Hari-hari sesudah aku dicampakkan Binar adalah hari ketika aku akan meminta Kandi untuk membawaku mengawasi Binar dan Lisa dari jauh, melihat kebahagiaannya, dan menangis di pelukan Kandi karena perihnya pengkhianatan ternyata tak tertahankan tanpa sepasang tangan Kandi dan tujuh lembar selendang biru hijaunya membungkus aku dan tangisku.
Sesekali aku menerima pesan dari Binar yang mengatakan rindu dan ingin untuk rendevouz. Tentu saja dengan bantuan Kandi, aku selalu bisa memenuhi permintaannya. Namun, perjumpaan kami tidak pernah bisa sama seperti dulu lagi. Kami sudah sulit untuk bercumbu lagi. Tubuhku hanya merespons Binar dengan pelukan kasih sayang dan ciuman di pucuk kepalanya. Tak ada lagi gairah menggebu-gebu yang membuatku "mengusir" Kandi untuk 2-3 hari. Sampai di titik ini aku justru lebih menikmati ikut bersama Kandi ke Angkak untuk menghabiskan waktu dengan Ray, Langit, dan Dayu. Tak lagi terlalu merindukan Binar ada bersamaku.
"Kau tiba-tiba saja tak merindukan Binar lagi, atau kau memutuskan untuk tidak lagi merindukannya, Arm?" tanya Ray sambil menungguku menyelesaikan satu untai gelang bunga yang akan ia pasangkan ke leher dua ekor macan tutul amur yang sering bermain tak jauh dari halaman rumah Angkak. Aku terdiam mendengar pertanyaannya.
Gadis kecil ini sudah terlalu tahu banyak hal yang seharusnya hanya diketahui orang-orang dewasa. Ini pasti gara-gara Kandi yang selalu menceritakan semuanya pada Ray, Langit, dan Dayu. Namun diam-diam, aku takjub menyadari Kandi pasti telah bercerita dengan sangat lengkap sehingga Ray bisa punya pertanyaan seperti itu di kepalanya.
"Aku tak tahu, Ray…" jawabku sambil terkekeh geli. "Apa yang kau tahu tentang rindu?" serangku. Gadis itu lalu melingkarkan tangannya di leherku minta digendong di punggungku. Aku melepaskan untaian bunga yang sedang kukerjakan, dan kugendong Ray dengan riang. Ia berpura-pura menunggangi unicorn, dan meloloskan mantra-mantra terbang. Mungkin ia sedang berharap bisa terbang seperti ibunya. Beberapa saat kemudian gadis itu minta aku menurunkannya di atas batu besar.
"Aku selalu berharap kau datang ke Angkak dan menggendongku sambil berlari seperti barusan, Arm. Kurasa rindu adalah harapan yang membuatmu tersenyum memikirkannya…" jawab Ray sambil tertawa riang.
"Kau gadis yang sangat pintar, Ray!" pujiku. "Apalagi yang bisa kau ajarkan padaku?"
Ray mengacungkan kalung-kalung manik-manik dan bunga yang dipakainya untuk menghias leher dan kepala kuda, rusa, beruang, dan binatang lainnya yang mampir ke halaman rumah mereka. Aku tertawa, karena menurutku, aku tak akan pernah bisa seterampil Ray membuat semua kalung itu. "Adakah yang lebih mudah?" tanyaku lagi.
Aku sudah membayangkan gadis itu menunjukkan hasta karyanya yang lain kepadaku, tetapi dia malah membentangkan kedua tangannya minta dipeluk. Aku tentu memeluknya sehangat mungkin. Namun, Ray melakukan hal yang lain. Kedua tangan kecilnya terasa lebih panjang merangkum punggung dan leherku ke dalam pelukannya. Leher mungilnya menempel di leherku, dan dadaku bisa merasakan napas lembutnya, lalu tiba-tiba saja aku merasa sepasang telapak tangan kecil di punggungku terasa menghangat, dan aku bisa merasakan aliran darah mengalir deras dari punggungku ke leher, tengkuk, dan kepalaku.
"Tuhan, damaikan tubuh yang baik ini…" bisik Ray lembut, dan tiba-tiba aku merasa kedua kakiku menjejak tanah hangat yang mengalirkan hawa panasnya perlahan dari telapak kaki, naik ke lutut, paha dan tubuh bagian bawahku, lalu terasa melingkari pinggang dan dadaku.
Keajaiban apa lagi ini? Aku ingin melepaskan pelukan Ray karena merasa aneh dan terkejut, tetapi tubuhku enggan. Semua hawa hangat yang mengalir dan aliran darahku di sekujur tubuh itu betul-betul terasa nikmat dan menyenangkan. Aku tak ingin rasa itu berakhir. Tapi Ray sendiri kemudian melepaskan pelukannya.
"Apa tadi itu, Ray?" tanyaku bersemangat. Karena gadis ini anak perempuan Kandi, perempuan ajaibku, maka rasa heran atau terkejutku segera berlalu, yang tersisa hanya merasa sangat penasaran dengan jawaban Ray.
