Oslan bahkan mengetahui alamat baru aku. Dia berkata demikian terdengar sangat percaya diri. Aku melihat alisnya yang naik sama rata dengan mulut yang luas. Lalu dua tangannya jatuh ke badan setir kemudi.
Mobil melaju dengan santai ke jalanan, tetapi aku benar-benar dirundung oleh rasa penasaran yang dia timbulkan. Dua jemariku tergerak sesaat, dan menekan paha pelan sambil memperhatikan wajah Oslan fokus ke jalanan.
"Ehem!" dehamku mendongakkan dagu.
Ikut melihat ke hadapan jalanan seperti dirinya. Memberanikan diriku untuk menatap kembali ke arahnya.
"Tunggu! Gue mau tanya dari mana lo tahu rumah baru itu," tunjukku. Jemari kananku terangkat persis seperti orang membaca puisi dengan gaya telapak yang mengikuti irama bahasa.
Dari tatapan pria ini, dia masih saja tenang dalam memperhatikan setiap jalanan. Aku melihat pergerakan jemari tangannya meraba setir kemudi pelan dan menekan. Sapuan jempol mulai menggeser ringan, hingga melemparkan tatapan ke arahku.
"Lo lupa sama status gue? Asisten artis, tetapi awalnya gue adalah seorang yang bisa ke mana-mana." Dia menaikkan alisnya sebelah, memutar wajah kembali ke jalanan. Bibirnya yang mengatup rapat kembali terbuka sedikit. "O, iya. Siapa yang nggak kenal sama pengusaha terkenal muda dan tampan itu, bukan? Jose Martin Axel."
Oslan menyebutkan jelas nama suami sementaraku. Wajahku memucat pasi, bibirku tergerak pelan, tapi tak kuasa untuk berucap. Hingga telapak yang bergaya ini turun secara pelan sambil membuang pandangan tak percaya.
Bibirku kembali terbuka sendiri, mendengus. "Ah, gila! Gue baru tahu kalo lo juga jago acting," sebutku sambil mengangkat telunjukku menekan dagu hingga menopangnya.
Kami tidak melanjutkan lagi pembicaraan, Oslan memilih diam dan melaju cepat kendaraan roda empat ini. Memang tidak semewah yang dimiliki oleh Jose, tetapi mobil ini cukup memberikan kenyamanan dalam menikmati perjalanan pulang.
Dia berhenti setelah tak berapa lama bersamaku, yang tadinya aku hendak memilih sendiri. Tapi Oslan melakukannya karena tanggung jawab seorang pria. Dia membukakan pintu untukku dengan gesit, dua tangannya menarik pintu dengan gagah sambil tersenyum.
Kakiku memberi respon untuk menuruni mobil. Mungkin, akan sedikit cemas dan ragu pada pria yang mengantarku ini. Tapi suatu hari nanti, kami akan menjadi satu tim untuk menendang bola ke gawang. Gol.
Berdiri di depannya dengan jarak yang begitu dekat. Dia masih mempertahankan senyuman manisnya agar tidak menuai rasa jenuh.
Akhirnya kepalaku meminta pamit. "Makasih," ucapku sambil membungkukkan kepala. Seperti orang-orang kebanyakan yang selalu memberi kesopanan kepada lebih tua. Walau dia tidak setua diriku dan kami sebaya, tetapi aku menghormatinya karena dia akan segera menjadi senior kerjaku.
Kakiku menghindari posisi hadapannya, Oslan menutup keras pintu mobil sambil memperhatikanku lalu melambai tegas.
"Cha, jangan lupa!" teriaknya seolah-olah tidak ada yang mengawasi.
Aku yang sudah memasuki halaman pertama dari pintu gerbang besi berbalik, membalas lambaian tangan si pria manis itu. Aku yang malah tidak menghiraukan posisi yang pasti kurang aman untuk bertemu dengan seorang pria.
Di sana, Oslan telah memasuki pintu mobil sebelah. Menutup perjumpaan kami berdua tanpa mempedulikan siapa pun. Bahkan diriku yang berdiri dengan tenang, melupakan situasi hari ini atau nanti.
Entah apa, yang terjadi pada siang tadi? Bela yang datang tanpa tujuan penting, menyapa, sedikit kesal dan malah meminta pertemanan. Aku penasaran, tetapi hatiku berjaga-jaga siapa tahu kalau dia juga seorang pemain film yang andal.
