"Udahlah, Bun, yang penting sekarang Bunah sudah tahu kalau Rania ini pacar Alva. Nanti kalau Bunah mau ajak Rania jalan-jalan, tinggal langsung bilang saja. Tapi ingat harus weekend!" sela Alva tak ingin adiknya lebih banyak bicara lagi.
"Iya, pasti kok. Lagian Bubund juga tahu kalian sibuk jadi pasti harus weekend kalau mau ngajak jalan," sahut Marissa.
Rania benar-benar kikuk mendengar perkataan sepasang ibu dan anak itu. Ini semua gara-gara Alva yang suka cari gara-gara. Harusnya lelaki itu tidak asal jeplak dan mengaku-ngaku sebagai kekasihnya.
"Kak, memang Kakak sama Kak Alva udah resmi pacaran?" bisik Alvia penasaran dengan pengakuan Kakaknya.
Rania langsung menggelengkan kepala menolak kalau dia dan Alva memiliki hubungan lebih. Tentu saja itu membuat Alvia mencabik bibir sembari menatap Kakaknya.
"Kenapa natap Kakak begitu, Dek?" tanya Alva heran dengan Kelakuan adiknya.
"Tahu ah, Kakak nyebelin! Udah yuk kak ikut ke kamar aku!" ajak Alvia langsung menarik Rania untuk mengikutinya.
Tidak sedikitpun Alvia memperdulikan teriakan ibunya. Rasa penasaran yang saat ini menyelimuti hatinya, membuat Alvia tak sabar untuk mengintrogasi Rania.
Sampai di kamarnya, Alvia segera menutup pintu agar sang ibu tak bisa sembarangan masuk saat obrolan mereka sedang serius-serius nya.
"Via, ada apa sih kamu malah ngajakin aku ngamar?" tanya Rania keheranan.
"Ya, aku penasaran dengan apa yang tadi Kak Alva katakan. Sebenarnya kalian ini pacaran atau sebatas sekretaris aja?" tanya Alvia sembari membawa Rania untuk duduk di sisi ranjang.
"Enggaklah! Aku juga enggak tahu kenapa Kakak kamu tiba-tiba ngakuin aku sebagai pacarnya. Padahal tadi di kantor saja dia galaknya enggak ketulungan," sahut Rania menolak dengan tegas kalau Alva adalah kekasihnya.
Alvia langsung manggut-manggut mengerti mendengar perkataan Rania. Sepertinya memang ada yang tidak beres dengan kelakuan Kakaknya. Tidak mungkin Alva tiba-tiba mengakui Rania sebagai kekasihnya jika bukan karena tujuan tertentu.
"Emmm, kalau memang apa yang Kak Rania katakan benar, berarti Kak Alva memang sedang memainkan drama. Aku juga enggak tahu sih drama apa yang sebenarnya dia mainkan. Tapi aku yakin ini ada sangkut pautnya dengan Bunda," ucap Alvia penuh keyakinan.
"Kok gitu? Memang ada apa sebenarnya? Kenapa aku juga harus ikut ke seret masalah Alva dan ibunya." tanya Rania benar-benar penasaran.
"Aku enggak tahu. Tapi kita coba saja cari tahu apa penyebab Kak Alva ngelakuin ini," ajak Alvia membuat Rania tampak mengernyit.
"Bagaimana caranya? Enggak mungkin kan, aku pasang cctv berjalan supaya apa yang Alva lakukan bisa aku ketahui?" tanya Rania benar-benar bingung maksud perkataan Alvia.
"Ya, enggak gitu juga, Kak. Kita bisa cari tahu apa yang sebenarnya alasan Kak Alva berbohong pada Bunda. Ayo!" ajak Alvia menarik Rania hingga wanita itu kembali berdiri.
"Kita akan kemana lagi, Via? Aku enggak mau ah kalau nanti kita malah akan kena masalah. Kamu sendiri bagaimana galaknya Alva? Aku enggak mau kalau sampai dia kembali melayangkan hukuman," ucap Rania benar-benar bergidik membayangkan Alva akan kembali menambah hukuman yang harus Rania jalani. Bagaimanapun juga lelaki itu benar-benar keterlaluan kalau sudah urusan hukum menghukum.
