Chereads / Hati Yang Melangit / Chapter 31 - Kandi 14

Chapter 31 - Kandi 14

Lelaki istimewaku tak bisa menahan diri lagi. Ia harus bertemu langsung dengan kekasih hatinya dan mengklarifikasi semua yang telah dilihatnya. Batinnya bergejolak mengantisipasi semua, ia begitu tegang; seolah itu adalah momen hidup dan matinya. Kuketahui cinta bisa membuat kita meremehkan diri sendiri, begitu pun Armein. Dia tak ingin bersabar menunggu hingga Binar mendatanginya sendiri dan menjelaskan pernikahannya, Armein ingin mengetahui semuanya malam itu juga di Namsina.

Seandainya saja dia mau bersabar dan berbesar hati menunggu Binar datang sendiri padanya untuk menjernihkan semuanya, mungkin dadanya tidak akan terasa sesakit mengantisipasi pertemuan mereka ini.

Namsina adalah tempat di mana dia dan Binar biasa bermesraan. Bagi Armein, apa yang awalnya hanya skenario dan kesepakatan yang tidak menyenangkan—yang dibuatnya dengan Binar di kamar Suci, kini menjadi semacam ultimatum yang menghukumnya dengan sangat berat. Di Namsina, dia ingin menggugatnya.

Binar tentu saja datang dengan keyakinan bahwa Armein dalam puncak kemarahannya sekalipun akan tetap mencintainya dan tidak akan membunuhnya karena pengkhianatan cinta. Pertemuan mereka tampak memilukan. Binar adalah lelaki tampan yang diidamkan jutaan perempuan pengagumnya di dunia; yang kepadanya lelaki istimewaku mencurahkan semua energi cintanya…seolah tak ada satu manusia pun lagi di muka bumi ini yang bisa dicintainya, seperti dia mencintai Binar. Namun, itu fakta.

Binar juga sangat mencintai Armein, meskipun ketidakmampuannya menghadapi kenyataan hidupnya yang harus maha sempurna di mata dunia, telah membuatnya kejam pada dirinya sendiri. Binar membunuh rasa cintanya pada Armein hanya karena sekelilingnya menuntut berbeda. Perasaannya itu hanya murni dan suci di mata Binar dan Armein saja, tetapi durjana dan hina di mata dunia. Binar tidak melihat pilihan lain; mengabadikan cinta sucinya pada Armein lalu membunuh dirinya sendiri, atau membunuh cinta sejatinya hanya agar hidup terus berlanjut bersama orang-orang lain di sekelilingnya. Tapi tidak bersama Armein.

Dilema yang dirasakan Binar itu membuat pikirannya juga nyaring terdengar jelas olehku. Dia tahu bahwa Armein akan mengetahui pernikahannya, dan Armein tentu saja akan mengamuk menuntut keadilan padanya.

Sementara Armein menatap udara gelap di luar jendela, Binar berjalan keluar dari mobilnya dengan gontai dan ragu-ragu. Dia memikirkan kalimat-kalimat yang akan dikatakannya pada Armein. Mencobakannya di dalam kepalanya, sekaligus membayangkan reaksi Armein. Binar berpikir keras. Dia menyadari kelemahan mentalnya jika menjadi pihak yang salah atau menjadi si pengkhianat.

Dia harus menemukan alasan untuk dirinya sendiri merasa benar, atau tidak sepenuhnya salah. Mungkin posisinya akan menjadi lebih baik jika yang dia perjuangkan adalah hak asasinya. Pikiran itu yang menguasai benaknya sebelum memutuskan untuk melangkah lebih cepat memasuki bangunan miliknya itu.

Binar terus melatih kalimat-kalimat pembelaan diri di kepalanya. Tapi semua kalimat buatannya itu dikritiknya sendiri. Seperti ada dua orang Binar dalam tubuh itu. Yang satu berusaha mengeraskan hatinya, bahwa dia berhak mendapatkan kebahagiaan dan kebebasan dari penjara cinta yang mereka berdua ciptakan. Binar kesatu ini sudah bosan dengan percumbuan sembunyi-sembunyi mereka, yang menurutnya melelahkan. Dia akan mengakui rasa jenuh dan bosannya pada Armein; termasuk mengakui betapa kini dia menikmati gairah berpacaran dengan Lisa yang bisa dilakukannya tanpa harus sembunyi-sembunyi.

