Menggadaikan kemerdekaan demi ketenaran dan kekayaan itu bukan kehidupan yang mudah. Namun, aku dan Binar bisa melaluinya hingga hari ini. Kami terlatih untuk menggunakan 2-3 topeng sekaligus untuk menyelamatkan kredibilitas atau nama baik kami dan semua pencitraan perusahaan penghasil uang di belakang kami.
Setelah lebih dari 5 tahun dan berhasil tetap di "atas", kami berdua rasanya berhak menepuk dada menyebut diri ahli dalam memakai topeng publik figur yang amat berat dan menyakitkan lahir batin ini. Dengan hanya setengah meter jarak mataku dengan mata Binar, aku bisa melihat bahwa "skill"-nya sangat luar biasa. Dia terlihat sangat memuja Lisa yang berada di depannya.
Aku hampir tidak bisa memutuskan mana yang lebih mengagumkan bagiku; acting Binar mencintai Lisa atau suasana setting iklan resort indah ini yang tampak begitu serius. Bayangkan, mereka sampai membawa orang tua Binar ke lokasi shooting! Tidak kehilangan satu detik pun momen itu, aku memaksakan kedua kelopak mataku agar tidak berkedip.
Hasilnya air mataku mengalir jatuh. Pasti sangat menyakitkan bagi kedua kelopak mataku untuk menahan diri melihat pemandangan yang indah itu. Aku menolak kenyataan yang diperlihatkan Kandi ini. Hatiku tak mampu menerimanya.
Tangan kananku yang menahan agar kedua batu hijau di gelang dan leher Kandi tetap bersentuhan mulai lemas. Kandi merasakan hal yang sama. Biyijun ini akan segera terputus, dan mereka akan langsung bisa melihatku berada di depan Binar dengan wajah kaku menatap wajah Binar dan sungai air mata di kedua pipiku.
Kandi segera membawaku menjauh. Namun, ia sangat pengertian pada perasaanku; memastikan agar pandangan mataku tetap ke arah adegan Binar dan Lisa yang sedang makan malam berdua sambil sesekali jemari mereka bertautan, agar aku tidak kehilangan momennya sedetik pun. Termasuk ketika tangan Binar menyentuh anak rambut di kepala Lisa dengan sangat perlahan. Dia sering melakukannya padaku.
Kandi membawaku ke Bivan karena ia lebih memahami kerja otakku daripada diriku sendiri. Aku hanya ingin tertidur dan keesokan hari terbangun dengan kenyataan baru yang lebih menyenangkan. Aku dan Binar berada di sebuah pulau, di mana semua orang tak mengenali siapa kami berdua, dan kami hidup berdua saling mengasihi sampai mati.
Kandi membiarkanku menangis di pangkuannya berjam-jam, tapi aku tak juga terlelap kelelahan. Rasa sakit di dalam dadaku terlalu kuat untuk membuat tubuhku menjalankan sistem terbaiknya; beristirahat.
"Apakah lebih menenangkan hatimu kalau kau berbicara pada Binar?" tanya Kandi.
Tapi aku tak mampu menjawabnya. Sesuatu di dalam kepalaku tak bisa berhenti mempertanyakan apa yang salah denganku dan Binar. Mengapa ia bertunangan atau apa pun namanya pesta mereka di pinggir jurang tadi, dengan Lisa, tanpa membicarakannya denganku terlebih dahulu. Topeng macam apa yang sedang dipakainya? Bertunangan itu memberi kepastian hukum pada Lisa atas kepemilikan. Lisa sah sebagai pemilik Binar.
Ini sama saja dengan menandatangani kontrak untuk berduet dengan perempuan itu sampai mati. Kontrak yang jika digugurkan sepihak akan berimbas pada banyak orang, termasuk orang tua dan keluarga mereka berdua. Bagaimana Binar bisa seceroboh itu dalam membuat keputusan? Bagaimana dia sampai pada kesimpulan bodoh itu hanya karena gosip tentang kami menjadi pasangan sejenis menguasai jagat gosip selebriti. Mengapa tidak terpikir di kepala indahnya bahwa lebih baik jika kami berdua melarikan diri saja, bersembunyi dari dunia ketenaran ini.
