Mau tak mau Dito dan Indy harus berhadapan dengan Ira. Keduanya terlanjur tertangkap basah berada dalam satu mobil yang sama. Wajah Indy terus menunduk. Ia takut jika Ira akan menyiksanya habis-habisan. Semoga saja ada jalan bagi mereka untuk selamat, batin Indy.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Dito setelah menghampiri istrinya.
Ira bangkit dari duduknya dan membidik netra Dito. Deretan giginya menggeletuk.
"Seharusnya aku yang nanya, Mas. Kamu dari mana aja dan kenapa bisa hadir dengan perempuan ini?" Ditunjuknya wajah Indy.
Dito berdecak kesal. Kelakuannya nyaris ketahuan sejak kemarin. Padahal selama ini dia mampu menutupi kebohongan tersebut. Benar kata pepatah bahwa bangkai yang disembunyikan lama-lama akan ketahuan juga.
"Mas kesal sama kamu, Ira!" balas Dito mencari pembelaan.
"Karena kejadian kemarin?"
"Iya. Kamu ga ngerti maksud Mas, kan?"
"Aku paham kamu sebel, Mas, tapi apa sampai segitunya? Kamu gak pulang ke rumah dan sekarang kamu malah bawa perempuan. Kalian dari mana aja, hah!" Ira mulai tersulut emosi. Baginya, Dito terlalu bertele-tele.
"Makanya kamu dengerin dulu penjelasan Mas. Mas tidur di rumah teman namanya Edo. Kemarin dia juga ada di pesta. Mas memang berencana untuk langsung ke café dan di perjalanan Mas berjumpa dengan karyawan kita. Apa salahnya kalau Mas ngasih tebengan? Toh, selama ini dia juga udah bekerja sama kita, kan?" Dito mulai mengelabui Ira. Membuat kedua sudut bibir Indy tertarik dan membentuk huruf U samar.
"Kenapa kamu gak hubungi aku dulu?"
"Untuk apa, Ira? Mas kan masih kesal sama kamu,"
Ira menilik Indy dari kaki hingga ujung rambut. Namun, ia kembali mempusatkan perhatian pada leher gadis tersebut. Ada sesuatu yang membuat ia penasaran.
"Loh, leher kamu kok merah-merah begitu?" tanya Ira menyudutkan.
Kemudian Ira memeriksa leher Dito, tapi tidak ia temukan tanda apa-apa di sana.
Indy mendongak lalu mengusap lehernya malu-malu.
"Astaga, Ira. Kok kamu nanyanya gitu, sih? Biarkan itu jadi privasi dia," bela Dito. Ia paham bahwa Indy sedang tidak enak dengan Ira.
"Ya, bisa jadi kamu bohong kan, Mas? Barang kali aja tanda merah itu hasil ciptaan kamu,"
"Ira, jaga mulut kamu, ya!" Dito meremas bibir istrinya sendiri. Ingin sekali ia mencekik leher wanita itu saat ini juga.
"Saya cuma diberi tebengan sama Pak Dito, Bu. Saya gak tahu apa-apa." Kini, Indy mulai angkat bicara.
Dito sedikit lega, karena di lehernya tak terdapat warna kemerahan seperti milik Indy. Sengaja ia menghindari hal itu agar perbuatannya tidak terbaca. Padahal keduanya telah melakukan hubungan terlarang tadi malam.
"Tuh, kamu denger sendiri, kan? Lagian kamu aneh banget sih. Mana mungkin Mas ninggalin kamu dan milih anak ABG kayak dia." Terpaksa Dito merendahkan kekasihnya demi melindungi diri.
Kedua mata Indy melotot. Ada kekesalan tersendiri ketika Dito memojokkan dirinya. Namun, apalah daya. Indy tak mampu melakukan apa-apa. Dia pun ingin selamat dari jeratan ini.
Beruntungnya Ira tidak mengetahui kalau perempuan yang Dito bawa bernama Indy. Kalau ia tahu, pasti Ira sudah mengamuk hebat. Pasalnya, baru kemarin Dito mengigau dan menyebut nama Indy.
Ira memang sangat jarang ke café. Ia lebih memilih untuk berdiam diri di rumah atau berkumpul dengan teman-temannya di luaran sana. Hal itu membuat Dito legowo, karena istrinya tak pernah mengetahui seluk beluk café dan apa yang ia lakukan selama ini.
"Kamu ngapain pagi-pagi buta udah sampai sini?" tanya Dito balik.
"Sengaja aku nungguin kamu di sini. Eh, ternyata bener. Kamu datang sama dia." Lagi-lagi Inah menunjuk wajah Indy.
"Sudahlah, Ira. Kamu pulang aja sana. Sebentar lagi café juga buka kok,"
"Kamu minta aku supaya ninggalin kalian berdua di sini?"
"Ya, ampun. Kamu negatif banget sih pikirannya. Indy ini cuma karyawan biasa, Ira. Mas gak mungkin berbuat macem-macem. Kalau emang Mas niat buat selingkuh, seharusnya Mas nyari perempuan yang di atas kalian berdua dong." Dito begitu kesal dengan istrinya. Baginya Ira sangat kelewatan.
