Keempat makhluk menyenangkan yang kini menjadi bagian dari hari-hariku itu membuat aku tidak terlalu bersedih dengan pernikahan Binar. Sesekali aku mengajak Kandi melihat dari jauh bagaimana Binar dan Lisa menjalani kehidupan selebriti yang harus memamerkan kebahagiaan di depan ratusan kamera.
Kharisma juga melaporkan Binar kembali mendapatkan klien-klien lamanya. Display pernikahan bahagia yang mereka jual berhasil mendatangkan kembali sumur-sumur uang untuk Binar dan keluarganya. Jika itu yang membuat mereka berbahagia, tentu saja aku ikut merasakan bahagia. Di sinilah keanehan sesungguhnya terjadi.
Sebelum ada Kandi, kebahagiaan Binar tanpa aku adalah sebuah dosa besar tak berampun yang dilakukan Binar padaku. Aku merasa itu tidak mungkin terjadi selama aku masih bernapas dan menjejak bumi. Namun, kenyataan itu tiba, dan aku baik-baik saja menerimanya.
Padahal aku sudah bersiap sepenuh hati untuk dihancurkan rasa patah hati yang membabi buta, yang meluruhkan semua sendi kehidupanku dan membuat segalanya menjadi sirna. Padahal aku sudah memperhitungkan biaya sakit hati yang akan kutanggung ketika kesadaran Binar berbahagia tanpaku itu sepenuhnya nyata di depan mata.
Aku bahkan mengira akan kehilangan karier menyanyiku selama dua atau tiga tahun sebelum sakit hati mengubahku menjadi seseorang yang berbeda, tapi tetap hidup. Seperti pertukaran jiwa, ketika satu jiwa yang moksa ditelan kepedihan, maka yang lainnya—seperti jiwa cadangan, memasuki raga untuk meneruskan takdir hidupnya.
Namun, keanehan yang sudah kurasakan sejak di Namsina itu terjadi semakin kuat di dalam tubuhku. Aku tidak merasa sedih dan hancur melihat kebahagiaan Binar, aku baik-baik saja meskipun tidak merasa ikut berbahagia juga. Apakah artinya perasaanku sudah bebal? Atau justru aku merasakan kedamaian yang sebelumnya tak pernah kurasakan sehingga aku tak mengenalinya?
"Kau tak cemburu, Arm?" tanya Kharisma manajerku, melihatku ikut tertawa dan bertepuk tangan ketika Binar diberi pesta kejutan ulang tahun oleh istrinya, Lisa, di kantor kami. Tentu saja aku berada di sana, dan ketika Binar terkejut dan menciumi Lisa, Kharisma dan Rieska langsung memandangiku dengan cemas. Tak bisa kutahan, aku tertawa melihat reaksi kedua perempuan itu.
Tapi aku juga membalas pandangan mereka dengan senyuman bahagia, menurutku. Lebih karena rasa senang yang murni dan tulus dari hatiku karena menyaksikan wajah Binar yang berseri-seri; kalau aku tidak salah menilai perasaanku sendiri.
"Aduh, maafkan aku. Aku harus jujur, seharusnya aku menjawab iya aku cemburu, tapi… aku benar-benar tidak…" jawabku dengan sangat hati-hati. Karena aku tidak tahu apa yang akan berkecamuk di kepala mereka jika aku menjawab iya atau tidak.
Namun, Kharisma berpendapat aku bisa menjadi artis yang sangat menyebalkan dan punya segudang cara untuk memanipulasi apa yang kurasakan lewat gestur, tetapi aku tidak pernah pandai berbohong tentang perasaanku. Itu menurut Kharisma.
"Kalau aku tak mengenalmu cukup lama, Arm; aku mungkin akan menuduhmu sedang berbohong. Tapi kau memang sudah berubah sekarang… aku tak tahu apa itu, tapi kau sedikit berbeda" kata Kharisma bersungguh-sungguh. Kharisma bahkan berkomentar bahwa aku tidak se-enigmatis dulu. Apakah itu berarti aku jadi manusia yang lebih baik?
