Aku memperhatikan dua sisi yang berbeda, antara kunci mobil dan wajahnya. Napasku seakan terhenti sejenak karena kejadian yang baru saja terjadi. Teriakan seorang istri sah tepat di depan rumah baruku, lalu percakapan di antara mereka berdua menjadi tantangan maut.
Jose masih menungguku untuk meraih kunci dari telapak tangannya. Karena aku terpaku diam, dia menjatuhkan kunci ke dalam genggaman tanganku. "Ambil, gue bakal balik ke sini. Kalo lo butuh sesuatu, mungkin belajar kemudi bisa panggil tuh dua orang!" tunjuknya ke arah luar halaman pagar.
Aku terpengah saat Jose menyadariku akan hal itu. Dia mengacungkan telunjuk ke arah dua pengawal, lalu membukakan pintu rumah baruku.
Kepalaku melesat ke arah samping depan. Melihat punggung tegap telah memasuki rumah. Aku menatap kunci yang sudah ada di telapak tanganku.
"Gue punya mobil?"
Suaraku tak percaya melihat kunci mobil tersebut. Aku menghamburkan lamunan lalu berkirai dari halaman memasuki rumah.
Jose telah duduk di atas sofa empuk di dekat dinding. Tak jauh dari pintu utama, dia melambaikan tangan mengarahku. "Ke sini!" perintahnya.
Kakiku hendak tergelincir dari lantai, tetapi tetap gagah untuk melangkah mendekatinya. Duduk bersebelahan dengan jarak satu meter darinya.
"Dia istri gue, istri sah. Bela Levina, usianya lebih tua dua tahun sama lo. Menikah dengan gue karena urusan bisnis, menjadi akar kuat agar terus menahan dinding kokoh dalam sebuah perusahaan papa,"
"dia mandul, nggak bisa punya seorang anak. Dia pengen banget dapet seorang putra dari gue, maka itu gue cari rahim pengganti." Jose menghentikan ucapannya.
Tiba-tiba saja napasku menjadi berat, rasanya bertumpuk dengan banyaknya pikiran yang terhampar di hadapanku. Sejenak aku menarik napas, kemudian aku mengembuskannya. Tapi Jose masih saja banyak celopar.
"Cukup!" seruku lantang, aku mengacungkan satu tangan untuk menghentikan bibir cerewetnya.
Napasku jadi cepat, bahkan tak henti-henti untuk menarik napas lega. Tapi Jose melanjutkannya, tidak peduli dengan perasaanku.
"Setelah lo ngelahirin seorang anak, bakal gue kasih ke dia. Salahnya, gue nggak beritahu soal pernikahan kita. Pernikahan kontrak ini bakal berakhir setelah satu tahun sampe lo bisa punya anak. Jangan ada di antara kita jatuh cinta, jangan ada saling suka."
Jose terus melanjutkannya. "Aku mengenal ayahmu, dan—"
"Jose!!" seruku melesatkan pandangan ke arahnya.
Jose terpukau, bukan karena haru menatapku. Tapi malah berhenti dan mematung diam. Sementara jemariku terangkat datar mengarah dirinya. Jose mengedipkan matanya sesekali, sehingga diriku jadi salah tingkah.
"E … gu-gue hanya ngelakuin yang lo inginkan. Gue harus memahaminya." Suaraku terdengar mendesak diriku sendiri. Akhirnya aku menjatuhkan jemari yang sempat meninggi ke atas sofa, terlemah.
"Maaf," singkatku memalingkan wajah.
Jose meraih tanganku perlahan, bahkan lebih pelan dari sebelumnya. "Gue yang minta maaf." Lalu dia menambahkan ucapannya lagi. "Setelah semua selesai, Lo bisa pergi ke mana pun lo mau. Gue nggak akan ngambil apa yang pernah gue kasih ke e lo."
Tanganku merasa hangat ketika dia menyentuhku, wajahku kendur, masih saja termenung dalam suara merdunya. Jose kemudian menaruh telapak tanganku ke atas paha, dia beranjak tanpa adanya kata pamit.
Jose melewati meja dan tatapan kosongku. Aku duduk dan termenung karena sentuhan lembut darinya, bahkan beberapa kalimat penjelasan yang hampir meremukkan jantung serta hatiku.
Betapa sakitnya mendengar kalimat penjelasan. Jose menutup pintu utama rumah, di saat aku tidak beranjak dari sofa ini. Akhirnya tertinggal sesak di hati, jemariku bergetar lalu terangkat pelan.
