Beberapa malam kemudian, Ibu kembali ke Angkak dengan Armein dalam gendongannya. Cahaya bulan purnama di atas Angkak membuat wajah pucat Armein terlihat seperti bunga sharon yang terinjak. Meski tidak terlihat kesakitan, tetapi memandanginya membuat kami merasa sakit hati tiba-tiba tanpa alasan.
Wajah Ibu ketika membopong tubuh Armein adalah penanda yang paling akurat untuk menggambarkan apa yang terjadi. Ibu terlihat tidak fokus dan lupa melirik ke arah aku dan Langit. Tubuh terkulai Armein Ibu baringkan di atas ranjang kesayangan Armein yang Ibu buatkan tepat di samping ranjang Langit. Dia tidak seperti manusia yang tidak sadarkan diri; kedua mata besarnya terbuka lebar, tetapi pandangannya kosong. Kami semua mengelilinginya. Dayu dan Langit menangis. Kami harus memeluknya beramai-ramai.
*
Dayu menyiapkan makan sore yang amat meriah. Kami tidak hanya mengundang Karambi, tetapi juga Madea dan Vong, sahabat lama Ibu. Ini adalah hari istimewa untuk Langit karena dia akan mempertontonkan lagu pertama buatannya dengan alat musik yang dibuatnya sendiri.
Hari istimewa serupa pernah dibuat untukku ketika bapak kami, Lamaar, masih ada bersama kami. Dia menyiapkan sebuah meja perjamuan yang besar sekali dari batu-batu yang disusunnya secara melingkar. Aku memainkan alat musik yang kubuat sendiri dari kayu dan akar pohon untuk menyanyikan lagu pertamaku di depan Lamaar, Ibu, Langit yang masih bayi merah di pelukan Ibu, Karambi, seekor bison dan 38 ekor kuda. Belum ada Dayu bersama kami waktu itu. Maka, ketika melihat Dayu mempersiapkan hari istimewa Langit dengan begitu banyak jamuan makanan dan hiasan, tiba-tiba saja aku merindukan Bapakku Lamaar.
Di bagian depan rumah kami, Armein sedang membantu Langit berhias dengan pakaiannya. Ibu dan Madea membantu Dayu mengeluarkan dan menyusun semua makanan dan minuman yang sudah disiapkan. Aku menghampiri Vong dan Karambi yang mengatur beberapa binatang karibku yang hadir juga untuk menyaksikan pertunjukan pertama Langit.
Demi melihat Armein yang sudah bisa tertawa dan bercanda dengan Langit, aku menyadari bahwa salah satu tugasku saat menua adalah menjadi makhluk yang kuat dan tidak mudah hancur dikoyak rasa sakit hati ataupun rasa bersalah.
Kejadian yang menimpa Armein beberapa hari yang lalu membuat Armein tak berdaya dan seperti lumpuh. Kupikir tubuhnya nyaris tak sanggup menerima kenyataan pahit yang dihadapinya. Ibu menceritakan padaku betapa luar biasa dahsyatnya peperangan batin yang dialami Armein. Ketika Ibu dan Armein mendatangi Jindoni setelah mendengar cerita Karambi tentang perempuan muda bernama Lisa yang ingin menggugurkan kandungannya dengan ramuan rempah itu, Armein sudah berniat untuk menggagalkan usaha Lisa.
Menurut Ibu, Armein sudah pernah mengatakan padanya bahwa dia memiliki rencana untuk membesarkan bayi yang dilahirkan Lisa nanti bersama Binar. Mereka berdua; Armein dan Binar sudah membayangkan kehidupan yang menyenangkan bertiga dengan anak itu—yang diyakini Armein dan Binar sebagai anak kandung Binar. Maka layaknya seorang calon ayah yang ingin menyelamatkan buah hatinya, Armein meminta Ibu segera mendatangi Lisa untuk menggagalkan usaha jahatnya.
Namun ternyata, mereka terlambat. Lisa sudah meminum ramuan itu berkali-kali dalam sepekan terakhir, dan dosis terakhir ramuan itu juga sudah diminumnya, meskipun sempat dibuang ke luar jendela oleh si perempuan tua, yang kini menjadi manusia istimewa-nya Madea. Lisa mendatangi lagi sumber pemberi ramuan itu dan meminta ulang ramuan terakhir.
