"Cuma dapat sedikit, karena tadi terjebak hujan." Jawab Ayah Hendra.
Begitulah pejuang rejeki yang bekerja di jalanan, jika hujan terpaksa memberhentikan pekerjaannya. Walau begitu, namun harus tetap bersyukur.
Sedangkan Narendra, ia sedang duduk di ruang tengah bersama kedua orang tuanya. Narendra sudah tahu bahwa kedua orang tuanya pasti akan membicarakan perihal menikah.
"Rendra, usiamu sudah tidak muda lagi lho, teman-teman yang seusia kamu rata-rata itu sudah menikah. Bahkan mereka sudah punya anak. Sedangkan kamu, menikahpun belum." Tutur Ibu Vita. Benar saja dugaan Narendra, bahwa orang tuanya pasti membicarakan tentang pernikahan.
"Bu, menikah itu ibadah seumur hidup, jika kita hendak membeli suatu barang saja, pasti kita pilih-pilih, apalagi perkara jodoh." Jelas Narendra.
"Iya, ibu tau. Cobalah kamu cari seorang wanita! Mungkin di kantor kamu ada atau juga kamu bisa minta kenalkan sama teman kamu."
Narendra sudah pernah minta dikenalkan oleh seorang wanita pada teman-temannya namun tetap saja tidak ada yang cocok dengannya.
"Memang belum ada yang cocok dengan aku, Bu!"
"Memangnya kriteria wanita yang kamu inginkan seperti apa sih? Kok rasanya sulit sekali untuk kamu menemukannya?"
Jika ditanya pertanyaan seperti itu, Narendra sendiri pun tidak mengetahui jawabannya. Jika hanya cantik saja, banyak sekali wanita yang seperti itu, karena wanita memang tercipta cantik. Namun yang menjadi nilai plus bagi Narendra adalah kecantikan hatinya yang sulit sekali ia temukan pada tiap wanita.
"Entahlah!"
Narendra membuka ponselnya, ia berpura-pura menyibukkan diri agar sang ibu menghentikan pembicaraannya tentang pernikahan.
"Ibu itu maunya kamu sama Lingga. Dia pintar, cantik, sholehah. Kurang apa lagi coba?"
"Aku nggak bisa kalau sama Lingga, karena dia teman kecil aku, aku lebih asyik berteman sama dia." Narendra tetap menolak perjodohan dirinya dengan Lingga.
"Ya sudahlah, terserah kamu!"
Kedua orang tua Narendra masuk ke dalam kamar. Mereka sudah lelah membicarakan masalah perjodohan yang tetap ditolak oleh anak satu-satunya itu.
Di waktu yang sama, Zoya sedang menyetrika pakaiannya, walau matanya sudah terasa ingin dipejamkan, namun ia masih harus menyelesaikan pekerjaan rumahnya itu.
Drrttt ... Drrttt ...
Ponsel yang ia letakkan di atas meja bergetar, Zoya pun meraihnya, ada panggilan dari Dhafin, ia langsung mengangkat panggilan itu.
[Hallo Sayang]
[Iya]
[Kamu lagi apa?]
[Aku sedang menyertika pakaian. Kamu?]
[Aku sedang menelepon kamu. He ... He ... He ... Sayang, aku kangen tau sama kamu]
[Iya, aku juga kangen]
[Besok aku jemput ya pulang kerja?]
[Oh, kamu bisa jemput aku?]
[Bisa, besok aku tidak ada kegiatan apa-apa]
[Oke deh]
[Yaudah, sampai ketemu besok ya]
[Iya]
[Bye]
[Bye]
Zoya menutup teleponnya, lalu meletakkan lagi ponselnya itu di atas meja, ia senang karena besok Dhafin akan menjemputnya.
"Kenapa Kak senyum-senyum sendiri?" Tanya Erina.
"Nggak apa-apa."
"Ihh aneh!" Seru Erina.
Zoya melihat jam pada ponselnya, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, mata Zoya sudah mengantuk. Ia menyudahi pekerjaannya, lalu membereskan pakaiannya. Setelah itu ia pun masuk ke dalam kamarnya, lalu tidur.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Rendra!" Ibu Vita mengetuk pintu kamar sambil memanggil anak semata wayangnya yang masih tidur.
"Rendra, bangun!"
Akhirnya Narendra membuka matanya, lalu ia bangun dari tempat tidurnya, ia pun membukakan pintu kamarnya.
"Sudah subuh, sholat dulu sana!"
"Iya."
Narendra beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, setelah itu ia melaksanakan sholat dua rakaat, lalu bersiap-siap berangkat ke kantor.