"Kau minta aku mengajarimu sesuatu. Aku baru saja mengajarimu memeluk…" jawabnya dengan wajah lucu menggemaskan. "Tapi… itu…." aku sulit membahasakan rasa penasaranku tentang pelukan tadi. Apa yang ingin aku ketahui dari keajaiban pelukannya tadi sepertinya sudah siap diluncurkan mulut mungil Ray kepadaku, ketika tiba-tiba terdengar suara Dayu di belakang kami.
"Ia mengajarimu menyembuhkan luka batin…"
Aku menoleh ke belakang, melihat Dayu melipat kedua tangannya di dada, dan matanya menatap Ray bangga dan penuh cinta. Dayu lalu menceritakan padaku bagaimana dulu ia datang dengan sejuta luka batin menganga yang siap untuk tidak sembuh, menikmati semua kepedihan batinnya dan pasrah menyambut kematian. Namun, Ray memeluknya seperti tadi. Gadis itu menyembuhkan luka batin Dayu dengan pelukan.
"Sebenarnya Kandi yang mengajari Ray memeluk. Namun, Ray punya cara tersendiri; ia melakukannya sambil melafazkan doa, Kandi tidak..." ujar Dayu sambil berlari memeluk Ray. Gadis itu menyambut pelukan Dayu dengan ceria, mereka lalu berpelukan dengan hangat. Saat itulah aku melihat dari kedua telapak tangan Ray muncul semburat cahaya keunguan yang indah. Yang bergerak ke seluruh tubuh Ray, lalu mengalir turun ke kaki dan masuk ke dalam tanah yang dipijak Ray, kemudian muncul kembali ke permukaan tepat di bawah telapak kaki Dayu, menjalari seluruh tubuh Dayu dalam bentuk garis-garis cahaya ungu berlarian di seluruh bagian tubuhnya, dan berakhir dengan kembali berlarian dengan cepat ke bagian dada kiri Dayu; seperti masuk ke dalam jantungnya dan berhenti di sana. Kusadari, itu juga yang pasti terjadi padaku saat Ray memelukku tadi.
"Ray, bagaimana kau melakukannya?" desakku.
"Kau harus tak beralas kaki dan sering-sering membiarkan tanah baik memberimu kekuatan baik. Lalu saat memeluk, pastikan kita tidak menuntut apa pun pada yang kita peluk, hanya memeluk, tanpa keinginan untuk mendapatkan pelukan balasan. Jangan lupa doanya harus tulus, bukan karena kita ingin disebut orang saleh yang berbuat baik dengan mendoakan orang lain..." jelas gadis manis itu dengan suara meyakinkan. Ia tidak terdengar sedang menyombongkan diri dan aku merasa harus mengikuti sarannya itu.
"Bagaiamana kau tahu tanah yang kau pijak itu tanah baik?" tanyaku pada Ray. Gadis itu sepertinya tidak mendengarnya, karena sedang tertawa-tawa riang bersama Dayu.
Pada saat yang sama, aku tak tahu bagaimana Ray bisa berbicara dengan pengetahuan sebanyak itu. Namun, ia anak Kandi, tentu saja aku seharusnya tak perlu heran.
"Ajari aku, Ray!" pintaku. Gadis itu mengangguk dengan riang, dan menghambur memelukku lagi. Seandainya ia adalah anak kandungku.
Gadis kecil seceria dan sekreatif Ray, membuat "corolla" dari bunga-bungaan, biji-bijian, rempah-rempah, dan bebatuan kecil; hanya untuk menghibur binatang-binatang liar dan pepohonan… orang tua seperti apa yang melahirkan anak gadis seperti itu?
Lalu Langit, bocah lelaki kecil itu tidak terlihat se-menakjubkan kakak perempuannya, tetapi dia bayi lucu yang amat menyenangkan. Melihat wajahnya, saat dia tertawa atau berbicara, atau bersenandung menirukan ibu dan kakak perempuannya; kita akan dirasuki perasaan damai dan tenang. Langit juga memiliki sepasang mata yang cantik membius. Aku bisa berlama-lama memandangi wajah bocah lucu itu, dan dia tidak keberatan. Ray dan Langit membuatku penasaran pada lelaki beruntung yang menjadi ayah mereka. Siapakah dia? Apakah dia juga damchi seperti Kandi?
Entah mengapa, aku enggan menanyakan langsung pada Kandi soal itu. Padahal kami sering berduaan mengobrol panjang lebar tentang semua hal; masa kecilku, masa laluku, semua tentangku… sedikit tentang momen-momen lucu Kandi bersama Ray, Langit, atau Dayu. Namun, tak pernah soal siapa ayah Ray dan Langit. Aku tidak berani bertanya, dan Kandi juga tak pernah menceritakan siapa lelaki hebat itu, kecuali menyebut namanya sekali ketika aku bertanya siapa yang membangun pondok menakjubkan yang ia sebut Bivan itu. 'Lamaar, ayah Ray dan Langit…' katanya dulu. Melihat Ray dan Langit, aku merasa ingin tahu lebih banyak siapa Lamaar. Maka, aku pun bertanya pada Dayu.
