Chereads / Si dungu mendadak kaya / Chapter 18 - Sentuhan lembut itu membuatku malu

Chapter 18 - Sentuhan lembut itu membuatku malu

Sentuhan di antara hawa dingin hujan. Datang tanpa diduga, bahkan menghilangkan akal Jose dalam mengambil tindakan. Bukan untuk menghakimiku, tetapi dia malah menatap mesra raut lemahku.

Rasanya, bibir ini sudah basah oleh lumatan lembutnya yang bernapas pelan. Setelah aku bertanya satu hal padanya, dia masih mengelus rambutku yang panjang. Sementara pandanganku turun tak berani menatap.

Dua tangannya meraba pelan pipiku, lalu kembali turun menyentuh bibirku yang basah.

"Ocha, lo pasti bakal tau kenapa gue bisa nikahin e lu," tuturnya lembut.

Satu tangan menahan kepalaku, lalu jemari sebelahnya masih menyentuh bibirku yang masih malu-malu. Dua jemari itu jatuh begitu pelan, kembali menarik tubuhku untuk didekap dengan erat. Aku mendengar nada serupa dari sebuah ingatanku yang mendalam.

Apakah ini?

Napasku seakan berhenti berembus, detak jantungku tak beraturan. Bahkan jemariku dingin sedingin es di kutub. Apakah benar aku sedang jatuh cinta? Kepada suami sementara ini. Penglihatanku merangkak, hingga mengintip dari balik dinding bahwa hujan telah mereda sejenak.

Tetes air di sana sudah tidak lebat. Berarti hujannya benar tak lagi turun untuk membasahi tanah bumi. Aku spontan mendorong tubuh Jose, yang sudah merampas dan membuatku malu sepenuhnya.

Kepalaku malah merunduk, hingga berkirai dari sudut bangunan tersebut. Jose malah menarik pergelangan tanganku, dimana wajahku sudah merasa malu dan sadar.

"Ocha," panggilnya.

Aku tak berani menatap karena tadi sudah bersentuhan lembut. Tidak seperti sebelumnya, ketika aku dibawa tidur olehnya. Hingga saat ini, aku masih terngiang betapa perihnya menerima hubungan tanpa cinta.

Tapi yang ku yakinkan, itu hanyalah mimpi buruk.

"Lo nggak bisa pulang dan menghindar dari gue. Cuma hari ini, gue ada di sini. Besok, gue udah balik ke Pantai Indah Kapuk." Jose bersuara seakan diriku hendak pergi jauh, dia bersuara karena diriku akan menghindar dari sisi bangunan.

Kepalaku lalu berbalik, memalsukan senyum. "Gue cuma mau keluar kok. Kan udah nggak hujan lagi," tunjukku dengan mengayunkan sebelah tangan ke luar halaman.

Jose mendongak dagunya, ikut terarah olehku bahwa hujan memang sudah berhenti. Akhirnya aku berhasil, membujuk dirinya untuk keluar dari sana.

Kami melangkah sejajar, antara aku dan dia sudah menciptakan suasana canggung. Pandanganku masih sama, sedangkan dia seolah-olah tenang dengan menjejalkan tangan ke dalam saku, seperti biasanya.

Dia berlagak keren, di antara keteduhan setelah hujan. Bekas rintik hujan masih melekat di tengah-tengah dedaunan. Angin bertiup sepoi, yang akhirnya mengguncang sedikit dahan pohon. Jose menepi dan menutupi diriku dengan blazer miliknya.

Aku terpaku diam, langkah ini terhenti saat kain sebelah badan miliknya sudah menutupi wajahku. Padahal, angin hanya perlahan melambai. Dia seakan tidak ingin aku basah oleh percikan air dari sela-sela daun.

"Ehem!" dehamnya kembali ke posisi semula.

Jose melakukannya secara tidak sadar. Aku masih terdiam hingga menegakkan kepalaku untuk ke depan jalan. Lalu kami melanjutkan perjalanan yang entah ke mana.

Jose akhirnya memberi petunjuk ke mana kami akan pergi. Ke parkiran motor, yang sudah menunggu kami pulang dengan dua helm terjaga di sana. Tapi dia mengembus napas panjang, lalu berbalik mengarahku.

"Lo pasti lapar kan?" tanyanya sok khawatir.

Aku harus menatap ke depan, tepat ke arah dua bola matanya memicingkan lembut. Tiba-tiba aku terngiang dengan nadanya ketika di bangunan tadi. Ketika bibirnya menyerobot ke arahku dan memacu kejantanannya.

Lalu dia berucap setelah pertanyaanku dengan jawabannya.

