"Syukurlah kalo kalian berdua ga kenapa-kenapa. Aku khawatir banget tau ga sama kamu. Apalagi Ayah kamu. Kasihan dia mikirin kamu terus pasti."
"Iya. Nanti aku juga pulang kok. Tapi untuk saat ini biarin aku di sini dulu untuk menenangkan pikiran aku."
"Yaudah kalo emang itu yang bisa buat kamu lebih baik. Tapi kalo ada apa-apa langsung kabarin aku ya."
"Iya. Makasih ya Dhira."
"Sama-sama. Yaudah sekarang kamu istirahat. Bye."
"Bye."
Sambungan telepon dimatikan. Setelah itu Lavanya langsung tertidur begitu saja di atas kasur Apartment nya yang sangat lembut. Sampai-sampai Lavanya lupa untuk membersihkan make up nya terlebih dahulu dan membersihkan giginya. Karena hari ini adalah hari yang sangat panjang bagi Lavanya.
*******
Di dalam mobil Aneisha.
Sepanjang perjalanan sejak Aneisha masuk ke dalam mobil, Aneisha terus melamunkan sesuatu. Seperti ada yang sedang dia pikirkan.
"Sebenarnya tadi Gavriel itu sweet sih emang. Cewek mana yang ga mau diperlakukan seperti itu. Dan gua keterlaluan ga sih nolak Gavriel seperti itu? Tapi mau gimana? Gua emang ga suka sama dia. Masa iya gua terima dia tapi hati gua aja ga buat dia," ucap Aneisha di dalam hatinya.
Kak Felix yang sedari tadi memperhatikan tingkah aneh dari Aneisha pun langsung bertanya kepadanya. Membuat Aneisha terkejut dari lamunannya.
"Dek, dek. Woy lu kenapa sih?" teriak kak Felix tepat di samping telinga Aneisha.
"Apa sih kak teriak-teriak kaya gitu. Telinga gua masih berfungsi dengan baik kali. Gua ga budek."
"Ya lagian dari tadi gua panggil ga denger. Melamun terus juga lagi. Kenapa sih lu?"
"Engga. Gua ga kenapa-kenapa."
"Jangan-jangan lu lagi berantem ya sama pacar lu?"
"Ih apa sih kak. Dia itu bukan pacar gua. Udah ah fokus nyetir aja. Gua mau istirahat."
"Yaudah deh iya...."
Felix sebagai sang kakak sebenarnya hanya khawatir dengan keadaan sang adik semata wayangnya itu. Tetap caranya saja yang kurang tepat. Sehingga menimbulkan rasa emosi dari diri Aneisha dan Felix hanya bisa diam untuk saat ini.
*****
Sedangkan Evans dan Barra saat ini sedang nongkrong di salah satu basecamp tempat mereka biasa berkumpul. Tiba-tiba saja Barra mendapatkan telepon dari seseorang.
"Iya hallo. Apa? Serius lu? Dimana? Oke, oke gua ke sana sekarang."
Evans dan semua teman yang lainnya terkejut setelah mendengar ucapan dari Barra barusan.
"Kenapa Bar? Ada apa?"
"Gavriel katanya lagi tawuran sama anak tongkrongan di sana. Gua juga ga tahu penyebabnya apa. Pasti ada sesuatu dari anak tongkrongan itu yang buat Gavriel sampai marah seperti itu."
"Gua yakin sih semua ini karena Aneisha."
"Udah kita ga usah banyak diskusi. Lebih baik sekarang kita langsung ke tempat kejadian aja. Kita bantu Gavriel."
"Iya, ayo."
"Gimana? Kalian udah berhasil temukan anak saya belum?"
Ayah Lavanya masih saja terus melanjutkan pencarian keberadaan Lavanya melalui anak buahnya. Betapa khawatirnya Ayah Lavanya kepada putri satu-satunya. Tetapi sampai saat ini semua anak buahnya belum ada yang berhasil menemukan keberadaan Lavanya.
"Maaf Boss, kami belum berhasil menemukan Non Lavanya."
"Kalian itu bagaimana sih. Sekarang kalian cari lagi sampai ketemu malam ini. Saya ga mau tau."
"Baik Boss."
Semua anak buahnya diperintahkan untuk terus mencari keberadaan Lavanya sampai ketemu. Sang Ayah tidak peduli mereka harus mencarinya kemana. Yang terpenting saat ini adalah putri kesayangannya bisa di temukan malam ini juga.
"Ayah, udah Ayah sekarang istirahat aja. Udah malam juga," ucap Esha.
"Gimana Ayah bisa tidur kalau Lavanya belum ditemukan. Emangnya kamu ga khawatir sama adik kamu?"
