Dipenginapan, keduanya kembali ke kamar masing masing. Dua sejoli itu terjebak akan suasana yang berubah kaku dan canggung. Zeanly yang merasa bersalah dan tak enak, lalu Chayeong yang berpikir ia sama sekali tak pantas untuk memiliki Zeanly dihidupnya.
Chayeong sudah berada dikamarnya, begitu pulak Zeanly. Lelaki itu termenung diatas ranjangnya, memikirkan ucapan Zeanly yang terlihat begitu mendambakan sosok putra mahkota sebagai pendampingnya.
"Apa Zeanly sangat menginginkan menjadi Ratu? Hahh ... Jika iya maka posisi ku untuk mendapatkannya akan sia sia, aku sama sekali bukan pewaris tahta kerajaan apalagi kekaisaran," ucapnya menggerutu.
"Bagaimana jika dia meninggalkanku dan lebih memilih hidup bersama orang yang lain? Ak-aku tak bisa membayangkan itu," ia begitu prustasi, hanya karena ucapan sepintas wanita yang baru ia kenali beberapa hari.
Meskipun hanya sebentar pertemuan mereka, tapi dalam hati Chayeong sudah berpegang teguh untuk mencintai Zeanly sejak pertama kali menemukannya tak berbusana saat didanau biru.
Sedangkan keberadaan Zeanly sendiri dikamarnya juga risau, perasaannya benar benar tak enak pada lelaki itu. Jujur ia keceplosan dan hanya meluapkan kekesalannya saja. Pangeran, putra mahkota, raja atau bukanpun Zeanly tak melihat pangkat untuk bisa bersanding dengannya.
Melihat sikap Chayeong yang dingin dan formal kepadanya membuat Zeanly merasa sangat berbeda, tak biasanya ia merasa gelisah.
"Apa perkataanku sangat menyinggung Buaya darat itu? Cih! Kenapa aku merasa bersalah padanya? Ahk sialan!" Umpat Zeanly berjalan mondar mandir.
Sambil menggigiti kuku Zeanly berpikir, ia menemui Chayeong dan meminta maaf ataukan membiarkan egois gengsinya tetap bertahan.
Jujur keduanya sangat sulit Zeanly ambil keputusan, satu sisi ia merasa bersalah tapi sisi lain ia merasa ini bukan dirinya. Dirinya dulu adalah orang yang tak kenal belas kasih dan tak berperasaan.
"Kenapa aku jadi gak enak gini sih!" Kesal Zeanly mengacak rambutnya sendiri.
"Enggak bisa!" Zeanly berhenti mondar mandir. "Gue harus jadi diri gue sendiri, gue Zeanly dan gak akan berubah!" Tekannya pada diri sendiri. Maaf, tapi ia akan egois untuk keselian kalinya lagi.
Malam yang sunyi ini tak seperti perasaan kedua sejoli tersebut, risau dan gelisah sampai tidak ada yang bisa tidur diantara keduanya.
Hingga pagi pun tiba, matahari sudah cukup menyengat. Zeanly baru terbangun dari tidurnya. Ia bergegas bangkit menolak rasa kantuk, ia baru sadar ini bukan pagi tapi siang.
Ia bergegas mencari Chayeong keluar kamar tak perduli wajah bangun tidurnya, entah kenapa kesadarannya belum semua terkumpul dan dia malah ingin mencari Chayeong.
"Duh si Chayeong kemana yak?" Gumamnya yang tak tahu kamar tempat Chayeong menginap.
Dilorong penginapan itu beberapa orang mondar mandir yang tak lain adalah pengunjung yang lain. Tetiba saja Chayeong muncul dan mengagetkan Zeanly.
"Haishh! Bisa gak sih sekali aja gak usah ngagetin?" Kesal Zeanly.
Chayeong terkekeh. Ia sangat suka saat melihat wajah bantal wanita itu, sangat menggoda.
"Ngapain lo ketawa gitu?" Chayeong menggeleng.
"Naksir ya lo sama gue?" Tebak Zeanly mengacungkan jari.
"Matamu! Emang iya sih, tapi wajahmu yang membuatku tertawa hahha ..." Tawa kecil Chayeong.
"Kenapa si? Gila ya lo?" Gumam Zeanly lalu setelahnya pun ia baru sadar.
"WEHH MUKA GUE!"
Zeanly berlari kekamarnya lagi, sambil menutupi sebagian wajah bantalnya. Zeanly malu, karena gegabah keluar kamar dengan wajah yang sayup bangun tidur dan masih bau jigong.