Aku yakin sekali bumi ini masih menyembunyikan tempat-tempat yang murni tanpa noda gosip dan orang-orang bertopeng mahal yang sangat menggemari kepura-puraan. Apalagi sekarang aku punya Kandi yang bisa memudahkan kami melakukan semua itu. Mengapa harus bertunangan dengan risiko kesakitan yang sangat besar untuk mereka berdua dan menjualnya ke publik?
Namun, saat aku hanya 4 jengkal saja dari Binar tadi, aku melihat cahaya kebahagiaan di kedua matanya. Seperti jika dia sedang menatapku saat kami hanya berdua saja dan aku mengungkapkan semua isi hatiku dengan segala cara hanya agar dia tahu betapa cintanya aku padanya dan betapa berartinya dia dalam hidupku. Tatapan lembut penuh cinta itu begitu sakral di mataku. Tak akan mungkin bisa kuberikan pada siapa pun lagi selain Binar. Selama ini kupikir Binar juga begitu. Tapi tatapan yang kusaksikan tadi di wajah Binar saat berhadapan dengan Lisa adalah tatapan sakral yang sama yang pernah kuterima.
Kandi menyodorkan telepon genggamku. Aku menelepon Binar. Tersambung, tapi tak diangkat. Kucoba lagi. Tak diangkat lagi. Aku mencoba lagi; kali ini dengan air mata mengalir deras dari mataku. Kandi memelukku sangat erat, memegangi tangan kiriku yang gemetar memegangi telepon yang tersambung tapi tak diangkat itu.
Kutenggelamkan wajahku ke dada Kandi, aku sudah tak mampu lagi. Ingin kubuang saja telepon genggam di tanganku, tapi Kandi ikut memegangi tanganku yang memegang telepon genggam. Kandi memeganginya sangat erat, tak ingin aku melepaskannya. Lalu…
"Meinchi…." suara Binar lirih di ujung sana.
Tiba-tiba saja aku membeku di pelukan Kandi. Binar mengangkat teleponku dan suaranya sangat lirih, seperti orang yang sedang bersembunyi, tak ingin ada orang lain di sekitarnya yang mendengar suaranya bertelepon denganku.
Aku tak sanggup membayangkan bagaimana rupa kekasih hatiku saat ini di seberang telepon. Hening selama beberapa detik karena aku tak tahu harus mulai dari mana, Binar juga terdiam karena menunggu aku mengatakan sesuatu. Kandi berbisik lembut di telingaku; bibirnya menyentuh kulit telingaku, "Namsina…" bisik Kandi.
Aku mendekatkan bibirku yang bergetar ke ujung telepon genggam, "Namsina…"bisikku sepelan mungkin. Aku tak ingin magma rasa sakit di dalam dadaku meledak sampai ke telinga Binar. Terdengar Binar mengembuskan napas yang sangat berat di ujung sana. Aku tahu pasti beratnya, karena suara dengusan napas beratnya itu menekan rongga dadaku hingga aku merasa semua di sekitarku terselimuti cahaya hitam.
"Sekarang?" tanya Binar masih dengan suara amat lirih dan berat.
Namsina adalah sebuah resort di atas bukit, tak jauh dari kota. Salah satu paviliunnya yang berbatasan dengan tebing, dimiliki Binar. Setelah Kandi berada dalam hidupku, aku dan Binar beberapa kali menggunakan Namsina untuk rendezvous, karena tidak akan ada yang mencurigai kami berada di sana berdua. Binar masuk dengan mudah, aku dan Kandi juga dengan mudah masuk ke bagian belakang resort.
Namsina seperti benteng terbaik untuk kami memadu kasih tanpa harus meributkan siapa tim keamanan yang bisa kami percayai atau apakah semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh Kharisma sehingga kami bisa seratus persen merasa aman berduaan di dalamnya. Kadang-kadang aku dan Binar berada di Namsina tanpa Kharisma mengetahuinya.