Ketidak-cemburuanku pada Binar tidak hanya mengherankan Kharisma dan Rieska, tetapi juga diriku sendiri. Suatu hari saat Binar dikabarkan sakit dan aku cemas, kuminta Kandi membawaku ke rumah sakit tempat Binar dirawat. Kami melakukan biyijun, dan aku melihat di dalam kamar rumah sakit bagaimana Lisa dan Binar begitu mesra. Lisa membacakan sesuatu sambil duduk di ranjang tempat Binar terbaring. Binar menyandarkan kepalanya ke dada Lisa dan tangan kanan Lisa merangkul erat suaminya, sementara tangan kirinya memegang buku yang mereka baca.
Selama beberapa menit aku menikmati pemandangan indah itu, tiba-tiba air mataku menetes. Tanganku yang menjaga posisi nuye terlepas karena kugunakan untuk menghapus tetesan air mataku. Betapa sialnya.
Posisiku yang memeluk Kandi dari belakang membuat tubuhku langsung terlihat jelas seperti sedang berdiri di sudut kamar mengepalkan tangan kiriku ke arah Binar. Dan dalam posisi mendekap Lisa setengah berbaring itulah Binar melihat sosok aku selama beberapa detik.
"Menchi!!!" teriaknya histeris.
Kandi buru-buru membawaku keluar kamar, dan mengamati mereka dari jendela. Untung saja pandangan mata Lisa terhalang buku yang dipegangnya, sehingga perempuan itu tak melihat apa-apa. Namun, begitu mendengar suaminya berteriak dengan nada terkejut seperti itu, Lisa melepaskan buku yang dipegangnya, dan memeluk Binar lebih erat. "Kenapa, sayang? Tophat?" berondong Lisa.
Kandi langsung membawaku pergi dari situ. Kami tiba di apartemenku dan saling berpandangan gugup. Aku telah tak sengaja menggagalkan biyijun kami. Binar tidak bisa melihat Kandi, tetapi sosokku pasti terlihat jelas selama beberapa detik oleh matanya.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Kandi. Ia pasti sama kebingungannya denganku.
"Pergi padanya, Kandi! Lihat apa yang terjadi, lalu beri tahu aku…" perintahku. Kandi langsung menghilang dari pandanganku, mematuhi perintahku.
Aku terdiam melihat langit tak berangin di balkon apartemenku. Aku terenyak mendengar kata-kataku sendiri pada Kandi beberapa saat yang lalu. Aku memberinya perintah. Seperti seorang penguasa yang memerintahkan bawahannya untuk melakukan sesuatu dan tak menerima alasan penolakan. Kandi melakukan apa pun yang diperintahkan olehnya seperti seorang patih yang tunduk sepenuh jiwa raga pada rajanya. Melihat begitu cepat Kandi mematuhiku tanpa bertanya sedikit pun, aku merasa telah melakukan kesalahan. Bukankah seharusnya aku menanyakan dulu padanya apakah ia bersedia melakukan itu untukku. Apakah kini aku sudah berubah angkuh dan bersikap bossy? Mama tak akan pernah memaafkanku jika ia tahu apa yang kulakukan tadi pada Kandi. Ah, tapi bahkan ia juga tak tahu-menahu tentang Kandi.
Apakah aku menyukai kepatuhan Kandi? Ya. Aku menikmatinya.
Setidaknya seseorang berjiwa angkuh di dalam ragaku menikmati semua yang Kandi berikan. Tak ada satu kata tidak atau penolakan apa pun darinya. Bahkan ketika aku melampiaskan kemarahanku pada Binar dahulu, dengan menggigiti lengan dan bahunya. Kandi bahkan tidak mengaduh. Karena kupikir ia bukan manusia seperti aku yang bisa merasakan sakit. Lagi-lagi itu pikiran egoisku. Betapa durjananya aku pada Kandi.