Bagaimana keluarga dan ibundanya menerima Lisa dan berusaha menyayanginya hanya karena mereka berharap Lisa akan menjadi istrinya, semua itu menjadi sensasi menyenangkan dan membahagiakan yang sebelumnya belum pernah dirasakannya selama menjalin hubungan dengan Armein. Binar ingin mengatakan langsung pada Armein betapa menyenangkan ketika wartawan mendekatinya dan memuji Lisa, mengatakan bahwa mereka berdua amat serasi dan menjadi pasangan yang dinantikan seluruh dunia. Beberapa di antaranya bahkan menyebut dirinya dan Lisa sebagai 'pasangan dari surga'. Sebutan itu bahkan ditulis dalam bentuk nyala neon besar di mana-mana. Itu pasti akan sangat menyakitkan bagi Armein.

Binar 'aksen' yang masih begitu dalam mencintai Armein menangis membayangkan kemungkinan itu. Binar kedua ini merasa ingin masuk ke pantri sebelum naik ke kamar yang biasa digunakan olehnya dan Armein bercumbu. Dia ingin mengambil pisau, menyatakan semua isi hati dan perasaan cintanya pada lelaki yang selalu jadi manusia tertampan di dunia dalam berbagai kompetisi global itu, lalu meminta Armein membunuhnya malam ini juga untuk mengakhiri dilema yang amat menyakitkan ini.

Binar berhenti sejenak di depan pantri. Langkahnya terhenti sesaat. Namun, bayangan sampul majalah internasional ternama yang memuat fotonya bersama Lisa, dengan judul: "Menghitung Mundur Hari Patah Hati Internasional" menjelma di depan matanya. Hanya orang-orang ternama saja yang menjadi model sampul majalah elite tersebut. Bahkan ibunda Binar berkata bahwa selain artis hebat atau orang terkaya di dunia, hanya para presiden yang pernah menjadi sampul majalah ini. Betapa luar biasa pencapaiannya. Dirinya sebagai sosok hampir sempurna, tanpa cacat dan noda apa pun. Armein terbukti menjadi noda dalam hidupnya.

Noda yang teramat sangat manis dan luar biasa; yang menjadi sumber kebahagiaannya. Noda yang tak ingin dia hilangkan. Binar sampai di depan pintu kamarnya tanpa bisa memutuskan apa yang akan dia katakan pada Armein.

Apa yang terjadi berikutnya begitu mengerikan. Armein membatu dalam kemarahan dan kekecewaannya, dan Binar tak sanggup memberi alasan yang lebih baik selain karena tak ingin kehilangan ibunya demi memilih cintanya pada Armein. Aku tak bisa membayangkan betapa rumitnya dilema itu bagi mereka berdua, karena di mataku semua itu terlihat sangat tidak masuk akal. Mengapa cinta seindah dan sebesar itu bisa memberi rasa sakit se-mengerikan itu, khususnya bagi Armein?

Aku jadi ingat Lamaar yang pernah berkata bahwa cinta suci kami mengalahkan segala ketakutan dan keraguannya pada hidup. Mengapa Armein dan Binar tidak melihat itu?

Armein yang terluka parah batinnya meratap dan mengerang seperti binatang terluka di dalam jerat mematikan; yang tak mampu memutuskan apakah lebih baik memperdalam lukanya agar kematian datang lebih cepat, atau mencoba untuk keluar dari jeratan luka itu dan terus hidup. Aku tak pernah melihat wajah Armein segelap dan sekalut itu.

Namun, aku sangat memahami sebabnya. Karena itu, kubiarkan lelaki istimewaku melampiaskan semua kemarahan dan luka hatinya dengan semua yang diinginkannya. Armein berteriak, menangis, meratap, mencengkeram tubuhku kuat-kuat, bahkan menggigiti lengan, dada, dan bahuku sambil menangis. Aku bisa merasakan kepedihan hatinya. Raganya sudah sangat tidak kuat menahan kepedihan, sehingga menimbulkan kepedihan di raga lain dengan menyakiti tubuhku adalah satu-satunya obat untuknya. Aku membiarkannya.

"I am here, Armein... you're not alone," kubisikkan di telinganya berkali-kali ketika melihatnya melemah tapi tak kunjung tertidur. Senandung tentang pelukan langit pada sebatang nyiur yang hampir mati—lagu yang kuciptakan di malam-malam hening yang membahagiakan sebelum aku ditugaskan menjadi damchi—yang biasanya membuat semua makhluk yang mendengarnya mengantuk dan pulas, tak juga mempan untuk menidurkan Armein.

Dia harus tertidur dan beristirahat dari kasar dan jahatnya kemarahan yang meraja di dalam dadanya. Aku memeluknya erat, kubawa dia ke Angkak. Kukatakan pada Ray, bahwa Armein terluka batinnya, dan dia membutuhkan pertolongan kita semua. Ray, dengan kekuatan tersembunyinya memeluk tubuh Armien sambil mengucapkan banyak kata-kata menenangkan di telinganya. Lalu, gadis ajaibku itu memintaku bergabung.