Pandai bersandiwara dengan tenang. Di hari yang sama, aku dan Oslan tidak sengaja bertemu setelah sekian lama tidak berjumpa. Yang ternyata, dia adalah seorang pria dari teman perempuanku ketika SMA.
Dia seakan menutup wajahnya dengan topeng tebal, sehingga aku tak bisa mengenalinya. Memang, memoriku agak kurang baik mengenang orang yang baru bertemu satu atau dua kali. Kami tidak pernah berbincang atau pun bercanda setelah bersama selama lima belas menit.
Dia pergi dan kembali menghilang untuk waktu yang lama.
Tempat yang berbeda, antara rumah sekolah dan lokasi kontes model.
***
Tempat yang berbeda pastinya. Tidak usah ditebak lagi kalau rumah mewah minimalis dengan taman luas memiliki satu ukuran kolam renang panjang. Dikelilingi oleh lampu taman yang anggun serta CCTV yang sangat kecil.
Hingga pagar tembok yang sangat tinggi, tidak bisa dijangkau oleh orang asing atau penjahat sekalipun.
Suasana malam yang mempesona dengan aroma sejuk dari ujung halaman hingga ke dalam bangunan besar. Inilah yang dimiliki oleh pasangan hidup sebenarnya, Jose dan Bela. Namun sayang, tidak ada suara anak-anak atau bahkan suara jeritan dari beberapa orang tua.
Di lantai atas, dibatasi dengan pagar tralis yang kuat lalu ditutup dengan dinding panjang menutup sebagian perbatasan lantai atas.
Satu ruang kamar yang sedikit terbuka. Bela berdiri dengan dua tangan digenggam sangat berani. Punggungnya terlihat sangat tegak, lalu mulai terlihat bibirnya agak bergetar.
"Kenapa lo jahat banget, Jose?!" Bela bersuara lirih.
Mungkin, dikira dia hendak marah kepada Jose yang sedang melepaskan dasi hingga kemeja polos berwarna kelabu terang. Terakhir, melepaskan jam tangan ditaruh ke atas meja dekat dinding kamar.
Dia bahkan tidak peduli akan suara yang berisik menyentuh hati.
"Jose, kenapa lo diem aja sih?!" Bela mulai naik darah, nadanya meninggi bersama urat nadinya agak menggeliat geram.
Jose kemudian mengenakan kaos lengan pendek sambil menoleh miring dan kesal. "Berisik!" bentaknya.
Bela terdiam, mematung tak berani melangkah. Akhirnya mereka saling menatap dengan jarak yang cukup jauh. Satu ruang kamar yang cukup luas dengan ukuran dua orang. Mereka saling melempar dengan dua tatapan yang berbeda, memelas dan kesal.
Jose tak sabar, lalu memajukan langkahnya mendekati sosok istri sahnya. Dua tangannya merampas paksa tubuh Bela lalu menekan dengan sangat dekat. Bela masuk dalam dekapan sang suami yang maniak.
"Jose, lepasin gue! Gue nggak sudi kalo lo udah bersentuhan sama cewek murahan itu." Bela menentang.
"Heuh! Lo pikir bisa menghindar dari gue? Lo pasti pengen juga kan?" Alis Jose naik, nadanya cukup memualkan Bela.
Dengan kesal, Bela mendorong kasar tubuh suaminya agar menjauh dari sisinya. Nada yang serupa dengan orang yang hampir terkena penyakit jantung. Detak tidak seirama, tetapi cepat dan tidak beraturan.
"Pergi!!" Bela memekik sambil merundukkan kepalanya.
Jose tercengang dengan perlakuan Bela padanya. Jose kembali maju, dan meraih lengan Bela secara lembut. Bela memberontak hendak menjauh dari Jose. Tapi, nada Jose cukup melelehkan hatinya seketika.
"Sayang, maafin gue. Ini rencana papa, gue mohon percaya sama gue." Jose menggerakkan kepalanya mengikuti raut wajah Bela, dua tangannya meraba rambut Bela agar terlihat lebih jelas. Mereka bersentuhan, Bela tetap ingin menolak.
"Gue janji, gue nggak akan ninggalin e lo. Ocha hanya menjadi rahim pengganti, bukan sebagai orang kedua." Suara Jose lirih.
Bela menjadi penurut, kepalanya mulai ingin menatap rupa suaminya. Jose tersenyum nakal, mulai merampas miliknya. Wajahnya mendekat.