Yang paling memilukan, tidak hanya terlambat mencegah Lisa, Armein juga terlambat mencegah Binar mengetahui berita itu. Salah satu penggemar fanatik Binar yang tersinggung mendengar kabar Lisa mengkhianati Binar, ternyata telah membuntuti Lisa dan membuat investigasi sendiri; mengumpulkan bukti-bukti untuk membela Binar.
Penggemar antusias dan berdedikasi tinggi ini bahkan merekam percakapan Lisa dan temannya dalam keadaan setengah mabuk mengatakan semua rencananya; untuk membunuh janin yang dikandungnya, tetapi tetap berpura-pura hamil dan merahasiakannya dari Binar. Setelah Binar memberikan semua keinginannya, perempuan jahat ini baru akan memberi tahu bahwa janin itu sudah gugur. Bukti rencana kejahatan yang mengerikan itu ternyata sudah sampai ke tangan Binar, tetapi belum didengar Armein. Aku pernah mendengar Armein menceritakan padaku betapa sayangnya dia kepada manusia bernama Binar ini, cerita Ibu itu bukan hanya memilukan, tetapi membuatku mengagumi kekuatan batin Armein;
"Binar mendapatkan rekaman itu sebelum Armein dan Ibu mendengar cerita Karambi. Dia sudah langsung pergi mencari keberadaan Lisa di Jindoni. Ketika kami sampai di sana, Binar sudah lebih dahulu tiba. Dia kami lihat tepekur menangisi mayat Lisa yang ternyata ikut tewas bersama janinnya akibat ramuan rempah beracun itu. Armein berniat memeluknya dari belakang, Ray… dia ingin Binar membagi kekecewaan dan sakit hatinya dengannya, dalam pelukannya."
"Dia pasti ikut terpukul, ya?!"
"Tentu saja, Ray. Armein sangat mencintai Binar. Namun, saat Armein menarik bahu Binar ke dalam pelukannya, ternyata Binar telah berlumuran darahnya sendiri. Dia telah menancapkan belati ke dalam jantungnya sendiri. Belati yang tadinya akan dia gunakan untuk membunuh Lisa…"
"Ibu, aku tak mengerti…"
"Ternyata Binar datang dengan kemarahan. Dia berniat untuk membunuh Lisa karena telah berusaha membunuh janin yang dipercaya Binar sebagai anak kandungnya. Namun, sampai di Jindoni, Lisa sudah ikut teracuni ramuan rempah itu. Awalnya Ibu juga tak mengerti mengapa Binar membunuh dirinya sendiri hanya karena mendapati Lisa terbunuh ulahnya sendiri… tetapi kemudian Ibu mendengar apa yang terakhir terlintas dalam pikiran Binar ketika melihat Armein, sebelum napas penghabisannya."
"Binar merasa telah terkutuk karena telah menodai cinta suci Armein padanya, sehingga ibunya tewas terbunuh oleh peluru nyasar, kemudian jabang bayinya dibunuh ibu kandungnya sendiri. Binar tak sanggup menghadapi semua kenyataan itu, dan mengira satu-satunya tanda cinta dan permintaan maaf yang layak disampaikannya pada Armein adalah dengan mengakhiri hidupnya. Binar sempat berkata langsung pada Armein yang memeluk tubuh sekaratnya; 'Tophat, tak akan ada lagi yang akan menyakiti perasaanmu. Aku pergi…' itu kata-kata terakhir Binar pada Armein!"
"Kata-kata itu yang membuat Armein sehancur itu, Ibu? Hingga perlu waktu berhari-hari kita sembuhkan dengan pelukan dan nyanyian…"
Ibu tidak langsung menjawab, dan seperti harus berpikir lama untuk menjawabnya. Tapi sebelum ibu menjawab, Armein yang ternyata mendengar percakapanku dengan Ibu memutuskan untuk menjawab pertanyaanku sambil merangkul bahuku.
"Bukan itu yang menghancurkan batinku, Ray… tapi kenyataan bahwa aku sesungguhnya ingin mengubah pendirianku. Aku memang ingin mencegah Lisa menggugurkan janinnya, tetapi aku menginginkan hal itu bukan agar bayi yang lahir nanti bisa kuasuh dan kubesarkan bersama Binar..."