Narendra melangkahkan kakinya menuruni anak tangga, lalu ia beranjak ke ruang makan. Di meja makan, sudah tersedia sarapan untuknya, satu mangkok bubur ayam.
"Ibu bikin bubur ayam?" Tanya Narendra.
"Iya, kamu suka kan?"
"Suka banget."
Narendra langsung memakan bubur ayam buatan ibunya itu.
"Astagfirullah, Rendra. Itu kemeja kamu bolong di bagian ketiaknya!" Tutur Ibu Vita sambil tertawa. Narendra pun langsung melihat ke arah ketiaknya itu.
"Ha ... Ha ... Ha ... " Narendra pun tertawa, ia menertawakan dirimya sendiri.
"Tuh kan kamu itu sebenarnya sudah harus punya istri biar baju sobek gitu ada yang jahitin!" Tutur sang ibu yang lagi-lagi berbicara kalau Narendra sudah harus menikah.
Narendra kembali ke kamarnya, lalu ia pun berganti pakaian. Setelah itu, ia berpamitan pada kedua orang tuanya untuk berangkat ke kantor.
Narendra menaiki mobilnya, lalu Pak Yono langsung mengendarai kendaraan beroda empat milik bosnya itu menuju ke kantor
Sedangkan Zoya, baru saja sampai di kantor, sang ayah memberhentikan kendaraan roda duanya itu tepat di depan kantor Zoya. Zoya langsung turun dari motor, lalu ia mencium punggung tangan Ayah Hendra, setelah itu ia masuk ke dalam kantornya.
ia langsung absen menggunakan sidik jarinya, lalu ia meletakkan tasnya di loker, setelah itu ia langsung mengambil alat untuk bersih-bersih.
Zoya beranjak ke ruangan Narendra, ia yakin atasannya itu pasti belum datang.
Kreekkk ~~
Zoya membuka pintu ruangan atasannya itu.
"Alhamdulillah, Pak Narendra belum datang." Gumam Zoya, jadi ia bisa lebih leluasa membersihkan ruangannya tanpa harus diperhatikan oleh atasannya itu.
Zoya melihat kursi yang biasanya digunakan Narendra untuk duduk, Zoya pun mencoba duduk di kursi yang bisa berputar itu. Zoya baru merasakan empuk dan nyamannya kursi seorang CEO di kantornya, bahkan lebih empuk dari pada sofa butut yang ada di rumahnya.
Zoya terkejut saat mendengar langkah kaki menuju ruangan atasannya itu, ia langsung berdiri dan melanjutkan mengerjakan pekerjaannya.
Kreekkk ~~
"Eh, kamu yang membersihkan ruangan Bos?"
Zoya pun menoleh ke belakang, ternyata yang datang adalah Mila, seorang seniornya.
"Eh Mbak Mila, aku kira si Bos yang datang!" Ucap Zoya.
"Kamu pasti deg-degan ya?" Tebak Mila.
"Deg-degan banget, Mbak."
"Yaudah, lanjutkan kerjanya!"
Mila pun kembali menutup pintu ruangan Narendra.
Zoya bisa melanjutkan pekerjaannya dengan tenang, karena ternyata tadi bukan Narendra yang datang.
Zoya membersihkan meja kerja atasannya itu, lalu ia melihat bingkai foto Narendra bersama kedua orang tuanya. Dari foto tersebut, Zoya sudah bisa menebak bahwa Narendra adalah anak satu-satunya.
Kembali terdengar langkah kaki dari luar ruangan. Zoya kembali takut. Ia pun dengan buru-buru menyelesaikan pekerjaannya.
Kreekkk ~~
Zoya belum menoleh ke belakang, lalu suara langkah kaki itu semakin dekat kepadanya. Zoya sudah bisa menebak dari wangi parfumnya bahwa yang datang itu adalah Narendra.
"Pagi Zoya!"
Zoya pun menoleh ke arah suara yang menyapanya itu. Benar saja, itu adalah suara Narendra.
"Pagi Pak." Balas Zoya sambil menundukkan kepala.
"Silahkan dilanjutkan pekerjaannya!" Titah Narendra.
"Baik, Pak."
Zoya pun melanjutkan pekerjaannya itu, lalu Narendra mulai sibuk juga mengerjakan pekerjaannya.
"Oh iya saya baru ingat, uang yang kemarin saya berikan sama kamu, sudah kamu sampaikan ke orang tua kamu?" Tanya Narendra.
"Sudah, Pak. Ibu saya mengucapkan terima kasih pada Bapak."