Daffa mencium bibir Aisha dengan brutal hingga minuman pahit dalam mulutnya berpindah ke mulut Aisha. Perempuan itu membelalak menerima minuman pahit itu. Ciuman Daffa kali ini sangat kasar dan sarat akan kebencian. Tak beberapa lama perut Aisha perih dan ngilu. Ia merasakan sakit di perutnya.
"Minuman apa yang kamu berikan padaku?" tanya Aisha dengan wajah pucat. Perutnya sakit seperti diremas dan diputar. Perutnya tegang, perih dan panas.
"Obat penggugur kandungan," ucap Daffa berbisik di telinga Aisha.
"Kamu sudah tahu jika aku hamil?" Aisha mundur sembari memegangi perutnya. Malam ini merupakan perayaan anniversary pernikahan mereka yang ketiga bulan. Aisha ingin memberi tahu Daffa jika tengah hamil enam Minggu. Sayangnya, Daffa sudah tahu. Aisha ketakutan. Daffa bukan suami yang ia kenal. Pria itu sangat menakutkan dan misterius.
Daffa berdiri kaku memandang wajah Aisha yang telah berkeringat dingin. Ia menyeringai menatap Aisha yang sedang merasakan kesakitan. Aisha bahkan terbaring di tanah. Tangannya terulur ingin menggapai Daffa, namun pria hanya diam. Berdiri mematung menatap penderitaan Aisha. Seolah bahagia melihat istrinya kesakitan.
Tiba-tiba Vana muncul di depannya. Perempuan itu merangkul mesra dan bahkan mencium pipi Daffa. Aisha shock. Apa hubungan kakak tirinya dengan Daffa?
"Asal kamu tahu. Daffa kekasihku. Daffa menikahi kamu hanya ingin merebut perusahaan kamu. Kamu sudah mempercayakan perusahaan pada Daffa. Sudah saatnya kamu disingkirkan."
"Apa?" Aisha mencoba bangkit meski sakit yang dirasakan semakin parah. Darah mengalir dari selangkangannya. "Aku akan adukan kalian ke papa."
"Papa?" Vana berdecak mencibir Aisha. "Orang yang kamu panggil papa itu bukan papamu. Dia papaku dan Safira. Kamu hanya anak haram. Papa menikah dengan mama kamu ketika sedang mengandungmu. Kamu anak haram. Papa hanya menutupi aib mama kamu. Gara-gara mama kamu. Papa meninggalkan mamaku. Aku menderita waktu kecil. Aku benci kamu." Vana mendekati Aisha dan menjambak rambut perempuan itu.
"Sakit. Lepaskan aku," rintih Aisha menghiba.
Telapak tangan Vana makin erat menggenggam helaian-helaian rambut Aisha yang panjang. Dengan tak kenal belas kasihan, ia makin keras merenggut rambut perempuan hamil itu. Semakin Aisha merintih, semakin ia menggila.
"Anak haram!" Tawa Vana membahana. "Rasakan betapa perihnya kulit rambutmu, seperti yang aku rasakan berbulan-bulan melihat pernikahanmu bersama kekasihku!"
Aisha menitikkan air mata. Ia sungguh tak mengira, suami yang ia cintai rela bermain mata dengan perempuan lain. Saudara perempuan yang juga ia sayangi.
"Apa salahku?" Aisha menahan tarikan rambutnya yang semakin membuat perih di kulit kepalanya. Rasanya satu per satu helaian rambutnya mulai lepas. "Sakit, lepaskan Vana!" Aisha kembali mengiba.
Mendengar Aisha mengemis-ngemis belas kasihannya, Vana makin menggila. Dengan sekali hentakan, ia melempar Aisha ke sudut ruangan. Tubuh Aisha yang ringkih menghantam tembok bercat putih itu. Aisha semakin tak berdaya. Tubuhnya semakin lemah. Rasa sakit yang dirasakan Aisha tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Daffa mendekati Aisha, lalu berjongkok. Didorongnya kening Aisha hingga kembali. Kepalanya kembali menabrak tembok. Wajah kesakitan yang diperlihatkan Aisha tidak membuat Daffa merasa kasihan. Senyum mengejek terlihat dari laki-laki yang dinikahinya tiga bulan yang lalu.
Daffa mendengkus,"Untung kamu masih perawan, sewaktu aku nikahi Aisha." Ia tertawa terbahak-bahak.
"Untungku dobel nih, mengambil harta kekayaan mamamu, dan mengambil hartamu yang paling berharga!"
Air mata Aisha mulai meleleh, ia tak sanggup lagi menahannya.
