Chereads / Hati Yang Melangit / Chapter 33 - Ray 1

Chapter 33 - Ray 1

Armein kembali sibuk di Dangiye dan menemani Binar pada waktu luangnya. Tentu saja Ibu harus menemaninya selalu, dan itu membuat Ibu jadi jarang lagi bersamaku dan Langit. Tapi menurut Dayu, kondisi ini jauh lebih baik dari ibu tidak pernah kembali lagi bersama kami karena keinginan manusia istimewanya.

Aku dan Langit sudah belajar menerima kenyataan bahwa Ibu tidak sepenuhnya milik kami; ia milik alam semesta. Sejak Dayu sering bertemu dengan sahabat Ibu, Karambi; ia juga lebih banyak tersenyum dan memahami Ibu. Sebelumnya Dayu juga sering memberengut jika Ibu harus tiba-tiba pergi begitu saja tanpa tahu kapan kembali lagi. Karena itu, kami bertiga; aku, Langit, dan Dayu berusaha sekuat tenaga membuat manusia istimewa ibu betah berada di Angkak bersama kami, agar Ibu sering bersama kami.

Dan tampaknya usaha kami berhasil. Armein sering sekali berada di Angkak, sampai kemudian ada kejadian di Dangiye, dan dia sekarang harus lebih banyak mengurusi Binar, kekasihnya itu. Menurut Karambi, sesungguhnya Armein sangat betah dan ingin tinggal di Angkak selamanya, seandainya saja tidak ada Binar. Tapi Ibu tidak menyukai 'seandainya'... kata Ibu kata itu membuat kita bersedih; dan kesedihan itu merusak dan menghancurkan.

Sebisa mungkin, aku dan Langit harus menghindari kesedihan dan mengejar apa saja yang menggembirakan kami. Kata ibu lagi, kegembiraan itu menular dan menjadi alasan munculnya kebahagiaan-kebahagiaan lain. Itu sangat masuk akal.

Aku sangat menyukai Armein. Menurutku, dia manusia yang menyenangkan dan mengagumkan. Seperti aku, Armein senang menonton langit senja atau fajar, membiarkan diri kami terpapar keindahannya, menyerap semua energinya, dan menjadikan semua keindahan itu alasan untuk kami melanjutkan hidup.

Meski awalnya aku agak kesal karena dia mengungkung hidup ibu, tapi setelah bergaul lama dengannya, sepertinya menyenangkan untuk sering bersama Armein. Dan melihat bagaimana dia memperlakukan Ibu, aku merasa tak keberatan lelaki itu menjadi manusia istimewa ibu yang harus dilayaninya sepanjang hayat.

Sebetulnya, tidak ada yang kurang dari Armein. Tapi Armein memberi aku dan Langit sensasi tersendiri saat bermain atau menghabiskan waktu dengannya di Angkak. Suatu kali, dia pernah bertanya kepadaku, apakah aku mau berjalan-jalan ke kebun binatang di Dangiye; tempat tinggalnya. Dia ingin membawaku, Langit, dan Dayu ke rumahnya. Menurutnya, dia bisa mengupayakan perjalanan menyenangkan bagi kami bertiga ke sana. Dengan mengirimkan mobil yang bagus dan luas, mengajak kami naik dua kali pesawat terbang dan satu kali kereta api.

Kalau kami suka dengan perjalanan kereta, dia bahkan bisa membuat kami naik 3 kali untuk sampai ke tempat tinggalnya itu. Terdengar menyenangkan.

Namun, Ibu yang tentunya sudah sering ke sana, mengatakan pada kami bahwa di sana Dayu tidak akan bisa melihat Ibu, dan kami juga tak bisa melihat Karambi. Lalu, ibu juga bercerita bahwa kebun binatang yang menurut Armein tempat yang menyenangkan itu tidak akan menyenangkan bagiku dan Langit. Menurut Ibu, aku dan Langit malah akan merasa sedih dan marah melihat semua binatang itu dikurung di tempat sempit. Armein tampaknya tidak terpikir ke arah sana. Dia baru menyadarinya; 'Ah ya, kenapa aku tak terpikirkan itu!' dan menyetujui pendapat ibu. Ah, kalau begitu aku memutuskan untuk tidak mau mengunjungi tempat tinggal Armein di Dangiye. Dan tentu saja, Langit juga akan sepakat denganku. Armein lalu menambahkan kata-kata seperti ini;

"Kalian sangat beruntung tinggal di Angkak. Angkak seperti sepotong surga yang menyenangkan. Kalau aku jadi kalian, aku juga tak mau keluar dari tempat ini... "

Mendengar itu, tentu saja Langit semakin tidak mau pergi ke Dangiye.