"Lukanya sangat parah, Ibu… bantu aku menyembuhkannya!"

Maka aku dan Ray memeluk Armein sampai dia terlelap dan tertidur di atas ranjang Langit selama berhari-hari. Aku tidak terkejut melihat Ray memeluk binatang-binatang yang terluka dan menyembuhkan mereka dengan pelukan dan kata-kata baiknya. Atau memeluk pohon berlama-lama sambil bersenandung. Namun, melihat Ray memeluk Armein dan dengan percaya diri mendengarnya mengatakan 'bantu aku menyembuhkannya!' adalah hal baru yang membuat dadaku hangat oleh rasa bahagia dan bangga.

"Ray, bagaimana kau tahu dia terluka sangat parah?" godaku sambil mengelus tangannya yang lembut yang sedang membelai kepala dan rambut Armein dengan penuh kasih sayang. Gadis itu memandangiku dengan mata lucu karena merasa aneh dengan pertanyaanku.

"Tidakkah terlihat jelas, Bu? Meskipun dia tidak berdarah dengan kulit robek menganga, tetapi lukanya begitu kentara dari warna kulit dan tatapan matanya, Ibu… Ibu menggodaku…" jawabnya sambil terkekeh.

Armein awalnya seperti makhluk yang hilang kesadaran. Dayu dan Ray bergantian menyuapinya. Aku membersihkan tubuhnya dan membawanya mandi cahaya matahari, Langit menghiburnya dengan nyanyian dan cerita-cerita konyol karangannya sendiri. Namun, Armein sangat sulit tersenyum. Mata dan wajahnya saja yang berkomunikasi sederhana pada kami, tetapi nyawa kehidupan seolah padam di dalam dirinya.

Hingga suatu hari Ray mengajaknya duduk di batu berima yang tak jauh dari mata air kecintaan kami di Angkak. Tumpukan batu-batu megalit hitam legam yang akan mengeluarkan bunyi unik jika dipukul. Ray yang hobi membuat bunyi-bunyian dari batu, daun yang bergesekan, air, angin, apa pun yang menurutnya bisa memunculkan bunyi yang enak terdengar. Dayu membuatkan ranjang ayun dari bambu di dekat tumpukan batu hitam dan menutupnya dengan selimut tebal. Kami lalu membaringkan tubuh Armein yang lemah di atasnya, seperti membaringkan bayi beruang yang terluka beberapa waktu lalu. Memberi waktu pada tubuh tak berdaya itu untuk menyembuhkan dirinya sendiri dari dalam dengan membiarkannya tertidur.

Sorot mata Armein memandangi kami semua seperti sama seperti bayi beruang. Lugu dan memelas. Sampai Ray dan Langit mulai memukul-mukul lembut batu-batu hitam itu. Perlahan, tapi nadanya amat menyenangkan telinga. Lalu Dayu membunyikan suling bambu buatannya sendiri untuk mengiringi dentingan batu-batu hitam. Beberapa saat sesudahnya, wajah Armein mulai berubah warna, tampak lebih hidup.

Lalu dia mengangkat kedua tangannya ke arahku, seperti bayi yang minta digendong induknya. Bayi beruang kecil yang minta dipeluk karena dunia terlalu kejam dan mengerikan untuknya.

Pagi berikutnya Armein sudah berubah. Dia bangun seperti sebelum ada pertemuan di Namsina. Begitu polos dan bersemangat. Dan yang membahagiakan, dia tidak seperti bayi beruang tak berdaya lagi; Armein tidak selalu mencariku untuk merasa aman.

Aku bisa melihatnya tertawa bahagia menemani Ray di taman dan pinggiran telaga, tempat Ray biasa menguntai kalung bunga atau manik-manik. Saat aku menidurkan Langit, aku bisa mendengar obrolan dan canda tawa Ray, Armein, dan Dayu di dapur. Dan dia jarang sekali memintaku membawanya ke Dangiye atau apartemennya, kecuali untuk pekerjaannya menyanyi dan shooting bersama Kharisma dan stafnya.

"Apakah dia akan tinggal di sini bersamamu, Kandi?" Karambi bertanya padaku melihat keakraban Armein bersama Ray dan Dayu. Aku menjawab, tak tahu. Tapi dari apa yang berkecamuk di dalam kepalanya, sepertinya Armein sudah tak ingin lagi mengingat Binar, karier menyanyinya, ataupun Dangiye. Bukankah ini perubahan yang menakjubkan? Melihatnya sangat kerasan berada di Angkak dan menjalani keseharian bersama aku, Ray, Langit, dan Dayu. Apakah dia telah tersembuhkan?