Malam itu kami, aku dan Kandi; tiba di Namsina 30 menit lebih cepat dari Binar. Aku ingin memastikan kekuatan mentalku menghadapi Binar. "Kandi, jangan pergi, okay?" pintaku dengan sepenuh hati. Aku tak tahu apakah pembicaraan kami akan menyelamatkan kami atau menghancurkan, dan apa pun nanti hasilnya, aku ingin segera melarikan diri dari rasa sakitnya. Aku membutuhkan Kandi ada di sana, menyaksikan semuanya. Kandi tentu saja mematuhiku, mengangguk dan patuh. Tepat seperti yang kubutuhkan.
Binar tiba kemudian dengan pakaian yang sama yang dipakainya bersama Lisa di pesta taman tadi. Rangkaian bunga kecil di bagian dada kiri jas dicerabutnya di depan mataku, dan dia langsung menghambur padaku, memelukku sangat erat dan menangis.
Aku menjeritkan pertanyaan kepadanya, tetapi suaraku tak lolos dari tenggorokan. Hanya berbentuk seperti gumpalan panas yang tak enak di pipa udaraku yang kupaksa masuk ke dalam dada lagi meski terasa sangat menyakitkan.
"Maafkan aku, Meinchi…kau pasti sudah mengetahuinya..." katanya di tengah tangis.
Mengetahui apa? Lalu kami berdua sama-sama mempererat pelukan kami, seakan berusaha menyatukan dua raga kami agar tak terpisah lagi. Aku sudah terbiasa memeluknya berjam-jam. Namun, yang terjadi saat itu adalah rasa sakit yang semakin membakar di dalam dadaku. Pelukan itu menghanguskanku dari dalam.
"Aku tak bisa membiarkan ibuku tersiksa perasaan saat semua orang mempertanyakan foto-foto dan video itu…. Aku bukan saja memikirkan karierku, tapi ibuku, keluargaku…eh, ibuku… ibuku... kau paham, kan?"
Aku ingin menjawab, tetapi tak bisa. Aku biarkan Binar, dengan tubuh memelukku erat, dada kami menyatu dan getaran tangisnya terasa di bahu kananku—mengatakan semua alasannya. Dia mengatakan semua pengorbanan batin yang menurutnya akan dirasakan oleh semua orang, tidak hanya mereka berdua, jika mereka hanya memikirkan kebahagiaan untuk bisa bersama berdua, melawan seluruh dunia. Seluruh dunia katanya.
Ibunya tidak tenang batinnya sebelum melihat anak laki-laki kebanggaannya benar-benar "jantan" menikahi seorang perempuan cantik yang bisa dibanggakannya ke seluruh keluarga dan kerabat mereka. Sebagai bagian dari citra sempurna keluarga bermartabat tinggi di lingkungan sosial mereka. Binar juga menjabarkan risiko ekonomi yang akan ditanggung dirinya dan kantornya Kharisma ketika tiba-tiba tidak ada lagi yang mau menggunakannya sebagai model iklan atau membayar nyanyiannya.
Menurutnya, aku dan dia masih bisa bertemu diam-diam seperti biasa, hanya saja dia harus meneken kontrak seumur hidup menjadi suami seseorang dan bersikap layaknya lelaki idaman seluruh bangsa; mencintai perempuan cantik, memiliki anak-anak yang lucu, dan rumah yang indah. Demi ibunya.
Lalu karier yang terbentang lebih gemilang menunggu di depan sebagai bayaran atas kontrak seumur hidup bersama perempuan cantik yang disetujui semua penggemar dan orang tua. Binar mengatakan bahwa cinta sucinya tetap hanya akan menjadi milikku saja, asalkan tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang mengetahuinya.
Detik dia mengatakan kalimat terakhirnya itu, aku menatap Kandi yang sedang duduk di kursi baca di sudut ruangan, kakinya disilangkan. Ia tampak serius. Tubuh indahnya tegak dengan tujuh lembar selendang berkibaran di punggung, menatapku penuh perhatian, menunggu perintahku. Aku menunggu kalimat berikutnya dari bibir Binar, tapi tak ada.
Kupikir dia akan mengatakan sesuatu tentangku, apa yang akan dilakukannya dengan perasaanku, dan bagaimana kisah kasih kami layak untuk diperjuangkan. Tidak ada satu kalimat pun yang membela cinta kami, atau apa pun yang mewakili empatinya pada perasaanku. Semuanya tentang dia, keluarganya, dan kariernya.