"Selama di Angkak bersama kalian aku menyadari apa yang kuinginkan, Ray… aku ingin menyelamatkan janin itu semata agar Binar kelak ada yang menemani. Karena aku ingin berada di sini bersamamu dan Langit, dan Dayu, dan ibumu. Aku menyayangi Binar, tetapi aku ternyata lebih mencintai ibumu…aku berniat mengatakan keputusanku itu pada Binar. Aku tahu itu mungkin akan melukainya..."
"Sebelum aku melakukannya, dia memilih membunuh dirinya sendiri… Aku merasa itu cara Tuhan menyelamatkan Binar dari sakit hati yang mungkin saja kutimbulkan… Tuhan tak memberiku kesempatan untuk melukai perasaannya.'
"Itukah yang menghancurkan perasaanmu hingga tak sanggup bangun dari ranjangmu selama berhari-hari?" tanyaku.
"Hanya dua hari, Ray!" Ibu menimpali sambil tertawa. Armein mengangkat tubuhku ke atas bahunya, lalu menjawab pertanyaanku;
"Bukan. Karena dua hal, Ray! Yang pertama karena kemudian kusadari bahwa kejadian mengerikan itu bukan menyelamatkan Binar dariku, tetapi menyelamatkanku dari rasa bersalah pada Binar yang pasti akan menyiksaku seumur hidup kalau aku sempat mengatakan keputusanku pada Binar."
Armein menatap mataku dalam-dalam, seolah khawatir aku salah mengartikan kalimat berikutnya yang akan meluncur keluar dari mulutnya;
"Dan rasa bersalah bisa mengubahku jadi manusia yang getir dan tak menyenangkan. Aku mungkin akan menyakiti perasaan kalian untuk melampiaskan rasa bersalahku itu. Aku bersyukur Tuhan mencegahku melakukan itu. Lalu, yang kedua, Ray… aku harus merasa sakit hati yang dalam, Ray! Aku harus terpuruk dan bersedih amat dalam atas semua yang terjadi padaku ini…"
"Kenapa?" aku sungguh-sungguh keheranan.
Armein melanjutkan,
"Karena aku takut aku tak berhak berbahagia dengan kalian di sini. Aku takut tidak cukup penderitaanku untuk pantas berbahagia di Angkak bersama kalian. Ini terlalu indah dan mahal bagi hidupku yang penuh dosa dan kesalahan, Ray… aku harus merana dulu untuk merasa pantas berada di sini. Aku menyiksa perasaanku sendiri dengan menyalahkan diriku sendiri atas tragedi yang menimpa Binar. Itu yang membuatku terpuruk selama dua hari…"
"Kau aneh!" komentarku pada Armein. Itu mengakhiri cerita tentang Binar dan perempuan bernama Lisa, dan tragedi berdarah mereka di Jindoni.
Kini, Armein menggendong Langit ke tengah meja perjamuan agar Langit bisa segera menampilkan nyanyian ciptaannya. Aku merangkul Ibu dan Karambi; Dayu dan Madea mengapit Armein dalam rangkulan mereka, Vong duduk di atas Ronie, si macan tutul, sementara keluarga pelikan, murai, berang-berang, dan ular derik berbaris rapi bersama keluarga rusa dan 99 ekor kuda kami. Kami semua siap mendengar nyanyian pertama Langit dengan kostum yang terlihat hebat; hasil hasta karyanya bersama Armein. Dia juga membawa alat musik yang dibuatnya sendiri dari tangkai kayu yang dibuat seperti busur, diikat serat pohon dan dihiasi bunga-bunga berwarna ungu dan putih di ujungnya. Kami semua berdebar menunggu Langit menyebutkan judul lagu ciptaannya itu,
"Lagu ini aku persembahkan untukmu, Setaholdo!" seru Langit sambil membungkuk dan menyembah ke arah Armein. Lelaki istimewa Ibu ini sontak melemparkan pandangannya ke arah Ibu, lalu meneteskan air mata. Aku sudah bisa membayangkan kata-kata Armein kalau kutanyakan mengapa dia menangis, pasti jawabannya 'karena aku harus menangisi ini, Ray!'