"Kenapa malah bengong monyet!" maki Gibran.
Ya memang aku pantas dimaki-maki tapi nanti saja ya jangan sekarang. Ah sepertinya aku harus segera mengumpulkan data-data ini lantas pergi mencari gadis tadi.
Drrt ... drt ...
Getaran ponsel ini, aku yakin ini pasti telepon dari mama. Sambil menghalau banyak orang yang berlalu lalang aku menggeser tombol hijau itu.
"Assalamualaikum, Mama," sapaku mengawali obrolan.
["Waalaikumsalam, Sayang. Mama nggak perlu basa-basi lagi kan ya? Oke nanti sebelum pulang usahakan kamu pulang bareng Gibran sama Jeno,"] tutur sang Mama begitu singkat.
Aku menjauhkan ponsel lantas menatap ponselku dengan kesal. Mama, memang tak ada keinginan lain apa selain ini?
Toh kan mama sudah punya anak dengan ketampanan yang luar biasa ini jadi untuk apa Mama memintaku untuk mengajak mereka hm?
Yang ada nanti mereka malah menghabiskan jatah makanku saja. Oh ayolah mamaku yang baik hati, ramah, juga tidak sombong tolong dong mama ganti saja permintaannya.
Kalau untuk yang satu ini aku tak bisa berjanji apa aku bisa menurutinya atau tidak. Dan kalaupun aku bisa menuruti kemauan Mama ini sudah pasti mereka akan meninju rahangku terlebih dahulu.
Karena terakhir mereka memaksa pulang dan aku menyeretnya lantas ujung-ujungnya aku yang di hajar habis-habisan. Dan sialnya respon Mama kala itu adalah, "nggak papa kali nak namanya juga permainan cowok."
Sungguh aku masih bisa mengingat ucapan itu sampai sekarang berikut dengan ekspresi Mama. Hah, aku bahkan sampai menghapalkannya.
"Ma yang lain aja deh, Mama mau martabak nggak?"
["Mama maunya Gibran sama Jeno aja ya. Eh kalau kamu mau beli martabak nggak papa juga sih toh kan nanti dimakan bareng. Udah ya sayang, assalamualaikum!"] potong Mama yang sepertinya sudah merencanakan ini semua sejak awal.
Sialnya telepon terputus sebelum ia sempat mengoceh tak jelas.
"230 dan 231?" tanya proktor sewaktu aku menyerahkan berkas milikku.
Sesaat aku tak tau harus melakukan apa ketika takdir tengah mempermainkanku lagi.
"Ya, saya 230 kak," jawabku singkat.
Maaf buat kakak proktor, sejujurnya aku tak mau menjawab singkat hanya saja ada satu titik yang membuatku tak dapat berpaling dan jadilah pertanyaan kakak ku jawab dengan singkat saja.
"Lee Jie-soe? Pfft."
"Ya?" sahutku menahan kesal.
Gila saja, kenapa setiap ingin daftar ke jenjang pendidikan namaku selalu ditertawakan? Sebetulnya nggak masalah juga sih. Memang dasarnya Mama yang memberikan nama yang agak-agak, tapi berhubung papa tipe senggol bacok aku pun juga.
"Bisa tolong menyingkir? Teman kamu yang lain mengantri," ucap proktor dengan wajah yang tak bersahabat.
Argh sialan!
Gara-gara meladeni proktor ini aku jadi kehilangan dia. Tanpa menunggu lebih lama lagi aku langsung berjalan mundur. Kepalaku celingukan mencari gadis tadi namun sialnya di antara ribuan orang ini aku tak akan mungkin bisa menemukannya dengan mudah.
Sejauh ini yang kuketahui hanya fakta kalau dia gadis dengan nomor urut 231. Tepat di urutan belakangku, entah kenapa aku mengembangkan senyumku.
Takdir yang sang pencipta berikan memang begitu lucu. Dan lagian aku harus percaya satu fakta bahwa bukan?
Fakta jika dia memang jodohku maka kelak, apapun caranya, dimana pun tempatnya dan bagaimana kondisinya, aku dan dia pasti lagi-lagi dipertemukan. Senyumku makin lebar saja, aku yakin kelak kami akan dipertemukan.
Haha lagian kami berada dalam satu sekolahan bukan?
"Yosh! Aku akan berusaha agar kami bisa bersama, ekhem maksudku bertemu lagi nantinya."
***
"Nggak mau gue. Nyokap bisa-bisa ceramah tujuh hari tujuh malam kalau gue mampir ke rumah lo," jawab Jeno.