Heol, sangat memalukan. Sedangkan Chayeong sendiri ia tertawa terbahak bahak, melihat Zeanly yang baru terkumpul nyawa.
**
Siangnya, Zeanly sudah keluar dari penginapan tersebut bersama Chayeong. Mereka berdua berjalan kaki ditengah tengah hutan yang rimbun. Chayeong dengan beban dipunggungnya tak menghiraukan matahari yang menyengat, ia melihat Zeanly yang berada didepannya sambil memakan buah apel hijau.
"Kenapa lo ajak gue jalan lewat hutan si? Gatel gatel tangan gue ini," gerutu wanita cantik itu menepak nepak tangannya yang digembrong nyamuk.
Chayeong mengelap keringat dipelipisnya, tas besar dipunggungnya juga malah menambah beban.
"Lewat sini jalan satu satunya agar cepat sampai, kalau jalan lewat perkampungan atau kota agar sangat lama karena memutar," jawab lelaki itu.
Zeanly berbalik dan menghembuskan nafas kasar. "Terus berapa lama lagi kita harus harus jalan Chayeong.. Lo pikir kaki gue dibuat dari baja hah? Pegel tahu, capek pulak," omel Zeanly didepan Chayeong.
"Tidak lama Nonna, sepertinya saat matahari terbenam kita sudah sampai ditempat penjemputan," jawab Chayeong.
Zeanly memutar bola mata malas, "Mau ke istana aja ribet banget, kenapa gak jalan gerbang ibu kota aja si?"
"Kalau jalan sama sama saja mengantarkan nyawa, bahkan Nonna tahu sendiri sikap prajurit disana," ucap Chayeong mengingatkan wanita itu atas tragedi beberapa hari lalu.
Wanita cantik itu manyun, ia juga tak pikun untuk melupakan perilaku tak senonoh para penjaga gerbang botak itu.
Melihat Zeanly manyun seperti itu membuat kekehan dari Chayeong terdengar geli, wanita muda itu sangat imut dengan ekspresinya sekarang.
"Ngapain lo ketawa?" Tanya Zeanly dengan wajah sangar.
Tidak, dipandangannya kegalakan Zeanly tak lebih seperti anak kucing yang kesal dan mengamuk. Imut sekali, lelaki itu sangat gemas ingin menguyel pipi embul didepannya.
"Stess … " Zeanly bergidik dan melanjutkan perjalanannya.
Sedangkan Chayeong masih tertawa geli melihat tingkah wanitanya itu, tanpa sadar beberapa helai rambutnya berubah menjadi putih, warna yang sangat kontrak dengan warna salju.
Chayeong merasakan hal itu, ia mengangkat telapak tangan kirinya panik. Asap biru keluar dari tangan itu tipis, ia juga meraba rambut sebahunya yang ia lihat sebagian berubah menjadi warna putih salju.
"Tidak, ku mohon jangan sekarang," ucapnya pelan, seakan meramal apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Ini nyamuk gak pernah mau pergi apa gimana si? Kulit gue rasanya gatel gatel, gara gara lo si Chayeong arrhh!"
Zeanly yang mengomel ngomel didepan sama berhenti, saat tak mendengar langkah kaki dibelakangnya. Ia menoleh kebelakang dan terkejut tak menemukan siapapun disekitarnya.
"Lho? Si monyet korea kemana?" Gumam Zeanly celingak celinguk memanggil nama Chayeong.
"CHAYEONG!"
"CHAYEONG LO DIMANA WOI!"
Teriakan Zeanly tak berbuah hasil, sudah ia cari kemana mana tapi tak ada tanda tanda kepergian laki laki itu.
"Apa jangan jangan dia kabur? Gara gara muak sama omongan gue?" Pikir Zeanly menduga duga.
Ia mulai panik sekarang, "Kalau dia kabur berarti gue sendirian dong sekarang? Kalau sendiri terus gue ngapain sekarang?" Pikirnya lagi.
Wanita cantik itu seperti seorang gembel, sendirian ditengah hutan yang sepi dan gelap.
"Aduh … Itu orang niat buang gue apa gimana si? Ya kali gue dibuang ditengah hutan kayak gini? Gimana gue bisa pulang?" Tak lama Zeanly menepuk jidatnya bodoh.
"Gue kan bukan orang sini, mana bisa pulang gue," ucapnya pelan merutuki kebodohannya.
Kalau sudah begini barulah Zeanly menyesal, ia terduduk lemas direrumputan hutan yang penuh duri. Entah bagaimana nasibnya sekarang, Zeanly sudah tak tahu lagi. Hikss ...