"Mau, Bun, pasti Rania mau!" sela Alva memotong perkataan Rania begitu sadar kalau gadis itu akan menolaknya.
Tentu saja kelakuan Alva itu membuat Rania mendelik sebal. Ingin sekali dia mencekik laki-laki kurang ajar itu karena sudah seenak jidat mempermainkan hidupnya.
"Va, Bubund bertanya pada Rania, bukan padamu. Sebaiknya kamu diam dan jangan banyak bicara lagi!" ketus Marissa benar-benar gemas pada anaknya.
"Yah, Bun, aku sama Rania itu satu. Apa yang aku katakan pasti akan sama dengan yang Rania inginkan. Aku dan Rania itu tidak akan mungkin membuat Bunah kecewa karena itu pasti tidak akan baik akhirnya," ucap Alva dengan tatapan yang begitu menusuk pada Rania.
Seolah, Alva sedang memberikan peringatan pada wanita itu untuk jangan berbicara macam-macam karena dia akan tidak akan tinggal diam.
Rania yang melihat tatapan tajam Alva, sudah mengerti kalau lelaki itu bisa melakukan apa pun untuk menghukumnya.
Ntah hukuman apa itu, Rania pun tidak tahu. Meskipun saat ini Rania akan selamat, tapi tidak setelah keluar dari rumah ini. Alva pasti sudah menyiapkan hukuman berat yang harus Rania tanggung jika tidak menurut.
"Hey, Sayang, kenapa kamu diam saja? Bubund bertanya sama kamu bukan sama Alva. Jadi, Bubund ingin mendengar jawaban dari bibir kamu langsung.
Kamu tidak usah takut pada Alva Bubund janji akan melindungi kamu. Alva tidak akan bisa berbuat macam-macam apalagi itu akan membahayakan kamu," ucap Marissa takut kalau menantunya tertekan karena kelakuan Alva yang terkesan memaksa.
Rania menghela napas lalu kembali menatap Alva sejenak. Tatapan laki-laki itu masih saja tajamnya sedari tadi.
Entah harus seperti apa sekarang Rania bersikap. Dia tidak mencintai Alva dan tidak mungkin ingin menikah dengan lelaki itu.
"Bun, apa tidak bisa menambah waktu yang lebih panjang lagi untuk aku berpikir. Emm, maksudnya aku harus membicarakan semua ini dulu dengan keluargaku. Aku memang mencintai Alva, tapi aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri," ujar Rania memberanikan diri menolak dengan cara halus.
Rania berusaha untuk tidak menoleh pada Alva karena pasti lelaki itu tengah menatapnya dengan penuh permusuhan saat ini. Rania hanya mencoba mempertahankan senyuman di bibirnya dengan tatapan mata yang hanya tertuju pada Marissa saja.
"Oh, tentu saja, Sayang. Kamu bilang dulu pada keluargamu tentang rencana Bubund. Nanti kalau sudah ada keputusan kamu bilang lagi sama Bubund biar Bubund temuin keluarga kamu," sahut Marissa sama sekali tidak keberatan dengan permintaan Rania.
"Terimakasih, Bunda. Terimakasih atas pengertiannya," ucap Rania dengan helaan napas lega.
"Sama-sama, Sayang," sahut Marissa sembari menggenggam erat tangan menantunya.
"Bun, kok gitu sih? Bukannya kita bisa langsung menemui keluarga Rania dan berbicara dengan mereka mengenai pernikahan ini? Kenapa harus lewat Rania dulu?" kesal Alva tak sependapat dengan ibunya.
"Ya tentu saja harus lewat Rania. Kan yang mau nikah sama kamu itu Rania, Va, bukan orang lain.
Udah ah, kamu ini enggak sabaran banget! Lagian Rania enggak mungkin diembat orang kok. Iya kan?" tanya Marissa pada calon menantunya.
"Iya, Bunda," sahut Rania dengan senyum kecil di bibirnya.
Alva langsung mendelik sebal pada Rania. Ingin sekali dia menyeret wanita itu sekarang juga dan memberikannya pelajaran.
Namun, Alva harus sedikit bersabar. Bagaimanapun juga, Alva tidak mungkin berbuat kekerasan pada Rania dan itu di depan ibunya.