Perempuan baik hati itu sedang memasangkan beberapa bunga kecil di baju Ray ketika aku duduk di sampingnya dan berbisik, "Maukah kau berbaik hati menceritakan tentang Lamaar kepadaku?" Bodohnya aku, yang kukira bisikan amat lirih itu ternyata terdengar jelas oleh Ray.
"Mengapa kau bertanya tentang dia kepada Dayu? Dayu tidak mengenalnya sama sekali. Dia sudah lama pergi sebelum Dayu datang ke Angkak!" seru Ray. Gadis pintar ini mengangkat satu tangannya ke arah langit saat menyebut 'sudah lama pergi'... aku langsung berprasangka Lamaar juga damchi seperti istrinya. Belum hilang terkejutku mendengar Ray menyebut ayahnya dengan kata 'dia', gadis itu mendekat dan langsung duduk di pangkuanku.
"Apa yang ingin kau ketahui tentang Setaholdo?" tanyanya sambil merangkulkan tangannya di bahuku.
"Setaholdo?" buruku. Ray tertawa kecil melihat wajah keherananku. Ia mengecup pipiku gemas, lalu menjawab,
"Iya, Setaholdo. Langit dan aku memanggilnya dengan sebutan itu!" ujarnya riang. Julukan yang mungkin pengganti sebutan 'Bapak" atau 'Ayah,' begitu yang kupikirkan. Lalu Ray menceritakan siapa Lamaar baginya dan adik lelakinya. Ia benar-benar mencintai dan menghormati lelaki beruntung itu. Kandi telah membesarkan kedua anaknya dengan baik. Ray bahkan tidak terlihat bersedih ketika menceritakan bagaimana Lamaar mengalami kecelakaan di atas gunung karena ada pesawat yang jatuh tepat di atas kepalanya saat mencari anggrek hutan untuk Kandi.
Aku tak sanggup menahan air mata ketika Ray menceritakan semua itu padaku dengan wajah tetap berbinar ceria. Apakah gadis ini tak merasa sedih atas kematian bapaknya?
Tanpa kusadari Kandi sudah ada di belakangku dan menjawab pertanyaan yang mengganggu pikiranku itu.
"Ray, seperti kami semua, percaya bahwa Lamaar kini berada di tempat yang lebih baik dan lebih indah dari Angkak karena kebaikan hati dan semua perbuatan baik yang dilakukannya. Kami yakin ia berbahagia sekali sekarang, dan itu sebabnya kami tidak bersedih. Suatu saat kita semua akan menyusulnya…" jawab Kandi sambil tersenyum. Ray lalu mengangguk-angguk senang menyepakati ucapan ibunya. Mereka semua tidak takut mati dan tidak meratapi kematian. Aku semakin terpesona.
Belajar banyak hal dari Ray dan menghabiskan banyak waktu bersamanya sama mustajabnya dengan pelukannya yang menyembuhkan itu. Aku menempatkan Angkak sebagai rumahku, dan "rumah"-ku yang berupa apartemen itu hanya "ruang ganti mewah" pada hari dan jam kerjaku saja. Keasyikanku berubah. Tidak lagi meminta Kandi untuk membawa ke sudut-sudut dunia yang misterius dan tak terjamah manusia.
Selesai "bekerja" sebagai selebriti internasional bernama Armein Khai, aku akan meminta Kandi membawaku ke Angkak untuk tidur di atas rumput beratap langit berpelukan bersama Kandi, atau sekadar bermain mengejar binatang-binatang kecil yang lucu bersama Langit, atau mempelajari banyak keterampilan menakjubkan dari Ray, atau membuat banyak eksperimen masakan bersama Dayu. Semua itu tak mampu membuat aku yang mudah bosan ini menjadi bosan. Ajaib, bukan?
Susah kujabarkan mana yang telah memenangkan hatiku; suasana Angkak yang seperti di dalam buku cerita anak-anak, dengan binatang jinak dan pohon buah-buahan di sana sini, serangga-serangga cantik, tawa Langit, kepandaian Ray, atau momen makan bersama mereka semua dan Kandi di sampingku.
Nana pernah menceritakan padaku tentang "rumah"—tempat yang menurut Nana bukan tentang ia berada di mana atau benda-benda yang membentuknya seperti genting, pintu, atau jendela. Semua itu tidak akan bertahan lama dalam ingatan. Catnya bisa diganti, bentuknya bisa digantikan, dan kita akan baik-baik saja ketika semua benda itu berganti. Yang menjadikan sebuah tempat itu rumah adalah bagaimana hati kita bekerja saat berada di tempat itu. Apakah kita merasa ingin pergi atau sebaliknya, tak pernah ingin pergi.
Tak ada kamera tersembunyi, atau kemungkinan ada kamera drone yang tiba-tiba menghampiriku. Tak ada bunyi telepon dan bel notifikasi. Seandainya tidak ada jadwal padat yang menjadi tanggung jawabku pada Kharisma dan manajemenku, aku juga tak ingin pergi meninggalkan Angkak.