Namun, jangan-jangan aku salah. Jangan-jangan Kandi kesakitan tapi menahan diri untuk tidak mengaduh agar tak membuatku gusar?
Kalau itu yang terjadi, artinya Kandi menganggapku sejahat itu. Bahwa aku akan sangat gusar jika ia menolak atau mengaduh. Tapi, semua perlakuannya padaku begitu hangat dan penuh kasih. Itu tidak sesuai dengan logikaku tentang perasaan seseorang yang diandalkan oleh satu orang lainnya untuk melakukan segala hal.
Mama pernah bercerita tentang perasaan dan rumus matematika; ini adalah caranya menjelaskan tentang pacaran dan sakit hati pada anak sulungnya yang waktu itu masih berusia 13 tahun. Jika perasaanmu pada seseorang itu 10, maka ketika "seorang gadis yang kutaksir" melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatiku, perasaanku akan berkurang 1, jadi 9. Kalau "gadis itu" melukai, yang berkurang bisa lebih dari 1; bisa 2, 3, atau bahkan 5. Tergantung seberapa parah luka itu menggores hatiku. Dan apabila perasaanku 10, tapi dilukainya sampai 5, maka yang tersisa tinggal setengahnya. Sebanyak apa angkamu hilang, sebesar itu juga luka hatiku. Bayangkan kalau perasaanmu 10, tapi kau dilukai hingga 9, dan hanya tersisa 1 saja untuk perasaanmu. Kau terluka level 9.
Dengan rumus Mama ini, aku diajarkan untuk tidak pernah memberi angka terlalu besar untuk perasaanku pada lawan jenis, agar tidak terlalu sakit hati ketika perasaanku dilukai.
Kemudian, entah Mama mengetahuinya atau tidak, jangankan "sedikit saja", aku tak pernah memberi angka berapa pun pada perempuan mana pun. Aku memberi angka 100 pada Binar, dan beberapa saat lalu dia telah melukaiku 99,5 hingga kupikir aku sudah "dihabisinya."
Tapi Kandi datang dengan angka sejuta. Dan aku tak merasakan kerugian apa pun saat ini. Aku berlimpah. Andai Mama tahu itu.
Namun, Kandi dan semua kepatuhannya kini mengganggu pikiranku. Dan alangkah pas waktunya. Karena dengan Kandi pergi menengok Binar, ia tidak ada di sini untuk mendengar kecamuk pikiranku tentangnya. Tiba-tiba aku merasa telah melakukan kesalahan besar dengan berpikir hanya tentang perasaan dan kebahagiaanku saja. Bagaimana dengan perasaan dan kebahagiaan Kandi saat melayaniku? Apakah ia akan baik-baik saja dengan semua perintahku? Apakah ia menyukai saat-saat bersamaku?
Ini sedikit mengejutkan diriku sendiri; karena aku seharusnya memikirkan dengan galau apa yang akan dipikirkan Binar melihat aku melayang di sudut kamar rumah sakitnya, lalu menghilang. Dia pasti berpikir sudah melihat hantu, dan kemudian histeris. Mungkin rumah sakit akan mengira sarafnya terganggu atau dia dianggap mengalami delusi, lalu mereka memberi Binar obat penenang. Namun, tidak. Bukan itu yang kupikirkan, melainkan Kandi. Perempuan yang terbang dengan tujuh helai kain sebagai sayapnya itu. Kandi yang mengiyakan dan melayaniku tanpa syarat.
Aku ingat satu masa ketika kami berada di atas karang tinggi terjal yang menghadap lautan ganas dan aku sepenuhnya mengandalkan Kandi untuk merasa aman di sana. Tak akan ada satu manusia pun yang sanggup datang dan duduk di tempat kami duduk untuk menikmati pemandangan sehebat itu, kecuali mereka memiliki seorang damchi sepertiku.
