Rion seperti memenangkan sebuah piala. Dia bisa mendapat kesempatan kedua bersama Aghata, kekasih sekaligus tunangan saudara sepupunya, Luoise Fernandez. Bukan hal yang baru bagi Rion untuk menginginkan apa yang menjadi milik saudara sepupunya, Louise.
"Rion" panggil seseorang yang membuat Rion menghampirinya dengan rona wajah bahagia.
"Kamu sudah selesai praktik?" Tanya Rion dengan senyum yang tak pernah luput dari wajahnya,
"Udah. Aku tadi baca chat dari kamu. Makanya aku ke sini" kata Rei sembari duduk di depan kelas Rion, "ada apa?"
"Ntar aku antar kamu pulang ya?"
"Em—, kayaknya gak bisa. Soalnya Lou bilang mau jemput aku" tolak Rei, wajah Rion seketika berubah tak seindah saat dirinya pertama kali menghampiri Rion . Kecewa.
"Oh—"
"Maaf. Aku takut nanti kamu—"
"Aku ngerti"
"Rion, maaf" cicit Rei,
Rion mengelus surai Rei yang notabene Agatha,"I know. Maaf ya, aku masih belum bisa pantas buat kamu"
Rei mengerjapkan kedua matanya. Merasa bersalah dengan apa yang diucapkan oleh Rion kepadanya. Rei bingung. Bagaimana dia harus mengambil sikap.
"Bagaimana kalau besok. Besok kamu bisa antar aku pulang." Usul Rei, membuat Rion tersenyum. Layaknya seorang yang memenangkan lotre.
"Oke. Kamu udah janji" kata Rion membuat Rei tersenyum.
——
Sebuah mobil Porsche terbaru terparkir di depan Green Garden High School. Semua murid wanita menatap lapar ke arah pria yang kini melipat kedua tangannya di depan dada. Dua kancing kemeja pria itu terbuka. Menampakkan kesan sexy dari sang pemilik tubuh. Berbeda dengan Rei yang terburu-buru menghampiri pria itu dengan keringat yang mengucur di dahinya.
"Kamu kenapa nelfon minta aku buru-buru? Kamu baru juga nyampek kan?" Cecar Rei sembari menyeka keringatnya.
"Masuk!" titah Luo membuat Rei mengikuti perintah pria dewasa yang kini tampak marah. Seingatnya, Rei tidak membuat masalah. Lebih tepatnya dia menjadi sosok Agatha yang baik. Suasana di dalam mobil mencekam. Hening. Rei tidak suka akan hal itu.
"Aku buat salah?" Tanya Rei hati-hati,
"Kamu akan tau. Nanti setelah kita sampai di sana!" Kata Lou dingin. Tidak ada Luo yang bersahabat.
"Baik"
Lou dan Rei hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Mobil Luo melaju ke arah sebuah tempat yang sangat familiar di mata Rei. Jalan yang membuatnya pulang ke rumahnya. Panti Asuhan Cemara. Rumah Rei untuk pulang. Rei menatap horor ke arah Luo, apa Luo mengetahui kebenaran dalam diir Agatha? Tapi bagaimana bisa Luo tau? Rei meneguk ludahnya kasar. Baru beberapa hari menjadi Agatha, nasib buruk selalu menimpa dirinya.
"Ini—"
"Tempat tinggal atau rumah gadis yang kamu tabrak malam itu"
"Kamu—"
"Gatha! Aku tau kamu marah sama aku. Tapi kamu gak harus buat Rei sekarat seperti itu. Rei koma! Apa yang aku harus katakan ke pada adik-adiknya? Mereka semua menunggu Rei bangun. Kamu gila ya Tha?" Teriak Luo, membuat Rei tersudut. Apa maksudnya?
Kenapa Agatha marah? Bukannya mereka berdua tidak saling mengenal?
Takdir apa yang sedang mempermainkan Rei sampai sejauh ini?
"Luo—, apa hubungan Rei dengan aku? Siapa dia? Siapa Rei?"
"Kamu pura-pura lupa? Kamu ingat sama Rion? Tapi kamu lupa sama Rei?" Cecar Luo membuat Rei semakin bingung dan menatap Luo dengan mata yang nanar.
"Aku memang amnesia! Aku baru ketemu Rion tadi pagi. Dan aku hanya mencoba mengingat—"
"Mengingat? Hubungan gelap kalian?"