"Ya aku khawatir, Yah. Tapi mau gimana lagi? Anak buah Ayah aja ga berhasil temukan Lavanya kan. Apalagi aku. Yang bisa kita lakukan saat ini istirahat dulu. Besok baru kita cari lagi."
"Ahh terserah. Kamu itu emang ga peduli sama adik kamu."
Kemudian Ayah meninggalkan Esha begitu saja menuju ke ruang kerjanya yang ada di lantai dua rumahnya. Dia meninggalkan Esha begitu saja. Esha sebenarnya sedikit kesal dengan Ayahnya yang selalu memikirkan Lavanya dan menyalahkan Esha.
"Ayah itu emang keterlaluan. Lavanya aja yang dipikirin. Gua engga," ucap Esha sendirian.
Setelah itu Esha pun pergi ke kamarnya. Karena sudah tidak ada yang bisa dia lakukan juga saat ini.
******
Hari telah kembali berganti. Esha sudah bersiap-siap untuk pergi ke kantor pagi ini. Sedangkan sang Ayah belum kelihatan barang hidungnya.
Esha menuruni anak tangga rumahnya. Tiba-tiba saja salah satu asisten rumah tangganya menghampiri Esha sambil berlari-lari kecil dengan wajah yang sangat khawatir.
"Aden, aden," teriaknya.
"Ada apa sih, Bi? Pagi-pagi kaya gini udah teriak-teriak aja."
"Anu... Itu..."
"Anu, itu apa? Kalau ngomong yang jelas. Saya mau berangkat ke kantor. Nanti kesiangan."
"Itu... Tuan ga sadarkan diri di ruang kerjanya."
"Apa? Tidur kali."
"Engga, den. Badannga juga panas banget. Saya khawatir Tuan kenapa-napa. Soalnya semalaman Tuan ga tidur."
"Astaga."
Esha ikutan khawatir setelah mendengar cerita dari asisten rumah tangganya. Esha langsung berlarian menuju ke ruang kerja Ayahnya. Di sana sang Ayah sudah terbujur kaku. Dia jatuh pingsan dengan keadaan suhu tubuhnya yang sangat panas.
"Astaga, Ayah. Bi, panggil Pak supir untuk siapkan mobil. Dan panggil Pak satpam untuk bantu saya bawa Ayah saya."
"I... Iya. Baik, Tuan."
Asisten rumah tangga itu langsung berlarian memanggil supir pribadi keluarga Esha dan juga satpam yang menjaga di rumahnya. Dengan sangat cepat mereka semua langsung datang dan membantu Ayah Lavanya untuk segera di bawa ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, Ayah dari Lavanya dan Esha langsung di masukkan ke dalam ruang UGD. Dan orang yang pertama kali Esha hubungi adalah Dhira. Karena Lavanya susah sekali untuk di hubungi kali ini.
******
Dhira baru saja tiba di meja kerjanya. Tiba-tiba saja handphone miliknya berdering. Ternyata telepon dari Esha. Kakak dari sahabatnya, Lavanya sekaligus juga atasannya di tempat kerja. Dhira langsung saja mengangkat teleponnya.
"Selamat pagi, Pak."
"Dhira. Kamu sudah sampai kantor?"
"Iya sudah, Pak. Baru saja saja sampai. Ada apa ya Pak?"
"Kamu udah tau belum dimana keberadaan Lavanya sekarang?"
"Saya ga tau sih Pak. Tapi semalam dia kabarin saya kalau dia baik-baik saja. Dia tidak tinggal satu atap dengan Arzan."
"Anak itu. Saya minta tolong, kamu telepon Lavanya ya sekarang juga. Soalnya Ayahnya sekarang masuk rumah sakit."
"Apa? Kok bisa Pak?"
"Iya. Pasti karena kepikiran Lavanya terus. Makanya saya minta tolong sama kamu ya. Bisa kan?"
"I... Iya, Pak, bisa. Saya telepon sekarang juga."
"Oke. Terima kasih ya."
"Sama-sama Pak."
Sambungan telepon dimatikan begitu saja. Dhira ikut merasa lemas dan khawatir dengan keadaan Ayah dari sahabatnya itu.
"Lavanya ya ampun. Sekarang lihat karena ulah kamu yang keluar dari rumah, sekarang Ayah kamu jatuh sakit. Semoga aja Lavanya langsung angkat telepon dari aku."
Dhira langsung saja mencoba untuk menelpon Lavanya saat ini juga. Berharap jika Lavanya bisa langsung mengangkat telepon darinya. Karena keadaan saat ini sangat penting dan genting untuknya. Jangan sampai Lavanya menyesali perbuatannya sendiri.
-TBC-