"Sudah, sebaiknya kita makan malam. Nanti setelah makan, kamu antar Rania pulang, Va. Enggak baik anak gadis di luar terlalu malam meskipun itu di rumah calon suaminya," ucap Marissa sembari menggandeng tangan menantunya beranjak dari sana.
Rania hanya tersenyum kecil mendapatkan perlakuan hangat dari Marissa. Sungguh sudah sejak lama Rania merindukan kehangatan dari keluarganya.
Ingin sekali Rania menangis di dalam pelukan Marissa. Mengucapkan ribuan terima kasih kepada wanita yang memberikannya kehangatan di saat hatinya hanya dipenuhi dengan rasa sepi.
"Ayo, Sayang, kita makan malam bersama. Bunbund enggak tahu Alva akan mengajak kamu ke sini sekarang jadi Bubund masak seadanya. Semoga saja ada yang kamu suka dari makanan ini," ucap Marissa sembari mempersilahkan Rania duduk di kursi dengan nyaman.
"Terimakasih, Bun. Aku suka semua masakan ini," sahut Rania dengan suara serak menahan rasa haru di hatinya.
"Ya sudah, kamu tunjuk ingin makan dengan apa biar Bubund ambilkan," ucap Marissa dengan senyum yang tampak mengembang di bibirnya.
"Biar aku saja, Bun. Aku enggak enak kalau …."
"Udah enggak apa-apa. Bubund senang kalau kamu tidak sungkan pada Bunbund. Bagaimanapun juga, sebentar lagi kita akan resmi menjadi keluarga, jadi kamu harus membiasakan diri menjadi anak gadis Bubund juga," ujar Marissa memotong perkataan Rania.
Rania hanya mampu menganggukan kepala. Lidahnya terlalu kelu untuk sekedar menjawab perkataan Marissa.
Dadanya terasa begitu sesak karena begitu terharu. Jika tak malu, mungkin Rania sudah menangis meraung-raung.
"Hey, kenapa malah melamun? Itu Bunah udah ambilin kamu makanan, Rania. Ayo makan, jangan bengong!" tegur Alva karena Rania malah terus bengong.
"Ah, Maaf, Bun. Terima kasih banyak," ucap Rania dengan mata berkaca-kaca.
"Sama-sama, Sayang. Ayo Alva sama Alvia juga makan!" titah Marissa dan dijawab anggukan kepala oleh kedua anaknya.
"Oya, Ayah mana, Bun? Kenapa enggak kelihatan dari tadi?" tanya Alva heran tak melihat kehadiran sang ayah.
"Ayah kamu bilang kalau malam ini akan lembur. Jadi, Ayah paling akan pulang larut nanti," jawab Marissa apa adanya.
"Hem, pantesan Ayah enggak ada. Biasanya juga nemplok sama Bunah," ledek Alva sembari terkekeh.
"Hish, kamu itu ledekin Bubund. Lihat saja nanti kamu dan Rania juga pasti bakalan lengket. Kalau enggak lengket, tandanya enggak sayang dong," sahut Marissa tak ingin kalah dari anaknya.
"Hahaha … pasti dong, Bun. Aku juga enggak mau kalah dari Bunah dan Ayah. Aku dan juga Rania pasti akan menjadi pasangan suami istri yang akan membuat Ayah dan Bunah iri," ujar Alva begitu pongah.
"Bener, ya? Awas kalau kamu bohong! Ingat ya, Va, sama istri itu harus selalu mesra supaya setiap hari cintanya bertambah bukan berkurang," ucap Marissa mengingatkan.
"Siap, Bunah," sahut Alva penuh semangat.
Rania hanya bisa tersenyum kecil melihat perdebatan sepasang ibu dan anak itu. Baginya, apa yang Alva dan Marissa lakukan benar-benar membuatnya merasa hangat.
Jika tadi Rania benar-benar kesal karena. Alva yang asal bicara hingga dengan lancang mengakui dirinya sebagai calon istri di hadapan Marissa, kini perasaan itu berubah dengan perasaan yang begitu hangat.
Bukan karena Rania bahagia Alva mengakuinya sebagai calon istri, namun Rania benar-benar senang melihat kehangatan Alva dan juga keluarganya.