"Kau menipuku? Mengapa kau tega menyakitiku. Aku sedang mengandung anakmu. Anak kita," ucapnya mengiba.
Mata Daffa membesar. Dengan kejam ia memandang istrinya.
"Aku tidak pernah mencintai kamu. Aku tak sudi memiliki anak denganmu. Aku hanya ingin menikmati tubuh molekmu saja!
"Daffa." Aisha berteriak meski sakit diperutnya semakin menjadi
"Teganya … "
"Diam! Dasar anak pelacur!" Vana meraung penuh kebencian. "Hentikan omonganmu! Aku tidak akan sudi merawat anak dari anak haram seperti kamu!" Dengan keras Vana menendang wajah Aisha hingga bibirnya robek dan mengeluarkan darah.
Aisha memegangi perutnya yang semakin lama semakin mengeras. Keram dan sakit yang luar biasa datang silih berganti. Ia merasa mual dan ingin muntah.
"Sakit!" rintihnya sambil terus memegangi perutnya yang mengeras. Pelan tapi pasti, Aisha merasakan hawa dingin pada selangkangannya. Ia menunduk. Tercium aroma amis dari kemaluannya. Ia tersentak. "Ah, obat itu sudah bekerja!" batinnya panik. "Bagaimana aku menghentikannya? Anakku. Kau harus selamat nak. Jangan. Aku tidak ingin kamu mati."
Terhuyung Aisha mencoba bangkit dan berdiri. Ia berniat keluar dari tempat terkutuk ini. Perlahan tangannya menempel pada tembok, dengan pelan ia mencoba bertahan. Kakinya gemetar menahan perih yang teramat sakit. Aisha merasakan rahimnya panas dan ingin mengeluarkan sesuatu dari sana. Sakitnya luar biasa. Kepalanya sudah mulai berputar-putar efek obat yang diberikan Daffa.
"Makin cepat Aisha mati, semakin cepat kita akan mendapatkan harta dia," seru Vana kepada Daffa yang sedang menatap Aisha.
Daffa menoleh,"Kita buang saja dia. Agar mayatnya tidak ada yang menemukan. Aku malas berurusan dengan polisi."
Vana mendekat,"Mengapa tidak kita bakar saja mayatnya? Jadi tidak ada barang bukti. Polisi tidak akan menemukan dia."
Daffa menggeleng. Ia menyentuh tangan Vana, ditatapnya wajah kekasih hati yang sangat ia cintai,"sangat berbahaya. Kita tidak bisa membiarkan orang lain tahu. Mereka bisa jadi saksi."
Vana mendengus jengkel. Tangannya mengibas udara.
"Susah sekali melenyapkan anak haram ini!"
"Tenang," kata Daffa sambil menatap Aisha yang kini sudah berhasil berdiri sambil bersandar ke tembok. "Aku punya rencana."
Ia mendekati Aisha, menjambak Aisha yang sudah lemah. Satu hentakan, ia melempar Aisha hingga jatuh ke lantai.
Bruk!
Aisha tak mampu lagi melawan. Rasa sakit di perutnya yang semakin sakit. Darah semakin banyak keluar dan membasahi pahanya. Aisha merasa mual. Aisha menangis. Merasa dikhianati dan disakiti. Ia tak sanggup melawan ayah dari janin yang dikandungnya.
Perih di kepalanya belum usai ketika satu hentakan di rambutnya membuat Aisha menjerit kesakitan. Tamparan Daffa melengkapi penderitaannya. Aisha terhempas ke lantai. Vana menendang perut Aisha dengan brutal. Sepersekian detik, Aisha merasakan dinginnya lantai, lalu semuanya gelap.
Daffa menggendong Aisha dan menggulungnya dengan karpet. Ia menaruh Aisha di bagasi. Daffa mengendarai mobil. Vana merasa puas karena penderitanya telah berakhir dengan kematian Aisha. Mereka melewati malam yang gelap.
"Kamu yakin ini tempatnya?" tanya Vana menatap jurang di depannya. Suara air terjun yang menggelegar membuatnya ngeri, membayangkan tingginya air terjun itu. Vana bergidik melihat dalamnya jurang.
Daffa meletakkan gulungan karpet yang sedari tadi ia gendong.
"Menyebalkan. Perempuan ini sangat berat."
Vana menoleh,"Bukannya kamu sudah tahu? Dia memang berat." Vana menggoda kekasihnya.
Daffa tersenyum manis,"Biasanya aku yang di atas, Cantik. Nggak sudi aku melihat anak haram ini di atasku. Menjijikkan!"