Tring Tring Tring…
Di tengah perdebatan, tiba-tiba saja ponsel Ira berdenting. Gegas ia membaca pesan yang ternyata bersumber dari pesan group.
"Teman-teman aku ajak kumpul, Mas," ujar Ira.
"Ya, sudah. Kamu siapan gih sana dan jangan berpikir negatif lagi,"
Sebuah kesempatan bagi Dito untuk terlepas dari belenggu istrinya.
"Bener kamu gak ngapa-ngapain kan, Mas?"
"Iya, Sayang. Sumpah!" Dito kembali berdusta.
Mendengarnya hati Ira sedikit lega meskipun sesekali masih terbesit kekhawatiran. Ira pun segera pulang guna bertemu rekan-rekannya.
"Kita ke ruangan dulu, Mas. Ada yang mau aku bicarain," titah Indy seberes kepergian Inah.
Keduanya pun beranjak ke ruangan. Indy langsung menduduki paha selingkuhannya sambil mencebikkan bibir. Ia memasang wajah sekusut mungkin.
"Aku kesal banget sama istri Mas Dito. Seenaknya aja dia ngomong begitu," keluh Indy. Sejak tadi ia menahan kesal, tapi tak berani mengutarakan.
"Ira memang begitu, Sayang. Jangan diambil hati, ya." Dito mengusap dagu Indy penuh hangat.
"Aku terlanjur sakit, Mas. Aku mau balas dendam sama istri Mas,"
"Hah?" Sepasang alis Dito berkerut.
"Aku mau dia tersiksa karena ngeliat kemesraan kita," ucap Indy.
"Sayang, mana bisa begitu. Kalau Mas ketahuan selingkuh, bisa jelek dong citra Mas," balas Dito tak terima.
"Kita bisa melakukannya pelan-pelan, Mas,"
"Gimana caranya?"
"Izinkan aku tinggal di rumah Mas. Di sana, kita bakal menyiksa mentalnya secara perlahan,"
"Tinggal di rumah, Mas? Waduh! Gak bisa, Sayang. Itu malah lebih berbahaya,"
"Aku bisa menyamar sebagai pembantu kalian, Mas. Mudah kok,"
"Gak bisa, Indy. Kamu ngerti, ya." Dito geleng kepala dibuat permintaan selingkuhannya itu.
Tak sependapat dengan Dito, akhirnya Indy lompat ke lantai dan menghadapkan tubuhnya pada lelaki itu.
"Kalau Mas tidak menuruti permintaanku, aku bakal aduin ke Ira tentang perbuatan kita selama ini,"
Degh!
Ini kali pertama Dito diancam oleh Indy.
"Eh, jangan dong!"
"Makanya nurut aja. Kita ngelakuinnya pelan-pelan, Mas."
"Terserah kamu sajalah, Indy," ucap Dito gusar.
"Baik, Mas. Malam nanti aku bakal ikut Mas ke rumah,"
Indy tersenyum puas, karena rencananya berhasil. Tidak. Indy tak hanya sekadar membalas dendam pada Ira. Melainkan ada misi khusus yang harus ia selesaikan. Balas dendam hanyalah alibi semata.
"Lihat aja nanti," batin Indy, kemudian berlalu pergi.
***
"Ingat, ya! Nama kamu selama di rumah Mas adalah Tini. Jangan sampai dia tahu kalau nama kamu itu Indy." Dito memperingatkan. Ia juga sudah menceritakan pada Indy tentang igauannya kemarin.
Indy mengangguk. Diseretnya koper yang telah mereka ambil dari kontrakan Indy barusan.
"Ayo, masuk!" titah Dito.
Tok tok tok…
"Sayang, Mas pulang!" terika pria bertubuh gelap tersebut.
Mendengar suara suaminya, Ira buru-buru beranjak dari dalam. Saat ini membuka pintu, ia dikagetkan oleh kemunculan gadis yang tadi pagi bersama suaminya.
"Kamu! Ngapain kamu ke sini?" Ira terpancing emosi. Terlebih ketika ia melihat Indy membawa koper.
"Ira, duduk dulu, yuk!" Dito meraih perlegangan istrinya.
Indy dibimbing masuk oleh Dito dan sekarang mereka sedang berada di ruang tamu.
"Namanya Tini dan dia baru dapat kabar kalau rumahnya kebarakan, Sayang. Mas kasihan. Jadi, boleh ya dia tinggal bersama kita. Untuk sementara waktu Tini bakal jadi asisten di sini supaya kamu gak usah repot-repot kerja lagi,"
Perkataan Dito spontan membuat telinga Ira memanas. Belum hilang kesalnya tadi pagi, kini malah ditambah lagi.
"Kenapa harus kita yang repot, Mas?"
"Sayang, tidak boleh begitulah. Karyawan kita ini anak sebatang kara. Masak kamu tega,"
"Sebenarnya ada apa diantara mereka. Lama-lama aku jadi curiga. Kalau dia tinggal di sini, sebenarnya itu memudahkan aku buat cari informasi, sih," geming Ira dalam hati.
"Jadi gimana, Sayang? Kamu setuju, kan?" Dito kembali bertanya saat Ira sedang menimbang-nimbang sesuatu.
***
Bersambung