanti, pikir baik-baik karena kesempatan nggak datang dua kali." Pria itu berkirai tanpa aba-aba dariku lagi.
Mataku malah terfokus dengan tulisan namanya. "Oslan Gavin," sebutku. Kepalaku mendongak ke arah depan yang sudah menghilang bayangan pria tadi. Ke mana perginya pria itu secepat kilat? Mataku berkeliling ke arah jalanan ramai.
Seseorang mengejutkanku dari belakang, menaruh salah satu tangannya ke atas pundakku dengan keras. "Woi, ke mana aja lo? Dipanggil malah ngobrol ma orang asing. Tuh orang siapa sih?"
Suara perempuan ini sungguh melupakanku dari khayalan sejenak. Wajahku memutar mengarah raut perempuan yang sebaya denganku. Dialah rekan kerjaku ketika aku masih magang di hotel berbintang lima—Sesil namanya.
"Gue juga nggak tahu, Sel," sahutku mulai mengalihkan pandangan untuk mengikuti langkahnya menuju kursi di sudut pagar.
Kami bertemu dengan dua orang di sana. Fito Jolian dan Lola melambai dengan bibir mekar bagaikan bunga matahari. Senyuman itu sudah kulihat sebelumnya, ketika terakhir aku keluar dari hotel—tempat aku bekerja.
Duduk di antara kursi yang sudah dipenuhi dengan camilan serta gelas berisi jus warna-warni. Tanganku menyimpan kartu nama pria tadi ke dalam tas selempang kecil. Mataku mulai melesat ke satu per satu rekan yang tadinya sudah menunggu.
"Cha, gimana nih? Kita harus panggil apa?" Fito bermata genit, menggoda dengan jemari gemulainya.
Aku tersenyum spontan, menutupi bibirku yang melukis malam kecerian malam pertemuan kami. "Gue malu," singkatku. Jemariku malah jatuh ke atas meja sambil memperhatikan mereka sambil melenturkan senyuman.
"Kenapa sih, Cha?" tegur Lola sambil menelan jus jeruknya dari sedotan berwarna putih melengkung. Bibirnya begitu seksi dengan gaya elegan menyedot air jus.
Seperti biasanya, mereka selalu kepo akan kejadian yang terjadi sudah hampir satu minggu. Entah kenapa aku jadi malas membahas kisah semacam itu?
"Gue mau jadi penulis novel," putusku kepada semua rekan.
Mereka jadi terdiam, saling melirik dan menoleh penuh tanya. "Udah kaya kok malah jadi penulis?" keluh Fito celopar.
Aku sudah menyangka kalau mereka tidak akan setuju akan keputusan yang aku ambil dari sekarang. Jenuh, adalah pilihanku yang sempit menjadi seorang penulis. Lalu pria tadi menawarkan kesempatan bagus untukku.
Menjadi artis adalah keinginanku yang besar. Tapi rasanya sudah mati beberapa hari yang lalu, setelah jemariku mencoba pengalaman baru.
"Eh, pria tadi itu bukannya—" Lola menyerobot. Jemarinya mulai mengacung datar dengan tatapan serius. "Dia bukannya asisten artis?" bisiknya.
"Kalo e lo ditawarin buat jadi artis, gue setuju!" sambung Lola dengan keputusannya.
Tapi apa? Mereka hanya bisa menentukan pilihan orang lain. Tapi ini hidupku, akulah menjadi penguasa untuk sebuah keputusan. Kepalaku menggeleng dengan bibir mengatup rapat. "Gue juga nggak tahu."
"Gue masih mikir," balasku lagi.
"Udah ah, mikir yang susah-susah kepala gue jadi pusing nih! Mending kita pesta kecil malam ini." Fito mendorong dua lengan perempuan di sampingnya.
Si banci yang perhatian ini mengakhiri semua percakapan kami bertiga. Sedang serius, tiba-tiba saja meredup dan bernuansa riuh. Pikiran yang sempat membuatku bingung, sejenak terlupakan. Kami bernostalgia dengan sebuah pertemuan.
Apa lagi, aku, Sesil dan Fito adalah teman satu sekolah. Itu sudah beberapa tahun yang lalu, mereka adalah rekan kerja yang sudah lama bersama. Berbeda denganku, aku adalah orang baru di antara mereka.
Setelah lulus SMA, aku tidak ikut jejak mereka. Aku sempat melakukan banyak hal di rumah saja. Ibuku melarang untuk bekerja dengan orang lain. Aku tidak bisa melakukan pekerjaan berat, apa lagi sekarang yang harus terjerat pernikahan kontrak dengan pria baru dikenal.
Pertemuan kami berlangsung larut malam. Kami pulang bersama, mereka mengantarkanku tepat di depan rumah.
Tak sengaja malam terlalu dingin dan memisahkan pertemuan kami. Aku melambai hangat dan meriah ke arah mobil yang disetir oleh Fito. "Bye!!"
Mereka mengunci pintu jendela mobil rapat-rapat. Menyisakan keheningan malam di antara kesendirianku. Gemerlapnya dunia malam di taman depan rumah menghipnotis diriku. Kakiku harus melangkah seorang diri dalam kelamnya dunia.
Pernikahan yang menyesakkan membuatku takut. Bukan takut akan kesendirian, tetapi aku terlalu takut untuk menjalani hidupku selanjutnya. Kepalaku sontak mendongak tinggi ke arah langit gelap malam.
Nuansa bintang menyertai penglihatanku, berakhir pada dinding minimalis penuh harapan palsu.
***
Jemariku hendak menyentuh gelas beling bening, yang akan mengisi air putih. Tiba-tiba suara bel rumah terdengar nyaring dan mendesak. Kepalaku berputar dan segera melangkah hingga menunda haus untuk mengutamakan tamu.
Setelah pintu ini terbuka dengan lebar, sesosok wanita berpenampilan elegan menyapa pagiku. Dia menatapku dengan kacamata hitam kecokelatan menyilaukan.
'Ini bukannya istri Jose kemarin.' Aku menebaknya dalam hati.
Saat tangannya mengungkap sisi raut jelas, ternyata tebakan tidak salah lagi. Bela—istri pertama Jose yang datang tanpa raut keramahan.
"Hai!" sapanya dengan dagu agak meninggi.
"Ya, ada apa?" tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Gue nggak disuruh masuk nih?" tegur Bela memiringkan wajahnya, tetapi tak ada segaris senyuman di ujung bibirnya.
"Oh, masuk aja." Aku memberinya celah agar dia bisa leluasa untuk menginjakkan kakinya ke lantai rumah ini.
Bela terus memperhatikan ke seluruh dinding ruangan. Lalu tangannya bersedekap hingga singgah ke wajahku. "Heuh! Ini juga rumah bekas Jose dulu. Tapi kedatangan gue ke sini bukan buat nyambut kedatangan istri baru. Gue cuma mau bilang kalo lo nggak boleh naruh suka ke suami gue. Lo cuma sebagai rahim pengganti!"