Menepuk pelan dadaku yang menyayat kalbu. Goresan yang dia tinggalkan begitu dalam, sampai-sampai bibirku bergetar tak mampu berucap salam perpisahan.
"Hah, hah, ini nggak boleh terjadi." Rintihanku akhirnya bersuara. Kakiku geloyor ke bawah lantai karena tak kuat menopang beratnya masalah yang kubebani sekarang ini.
Menjadi wanita lugu, bodoh adalah jebakan pertemuan itu. Dua tanganku jatuh hingga mengentakkan permukaan mengilap di depanku. Kepalaku jatuh menatap keramik yang berkilauan, rautku runtuh dan tak ada yang bisa menahanku di waktu sementara.
"Gue, gue sakit!"
Dua kelopak mataku tertutup rapat tak dapat mengukir senyum. Tergores oleh penjelasan tadi, masih saja terngiang dengan ucapan Jose.
"dia mandul, nggak bisa punya seorang anak. Dia pengen banget dapet seorang putra dari gue, maka itu gue cari rahim pengganti."
"Setelah semua selesai, lo bisa pergi ke mana pun lo mau. Gue nggak akan ngambil apa yang pernah gue kasih ke elo."
Kalimat itu paling kukenang setelah sebelumnya ada banyak kalimat dia ucapkan. Lalu kepalaku terdongak. "Aaaahh!!!" teriakku menggema ruangan.
Aku dan kesendirianku menghantui batin kenangan lama.
Jose yang masih berada di luar sempat mendengar dan termenung sesaat. Dia pergi begitu saja untuk menjauh dan kembali pada tujuannya.
***
Kini, malam menjadi kehampaan di ujung penantian. Di kamar yang nyaman ini, di atas meja dekat jendela yang masih terbuka dan terpancar cahaya berbintang malam. Mataku menatap kunci mobil begitu lama.
Aku menopang daguku dengan satu jemari tangan, bibirku mencibir pelan seorang diri. "Gue cewek bodoh yang bisa segitu nerima lamaran dan kaya mendadak." Cibiranku seakan melupakan suasana sepi.
Ketakutan sendiri tidak menang, hanya karena aku sedang merasa sakit. Luka itu sudah menjadi nasib sial dalam hidup. Jemariku menggeser kunci mobil yang bercorak bunga sakura, kulit berwarna cokelat muda.
Dia sengaja membuat kantong kunci mobil layaknya milik wanita. Ini gila!
Lalu aku melesatkan pandangan, mengarah rak lemari. Kamar ini tidak terlalu luas, yang sebenarnya bukanlah kamar yang ada di sebelah. Aku tidak ingin tidur di sana, yang hanya bisa membuatku merasa perih.
Jemari tanganku menggeser ke arah sebuah rak lemari yang tersusun oleh buku-buku, novel, dan beberapa catatan kosong. Dengan sigap, aku beranjak dan meraih salah satu novel kuno. Sebuah novel yang berjudul 'Ruang gelap tak berarti sempit'.
"Wow! Novel ini bikin penasaran." Aku jadi mengembalikan semangat hanya karena sebuah novel.
Karena suka, aku berbaring di atas tempat tidur yang berukuran satu orang. Dua kakiku tertekuk ke atas sambil menikmati bacaan tersebut. Demi beberapa lembaran buku, aku harus menyelesaikan setidaknya dua puluh halaman.
Sesekali mataku terkantuk karena lelah, tetapi aku masih saja tidak peduli. Baru membaca di bagian kesengsaraan seorang wanita yang terjebak dalam malam gelap. Lalu aku menutup spontan buku itu.
"Oh, tidak! Kenapa gue nggak kepikiran buat nulis aja?" Jemariku menghempaskan novel ke atas tempat tidur.
Membaca dan menulis termasuk hobi, akhirnya aku beranjak dan berpindah tempat. Kuundurkan rasa kantuk itu demi beberapa kalimat awal di atas kertas kosong. Oh, lebih tepatnya sebuah catatan kosong yang kuambil di antara rak dinding.
Mungkin, Jose sengaja menaruh barang-barang bekasnya. Memang buku dan novel ini terlihat lama, tapi kenapa dia menyimpannya di sini? Pikiranku malah mengarah kalimat yang kutulis.
Kejadian diriku sendiri dengan tinta hitam.