"Ocha, lo pasti bakal tau kenapa gue bisa nikahin e lu," tuturnya lembut.

Hanya saja, aku sama sekali tidak mengingat itu lagi. Yang paling kuingat adalah bibirnya yang basah. Hah!

Mataku membelalak, lupa, kaget, bahkan diriku sadar bahwa di depanku masih berdiri sosok dirinya—suami sementara ini. Cepat-cepat aku meraih helm yang ada di atas badan motor, bahkan dia belum memberiku helm tapi aku sudah merampasnya.

Begitu cekatannya aku menghadap dirinya yang sedang terheran-heran menatap tingkahku yang pemalu.

"Kenapa?" tanya Jose curiga.

Aku menggeleng, sambil menutup wajahku dengan penutup helm tebal. Warna gelap dari penutup wajah helm ini seakan melindungiku dari rasa malu. Dia tidak bisa menatapku dengan jelas dengan perubahan rautku.

"Gue pengen makan. Terserah lo aja, lagi pula gue kan udah masak tadi di rumah." Suaraku parau, cepat, terburu-buru. Aku tidak ingin terlalu berlama-lama memandang langsung wajah Jose.

"Oke."

Sahutan Jose berakhir dan berbalik badan. Tangannya merampas tangkas helm serta motornya. Dengan gesit, aku menaiki badan motor dan duduk di atas jok. Akhirnya perasaanku sedikit lega karena wajahku bisa dilindungi supaya tidak berpapasan dengannya.

Jose melalui taman kota. Mengitari beberapa tanaman, hingga keluar dari jalur jalan kecil. Kami melewati beberapa ruko dan pasar, dia berhenti di tepi jalan. Lebih terheran lagi, aku harus mengikuti arahan yang dia inginkan.

Dia berhenti di tepat sebuah warung makan. Ini apa?

Jose memarkirkan motornya tepat di depan warung jalanan.

"Kok malah ke warteg sih?" keluhku tak ingin masuk.

Melihat Jose yang ingin segera mengajakku makan, dengan tangkas aku menarik lengannya hingga terhenti.

"Kenapa sih?!" ketusnya.

Aku menggeleng, tetapi tidak berkata banyak mau pun menjawab pertanyaannya. Jose akhirnya menyenggut, lalu melepaskan tanganku secara pelan.

Aku terkesima lagi, mataku terpejam hingga mengedip-ngedip berulang kali.

'Kenapa? Kok dia pelan banget nyentuh gue?'

DEG!

Dalam hatiku gusar. Mataku malah memicingkan penglihatan ke sembarang arah. Bola mataku berputar tak beraturan. Aku menunggu dan termangu di saat terakhir dia meninggalkanku. Tak beberapa lama kemudian, dia kembali sambil mengacungkan satu kantong besar berisi dua bungkus makanan.

"Kita makan di perumahan gue aja." Usulannya sudah di depan mata.

Secara sadar, aku mengikuti gerakan kaki dan tangannya. Naik ke atas badan motor dan kembali berdesing di jalanan.

Kami berdua tiba di perumahan yang katanya miliknya. Jose berhenti tepat di depan sebuah garasi mobil. Aku yang masih menyimpan malu tadi harus berupaya menghilangkannya. Tapi masih saja mengenakan helm hingga mengikutinya ke dalam garasi.

Jose berhenti dan mengunci gagang motor sport kerennya. Lalu berbalik ke arahku yang masih bertingkah aneh ini. Kepalaku tidak ingin jauh dari badan helm. Jose malah mendekatiku hingga menyerang kepalaku.

Dua tangannya menarik paksa helm tersebut, yang memperlihatkan wajahku sedang menutup mata rapat.

"Hei!" tegurnya.

Lalu dua bola mataku bergetar pelan, rasanya tak ingin membuka. Ini paksaan darinya, yang terpaksa melihat jelas rupanya lebih dekat dari yang dibayangkan.

Jose menjatuhkan helm ke samping tubuhnya, lalu mendorong satu tangan untuk mencegahku bergerak. Sekilas wajahnya begitu sempurna, bahkan aku kembali dihipnotis oleh ketampanannya.

"Jose," lirihku.

"Lo malu?" Jose menaikkan alisnya sebelah.

Tapi mataku memelotot visus, menajam.

Tiba-tiba Jose kembali mendorong wajahnya, lalu melesat ke samping diriku berada. Tidak jadi melakukan hal tak senonoh itu lagi. Walau kami sudah menikah secara tidak sah.

"Jangan berpikir macam-macam. Dan jangan jatuh cinta, gue nggak suka." Jose kembali memalingkan pandangan dan meninggalkan posisiku yang mematung bodoh.