"Kenapa dari tadi kamu sudutkan aku terus? Rei yang kecelakaan? Panti asuhan ini? Apa yang aku lakukan? Lalu Rion dan aku? Kenapa hanya aku yang kamu tuduh di sini? Memangnya kamu gak salah!" Teriak Rei tidak mau kalah. Dia harus melakukan hal ini, agar semuanya tidak ketahuan. Dia harus menunggu Agatha yang di dalam tubuhnya sadar dari koma. Rei harus menemui Agatha.
"Apa?"
"Tolong... Jangan buat aku semakin bingung. Kamu ingin bilang apa? Jelaskan pelan-pelan, jangan kamu kira aku hanya berakting untuk dapat rasa simpati dari kamu. Percuma! Aku gak tertarik untuk itu. Jika yang kamu mau, aku dan kamu mengakhiri pertunangan ini. Ayo kita lakukan! Tapi jangan paksa aku, untuk mengingat apa yang aku perbuat!" teriak Rei penuh amarah dan membuka pintu Porsche merah milik Luo. Kemudian Rei membanting pintu yang tak bersalah itu tanpa sesal. Dia segera masuk ke dalam Panti Asuhan, melupakan Rei yang kini berada di dalam diri Agatha Gianina.
—
Rei yang penuh emosi. Masuk ke dalam panti. Berlari ke arah sebuah taman yang berada di belakang Panti Asuhan Cemara, tempat melepaskan penat di kala dia sedih. Rei menumpahkan emosinya di sana. Menangis di sebuah bangku. Sesekali menyeka air matanya. Meratapi takdir yang tak adil kepada dirinya. Rei berharap dia tidak selamat malam itu. Tidak perlu terbangun dalam tubuh Agatha. Tujuannya malam itu adalah mati. Mengakhiri hidup yang tak ingin dia jalani, menjadi istri seorang Gangster.
"Kak! Kakak siapa?" Tanya gadis kecil yang menggenggam seikat bunga mawar putih di tangannya. Rei sangat mengenal gadis kecil itu, Alena. Si bungsu di Panti ini. Rei segera menyeka air mata nya, kemudian tersenyum dan memeluk Alena. Alena terdiam. Tidak membalas pelukan Rei.
"Hai Chubby... Apa kabar?" Tanya Rei tanpa melepaskan pelukannya, sebuah sapaan yang selalu Rei ucapkan pada si bungsu.
"Kak Rei? Ini kakak?" Tanya Alena, Rei tidak menjawab tapi semakin mengeratkan pelukannya. Rei sadar. Dia bukan Rei, dia Agatha.
"Bukan. Aku Gatha. Teman Kak Rei" dusta Rei membuat Alena membalas pelukannya,
Rei kemudian melepas pelukan mereka berdua,"di mana Rei? Apa kamu bisa bawa aku ke sana?" Tanya nya.
Alena menganggukkan kepalanya. Kemudian menggandeng tangan Agatha alias ke Rei ke sebuah ruangan yang Rei rindukan, kamarnya.
Jalanan setapak yang mereka lewati, seperti luka bagi Rei. Rei merasa asing di rumahnya sendiri. Dia tidak bisa memeluk adiknya satu per satu. Bahkan dia tidak bisa berceloteh bersama Bunda, sang Ibu. Alena menghentikan langkahnya di sebuah pintu jati. Pintu yang bertuliskan nama Rei. Alena menjinjit kan kedua kakinya kemudian membuka pintu itu. Rei dengan sabar berjalan di belakang Alena. Setelah pintu terbuka, Alena meletakkan bunga mawar yang dia bawa di sebuah bas bunga.
"Biasanya Kak Rei, selalu ganti bunganya sendiri. Sekarang Lena yang ganti" curhat Alena tanpa memperhatikan Rei yang membatu melihat tubuhnya penuh dengan kabel-kabel yang menunjang kehidupannya.
"Kakak!" Kata Alena sembari mengguncangkan tubuh Rei. Menyadarkan Rei dari lamunannya. Tanpa sadar air mata Rei mengalir. Lolos tanpa permisi.
"Kak—, kok nangis? Kak Rei bisa sedih loh!" tegur Alena membuat Rei segera menyeka air matanya.
"Kak, Kak Rei pernah bilang. Jangan menangisi perpisahan. Karena itu cara kita buat kuat. Lena aja gak nangis! Tau gak kenapa? Karena Lena belum kuat. Jadi nanti kami gak akan berpisah" celoteh Alena membuat Rei memeluk tubuh mungil yang berada di depannya.
"Terima kasih Lena"