Kami mengobrol banyak dan tertawa-tawa bersama. Tiba-tiba saja sensasi hebat berada di tempat yang mustahil didatangi manusia itu membuatku berpikir bahwa jika Kandi tiba-tiba saja meninggalkanku di situ, aku akan mati. Jatuh ke karang terjal ratusan meter di bawah sana atau mati kesepian karena diam tak berdaya, tak bisa melakukan apa-apa untuk melanjutkan hidup. Aku tiba-tiba menyadari betapa aku sangat memercayai Kandi dengan sepenuh jiwa dan ragaku.
Aku sepenuhnya yakin, Kandi tak akan meninggalkanku sendirian di situ. Tingkat kepercayaan yang sangat tinggi, hampir sama kuatnya dengan aku percaya Tuhan telah menciptakan surga dan neraka yang saat ini tak bisa kulihat keberadaannya. Aku terkejut sendiri menyadari hal itu.
Sialnya, Kandi juga 'mendengar' apa yang kupikirkan itu, dan ia tertawa keras menertawakan jalan pikiranku. 'Aku tak akan meninggalkanmu mati di sini, Armein!' ujarnya sambil tertawa terpingkal-pingkal. Detik itu juga aku merasakan hangat di dadaku menyadari bahwa aku sangat memercayainya dan tak ada keraguan sedikit pun di kepala dan hatiku bahwa Kandi adalah makhluk baik yang tak akan melukaiku dan sangat setia padaku.
Betapa berharganya perasaan seperti itu. Dan betapa beruntungnya aku. Melihat Kandi menertawakan pikiranku, aku melihat betapa indah dan luar biasanya Kandi. Lalu, naluriku yang sungguh-sungguh memuja keindahan itu bekerja lebih cepat daripada pikiran sopan santunku. Aku refleks merengkuh Kandi ke dalam pelukanku, dan kucium bibirnya lembut. Kandi terkejut. Bibirnya sedikit terbuka saat kupagut, tapi itu saja reaksinya, dan ia tidak menolak atau berusaha melepaskan diri dari pelukanku.
Beberapa detik saja. Aku lalu melepaskannya dengan gugup dan mengutuki diriku sendiri karena melakukannya. Aku tidak pernah mencium bibir perempuan seperti itu seumur hidupku. Aku pernah mencium bibir Mama dan Carra, tetapi lebih karena kasih sayang dan bahagia. Satu-satunya bibir yang pernah kupagut seperti yang kulakukan pada Kandi itu hanya bibir Binar.
Aku meminta maaf pada Kandi. Tanpa sadar aku bahkan menyembah meminta ampunannya. Aku benar-benar merasa takut perempuan ajaib ini akan marah dan meninggalkanku di atas tebing batu ini dan aku akan mati. Aku tak henti-hentinya mengutuki kebodohanku menciumnya. Kandi malah tertawa mendengar isi pikiranku.
"Jangan menyumpahi dirimu sekejam itu, Armein… kau tidak melakukan kesalahan apa pun dan aku tidak marah atau tersinggung. Aku damchi-mu, kau berhak melakukan apa pun yang kau inginkan atas aku dan aku tak akan menolaknya!" jelasnya sambil tertawa. Aku terkesiap mendengarnya. Aku hampir tak mampu memercayai apa yang kudengar. Dan aku merasa harus mengujinya. Dengan tubuh tegak dan melipat kedua tanganku di dada, aku memberi perintah,
"Kandi, cium aku!" ucapku dengan suara kubuat tegas. Kandi tertawa mendengarnya, lalu langsung mencium lembut pipiku dan berbisik lembut di telingaku, 'kau tak perlu meneriakkannya, Armein… kau bisa memikirkannya saja, aku akan melakukannya!'
Kami pun tertawa bersama-sama; kurasa Kandi menertawakan semuanya, pikiran bodohku dan semua yang kulakukan. Tapi aku tertawa bahagia. Aku lalu mencoba lagi dengan memikirkan Kandi mencium bibirku. Dan ia melakukannya lagi. Betapa membahagiakan.