Tapi kali ini Ibu dan Armein sudah sangat lama berada di Dangiye. Kami sudah sangat merindukan mereka. Untung ada Karambi yang bisa menyampaikan kerinduan kami pada Ibu. Kami tak harus menunggu lama, kedua makhluk kesayangan kami itu datang dengan senyum dan pelukan mereka. Armein memelukku sedikit lebih erat dari biasanya. Agak mengherankan.

"Kau merasakan sesuatu, Ray?" tanya Ibu malam itu. Ya, ibu pasti sudah mendeteksi keherananku. Aku katakan pada Ibu bahwa aku merasakan Armein tidak bahagia. Ibu tidak terkejut, ia mengangguk-angguk, lalu mencium pucuk kepalaku. Tapi Dayu yang berada di samping ibu tampak heran, "Bagaimana kau tahu? Dia tampak berseri-seri…"

Ya, Armein memang selalu datang dengan tawa renyah dan senyum terkembang memesona begitu sampai di Angkak. Dia tampan sekali saat tersenyum lebar seperti itu.

Selama ini, kebahagiaannya terasa murni dan menular. Kita bisa tiba-tiba saja merasa bahagia tanpa sebab hanya karena berdekatan dengannya. Namun, kali ini tawa dan senyum Armein nyaris terasa memilukan di dalam hatiku. Apalagi yang kurasakan dalam pelukannya tadi. Aku bisa merasakannya, betapa tubuhnya tegang oleh kelelahan menyembunyikan sesuatu. Armein sepertinya butuh pelukanku lagi.

Maka, aku mengajaknya ke tepian perdu Kamile untuk mengamati kepik. Selesai bermain ayunan bersama Langit, Armein memenuhi undanganku untuk bermain di dekat perdu Kamile. Kami senang bertukar komentar tentang indahnya serangga lucu itu hinggap dan terbang di antara kelopak-kelopak putih Kamile. Armein senang berpura-pura sebagai salah satu kepik, dan membuat suara-suara lucu, sementara aku berpura-pura menjadi kelopak Kamile yang cerewet mengomeli kenakalan kepik-kepik itu. Armein tertawa terbahak-bahak sambil memelukku sampai kami terguling-guling di tanah. Saat tawa kami terhenti, aku bertanya padanya;

"Armein, kau butuh pelukanku?" tanyaku bersungguh-sungguh. Lelaki istimewa ibuku itu memandangiku dengan wajah yang berubah sendu.

"Kau tahu, ya, Ray?" tanyanya. Aku menyesal karena wajah Armein jadi seperti orang yang akan menangis. Aku seharusnya langsung memeluknya saja dan tak usah repot-repot bertanya seperti tadi.

"Aku tidak tahu, Arm… Aku merasakannya!" jawabku. Armein langsung memelukku dan terisak. Ya, lelaki dewasa itu menangis terisak-isak sambil memelukku, dan aku tak tahu bagaimana harus memeluk lelaki dewasa yang menangis seperti ini. Kukira, aku hanya akan membiarkannya saja menangis. Lalu semua kegundahan hatinya terburai.

"Ray! Aku manusia lemah dan pendosa. Aku tak mengerti mengapa hidupku begitu dipenuhi kepedihan. Padahal aku selalu menghemat jatah bahagia dan tertawaku… kecuali ketika di Angkak sini bersama kalian, aku tak mampu menahannya. Tapi, Ray… aku hampir tak sanggup menahannya lagi… Aku tak mengerti kepedihan hatiku. Dulu ketika Binar mendahulukan ibunya dan Lisa daripada aku, aku hancur dan terluka. Kupikir ketika Binar kembali padaku saat ini, aku akan bahagia. Tapi ternyata tidak, Ray! Aku tak mengerti mengapa. Tak ada Lisa, kupikir kehidupanku bersama Binar akan kembali seperti dahulu, kebahagiaanku yang hakiki. Namun, ternyata tidak, Ray! Ternyata tidak! Aku merasakan pedih yang tak kumengerti…"

"Apakah karena kau mencintai Ibu?" potongku.