"Ya, jangan sampai ketahuan! Kita kan main detektif-detektifan nanti, Kak," bujuk Alvia karena sebenarnya dia pun takut kalau sampai Alva tahu lelakuan nakalnya.
"Emmm … gimana, ya?" Rania tampak masih ragu-ragu. Wanita itu benar-benar takut kalau seandainya Alva menambah hukuman untuk dirinya.
"Kakak ih! Jangan kebanyakan mikir! Ayo kita temuin Kak Alva sekarang!"
Alvia kembali menarik Rania keluar dari kamar tanpa peduli dengan penolakan gadis itu.
Alvia benar-benar penasaran dengan apa yang sebenarnya menjadi rencana sang kakak hingga mengakui Rania debagai kekasih padahal kenyataannya mereka hanya rekan kerja.
Sampai di dekat ruang keluarga, Alvia mengajak Rania bersembunyi di balik tembok. Mereka akan mendengar apa yang dibicarakan Alva dan juga Marissa karena sepertinya mereka memang sedang berbicara serius.
"Jadi kapan kamu akan menikahi Rania?" tanya Marissa begitu serius pada putranya.
Rania dan juga Alvia langsung saling pandang mendengar pertanyaan Marissa. Mereka benar-benar kaget mendengar wanita itu langsung menodong Alva dengan pernikahan.
"Bun, jangan bertanya tentang pernikahan dulu sekarang. Aku dan Rania itu baru saja pacaran. Kamu baru saling mengenal satu sama lain jadi masih membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri," sahut Alva mencoba memberikan pengertian pada ibunya.
"Enggak! Bubund udah ngasih kamu waktu selama dua bulan tapi baru kali ini kamu bawa wanita pulang. Terus sekarang saat Bubund minta kamu untuk cepat nikahin dia malah banyak alasan. Maunya apa sih, Va? Bubund capek loh di ejek terus karena belum gendong cucu," keluh Marissa dengan mimik wajah yang begitu sendu.
"Bun, kenapa enggak Bunah ejek balik aja kalau mereka memang berani ngejek Bunah? Atau apa perlu aku yang ngejek balik mereka buat Bunah?" tanya Alva terdengar begitu menyebalkan.
"Hish, kamu itu bener-bener! Pokoknya Bunbund enggak mau tahu satu Minggu lagi kita akan melamar Rania!" tegas Marissa tanpa bantahan.
"Hah?!"
Teriakan spontan yang berasal dari bibir Rania, sukses membuat Alva dan Marissa mengalihkan pandangan.
"Loh, Rania, Via, sejak kapan kalian di sana?" tanya Alva dengan tatapan yang begitu tajam.
Alvia langsung garuk-garuk kepala ketahuan sudah menguping oleh ibu dan juga Kakaknya. Padahal, topik pembahasan sedang seru-serunya tapi Rania malah berteriak-teriak tidak jelas.
Begitupun dengan Rania yang sadar kalau dirinya sudah kepergok nguping hanya bisa merutuki kebodohannya.
Sudah pasti setelah ini tak ada mapunan lagi dari Alva. Rania harus siap-siap menghadapi hukuman yang akan lelaki itu layangkan padanya.
"Rani, ayo sini, Sayang!" panggil Marissa sembari melambaikan tangan ke arah Rania.
Rania langsung berjalan menghampiri Alva dan juga Marissa. Semoga saja setelah ini dia tidak harus menghadapi kemarahan Alva yang benar-benar mengerikan.
"Sayang, kamu pasti sudah mendengar kan, barusan apa yang Bubund rencanakan?" tanya Marissa begitu Rani duduk di sebelahnya.
"Su-sudah, Bun," jawab Rania tergagap.
"Hem, bagus! Jadi bagaimana tanggapan kamu? Apa kamu siap menikah dengan Alva dalam waktu dekat ini?" tanya Marissa menatap menantunya eebgan begitu lekat.
Rania langsung menatap Alva karena bingung harus menjawab apa. Namun, lelaki itu seakan acuh dan malah mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.
Kelakuan Alva itu benar-benar seperti maling yang baru saja Rania selamatkan dari polisi yang mengintrogasi nya. Hingga kini bisa bersikap acuh tak acuh padanya.
"Bagaimana, Rania? Apa kamu bersedia menikah dengan Alva dalam waktu dekat ini?" tanya Marissa lagi.
"Emm, Bun, sebenarnya aku ini …."