Hm memang tak tau sopan santun dia ini. Sudah tau kalau aku ini kakaknya namun masih saja dia tak bisa berbicara sopan sedikit padaku. Hadeh kalau bukan karena tampang Om Galen yang menyeramkan itu pasti anaknya sekarang sudah kuhajar habis-habisan.
"Udahlah nanti gue yang ngomong sama mommy buat ijinin kita pulang tanpa nginep kayak biasanya."
Kepalaku berputar sembilan puluh derajat menatap ke arah Gibran dengan tatapan kesal. Ah entah kenapa aku sangat benci ketika ada orang lain yang memanggil Mama dengan sebutan mommy begitu.
Ya meski aku tau Mama sendiri yang meminta Gibran untuk memanggilnya demikian namun rasa iri ini kan tak menentu jadi aku hanya bisa menggembungkan pipiku. Ah, atau jangan-jangan selama ini mama memanggilku gembul lantaran aku sering menggembungkan pipi ya?
"Daddy mau nganterin pulang, 'kan?"
Subhanallah tabah sekali ya hatiku ini. Tadi Gibran dan sekarang giliran Jeno yang memanggil Papa dengan sebutan alay itu. Huft, masa bodohlah sepertinya mereka sudah setuju jadi aku hanya perlu menyeret keduanya untuk segera masuk ke dalam mobil. Kasian mang Tejo kalau harus menunggu dua bocah ini mengoceh lagi.
Aku tak yakin apa Papa nanti mau mengantarkan mereka pulang, memang mereka itu banyak maunya. Kan sudah ada mang Tejo yang siap mengantarkan kemana-mana namun mereka selalu saja meminta Papa sebagai sopir antar jemput.
Walau aku pun juga ingin demikian. Sejak usiaku masuk sepuluh tahun Papa lebih sering berada di kantor atau di luar kota, ada sih waktu bermain namun sudah tak lagi menjemput sekolah.
Bahkan pengambilan raport pun aku hanya dengan Mama. Padahal sekali saja aku ingin pergi bersama Papa.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, astaga usia sudah enam belas tahun rupanya belum cukup untuk membuatku menjadi dewasa ya haha. Buktinya aku masih sering kali menginginkan perhatian kecil Papa, kalau untuk Mama semua perhatian itu hanya tertuju untukku seorang.
Kami bertiga tiba di halaman rumah ini. Rumah baru, untuk rumah lama kan hanya rumah dinas Papa.
Setauku Mama dan Papa juga memiliki sebuah rumah di Semarang. Karena mereka tak pernah mengajakku kesana jadi aku tak pernah tau, ya kuketahui hanya rumah nenek dan kakek yang ada di Nganjuk, Jawa Timur.
Tentu Mama hanya bisa memelukku sekilas saja lantas sekarang ia sibuk pada dua anaknya itu. Sesekali aku dibuat tertawa dengan tingkah konyol mereka.
"Anaknya Bu Dian—"
Ah tutup telinga saja, jika Mama sudah memulai dengan kata-kata itu maka sudah pasti bahwa ceritanya akan sangat-sangat panjang. Dan sambil mendengar cerita Mama menang biasanya aku menikmati secangkir teh dengan Papa.
Haha kedengarannya memang simpel namun bagiku itu sangat berharga. Detik-detik kekonyolan bersama Papa adalah bagian dari ingatan menyenangkan yang ku miliki.
Em mendengar cerita Mama tentang anak Bu Dian membuatku mengingat tentang wajah gadis tadi. Wajah gadis cantik yang sekarang sudah memenuhi isi otakku ini.
Oh astaga bahkan memejamkan mata saja aku bisa melihat dengan jelas pahatan wajahnya. Mata bulat dengan bibir tanpa polesan pelembab, pipinya yang memerah entah karena make up atau karena cuaca yang panas.
'Dia benar-benar gadis yang lucu, tak seperti beberapa teman cewek waktu SMP dulu,' kekehku dalam hati.
Aku tersenyum manis dan tanpa sadar perlahan-lahan aku mulai terobsesi, ingin mengetahui segala hak tentangnya.
Siapa namanya?
Ada di jurusan apa dia?
Apa makanan kesukaannya?
Juga, apa dia sudah memiliki tambatan hati?
Ah sungguh banyak pertanyaan yang ingin ku ajukan. Semoga kami benar-benar dipertemukan kembali nanti.
-Bersambung ....