"Ya…" Armein langsung menjawab begitu saja, dan kembali melanjutkan tangisnya, yang kini kumengerti alasannya. Orang dewasa dan semua kegundahan mereka.

Mengapa mereka tidak menyederhanakan perasaan mereka saja; mengucapkannya langsung, dan menghindari semua tangis dan kesal yang tak penting seperti ini.

Jadi Armein mencintai Ibuku. Tapi apakah Ibuku mencintai Armein? Yang kutahu dari Karambi, tugas Ibu sebagai damchi tidak akan berakhir selama manusia istimewanya hidup. Dan selama itu juga Ibu harus mengiyakan perintah atau keinginan apa pun yang diminta Armein. Artinya, kalau Armein tiba-tiba meminta ibu menjadi kekasihnya, Ibu tidak bisa menolaknya. Karena Ibu adalah damchi-nya. Aku ragu-ragu, apakah Armein menyadari fakta tersebut.

Lantas aku menanyai Ibu malam sesudah Langit tertidur di pelukannya, apakah Ibu mencintai Armein juga. Ibu mengangguk tanpa ragu-ragu; "tentu saja, Ray! Dia manusia istimewa tempatku mengabdi sampai dia mati. Tentu ibu mencintainya…" Aku ingin melanjutkan pertanyaan berikutnya yang lebih dalam, seperti "apakah Ibu akan membiarkan Armein menjadi kekasihnya"? Namun, entah mengapa aku mengurungkan niatku dan memilih memeluk diriku sendiri.

Pagi itu, kami sedang menyiapkan makanan lezat untuk keluarga-keluarga murai biru yang biasa datang ke Angkak menjelang kemarau. Langit membuat cangkir-cangkir kecil dari tanah liat yang dihiasi batu-batu kristal mungil. Dia menyusunnya berjauhan di halaman belakang bersama Armein dan Dayu.

Aku dan Ibu baru saja mulai menaburkan makanan khusus yang kami buat dari kesemek dan kacang-kacangan ketika Karambi datang berdiri tegak dengan wajah tegang ke arah Ibu. Mereka sedang berbicara dengan telepati. Tak ada satu pun dari kami yang mendengar apa yang dibicarakan mereka berdua. Hanya saja wajah tegang Karambi menular ke wajah Ibu.

Baru saja Dayu ingin bertanya pada Ibu, Ibu memeluk Armein dan mereka berdua pergi entah ke mana. Aku, Langit, dan Dayu berpandang-pandangan keheranan. Karambi mendekat dan menceritakan pada kami bahwa ada sesuatu terjadi di Jindoni.

Karambi bercerita bahwa Madea; sahabat Karambi dan Ibu; yang juga seorang damchi, memberi kabar tentang seorang perempuan tua yang diselamatkannya karena hampir patah lehernya, jatuh dari lantai 3 bangunan di pinggir pantai. Perempuan yang baik itu didorong dari lantai 3 karena menghentikan seorang perempuan muda dari membunuh janinnya sendiri. Madea menceritakan pada Karambi bagaimana si perempuan tua memergoki perempuan muda yang cantik itu sedang meminum ramuan yang bisa menggugurkan janin di dalam perutnya. Ia mengenali cairan itu dari baunya. Lalu, demi menyelamatkan janin yang ada di dalam perut perempuan muda itu, si perempuan tua mengambil mangkuk ramuan dan melemparkannya ke luar jendela di lantai 3 tempat tinggal mereka. Perempuan muda yang terkejut itu sangat marah karena ramuan yang dibuang tersebut adalah ramuan terakhir yang harus diminumnya untuk menggugurkan janin, lalu mendorong perempuan tua yang masih saudaranya itu keluar jendela.

Untung Madea menangkap dan menyelamatkannya sebelum leher perempuan baik itu patah. Dari ciri-ciri perempuan muda dan tempat mereka, Karambi mengenalinya sebagai Lisa yang diceritakan Ibu kepadanya. Maka Karambi menceritakan semua yang diceritakan Madea kepada Ibu, dan kini Ibu bersama Armein pergi ke Jindoni.

Entah apa yang akan mereka lakukan, tetapi apa pun itu, cerita ini membuat kepalaku terasa panas. Aku tidak mengerti bagaimana seseorang ingin membunuh janin di dalam perutnya sendiri? Pikiran aneh apa itu?