Chereads / Hati Yang Melangit / Chapter 28 - Armein 14

Chapter 28 - Armein 14

Kulepaskan pelukan, dan kudorong tubuh Binar menjauhi tubuhku, untuk melihat wajahnya yang tampan memesona itu berlinangan air mata dan sembap. Perlu kupastikan apakah itu air mata yang sama yang dia berikan kepada kamera dan saluran videonya. Binar mungkin keheranan karena tidak ada air mata di wajahku, dia berhenti terisak. Menatap mataku lama, seperti ingin menebak isi kepalaku dan bertelepati seperti yang biasa kami lakukan. Tapi sepertinya hari ini telepati kami tidak berfungsi. Binar telah mematikan fungsi ajaib tatapan mata kami dengan mengatakan bahwa 'dia tetap mencintaiku asalkan tak ada seorang pun yang tahu.'

"Kau ingin kita bunuh diri saja, Armein?" tanyanya. Matanya menghunjamkan tanya ke dalam mataku. Ternyata dia masih bisa membaca luka hatiku. Dia tahu betul apa yang menyebabkanku tidak mampu meneteskan air mata; marah dan kecewa yang sangat kuat menekan dadaku sehingga tak ada energi tersisa untuk menangis. Padahal aku termasuk lelaki yang sangat mudah menangis.

"Kau lebih bahagia kalau kita bunuh diri?" kulemparkan pertanyaan yang sama padanya.

"Kau ingin aku melakukan apa?" tanyanya lagi. Kedua lengannya bergerak-gerak seolah ingin memelukku. Tapi aku tak bisa merasakan apa-apa di tubuhku; tak ada keinginan apa pun. Aku masih dibekukan oleh kalimatnya tentang 'asalkan tak ada seorang pun yang tahu.'

Aku ingin sekali berkata padanya, bahwa seharusnya apa yang sudah kami alami berdua dalam 5 tahun terakhir bisa membuatnya berpikir lebih pintar dari sekadar bertunangan dengan perempuan yang disodorkan ibundanya. Kecuali kalau dia memang mencintainya. Dan tentang tak ada orang lain yang boleh tahu, bukankah selama ini kita melakukan itu semua; menutupinya dari dunia. Mengapa batasan itu tidak membebaniku sama sekali bertahun-tahun, karena Kharisma yang mengatakannya, tapi jadi terasa sangat menyakitkan karena mulut Binar yang mengeluarkan larangan itu.

"Armein…. Apa yang kita miliki sangat indah. Bahkan teramat sangat indah. Tak ada yang melebihinya…" Binar mematung ketika mengatakannya. "Tapi kita semua terpenjara kenyataan… ibuku, aku tidak bisa menghilangkannya dari kenyataanku." lanjutnya.

"Kita tidak nyata?" tanyaku.

Binar diam. Air matanya mengalir deras. Aku tetap mematung seperti sesuatu telah membekukan seluruh sendi dan syarafku, tak mampu menangis, tak mampu menggerakkan apa pun; satu jari tangan pun. "Armein, aku mencintaimu… tapi cinta kita akan melukai semua orang di sekitar kita. Tidak bisakah kita tetap menjalaninya diam-diam, dan kau rela membiarkanku memiliki dua dunia; satu denganmu, dan dunia lainnya yang kupersembahkan untuk ibuku?" Binar mengatakan semua itu sambil terisak. Tubuhnya berguncang-guncang, bergoyang ke kiri ke kanan; kebalikan dari tubuhku yang tegak kokoh mematung tak bergerak seinci pun.

Tangis Binar dan semua yang dikatakannya terasa seperti ratusan rudal kecil yang sengaja ditembakkan kepadaku seperti ratusan anak panah yang menghujani Leonidas di penghujung pertempurannya. Seperti Leonidas, juga aku tak menangisi kehancuranku, hanya mengingat bagaimana Binar pernah menjadi bagian yang paling berarti dalam perjuangan hidupku bertahun-tahun berada dalam penjara kemasyhuran.

Bayangan semua tawa dan pelukan yang mengakhiri setiap petualangan kami untuk bisa bertemu secara sembunyi-sembunyi selama 5 tahun, bayangan Binar mempertaruhkan semuanya hanya untuk menemaniku yang tak mampu beranjak dari ranjang kematian Nana, semua sinyal-sinyal bahasa tubuh yang sengaja dia kirimkan untukku ketika berada dalam hujan lampu sorot dan panggung, semua bahasa rahasia yang kami ciptakan sendiri untuk kebahagiaan kami berdua. Binar adalah energi hidupku. Dan sekarang dia sedang mengucapkan selamat tinggal padaku.

"Katakan iya, Meinchi… katakan kau menyetujuinya!!" tuntutnya.

Binar membentangkan kedua tangannya memintaku menghambur ke dalam pelukannya. Tapi tubuhku seperti terpaku di tempatku berdiri. Aku menatap Kandi, mengharapkan bantuannya.

Dari kejauhan, perempuan ajaib itu membuat gerakan seperti memeluk, lalu mencium udara. Setelah itu ia membuat gerakan seperti orang membasuhkan air ke wajah dengan kedua tangan, lalu kedua tangannya diletakkan di atas dada kirinya sambil tersenyum. Ia ingin aku melakukan itu. Aku melakukan apa yang Kandi contohkan.

Aku merasa Kandi memberi tahuku bagaimana cara terbaik untuk mengakhiri malam yang mengerikan ini. Kuangkat perlahan kedua tanganku; kini aku yang mengundang Binar ke pelukanku. Dia langsung menghambur dan tangisnya semakin kencang. Kupeluk erat tubuh kekasihku, tangan kiriku mencengkeram kepalanya yang menangis di bahu kiriku. Beberapa tahun yang lalu, di depan jenazah Nana, Binarlah yang mencengkeram kepalaku dan membenamkannya di dada kirinya. Kini aku melakukan hal yang sama padanya.

"Apa pun yang kau inginkan dariku, Sayang… akan kulakukan."

Isakannya semakin kencang bercampur "I love you, Meinchi…" yang terbata-bata. Aku mencium pucuk kepalanya, lalu kuangkat kepalanya. Sambil menatap matanya yang basah, kutangkupkan kedua tanganku ke wajahnya untuk menghapus semua air mata di wajahnya. Lalu kedua telapak tanganku yang basah oleh air mata Binar itu kupakai untuk mengusap wajahku.

"Air matamu itu tangisku, Bin…" kataku sambil meletakan kedua tangan di dada kiriku. Tepat seperti yang dicontohkan Kandi tadi. Binar menatapku dengan tatapan nanar, lalu tubuhnya luruh ke lantai tak sadarkan diri.

Setelah membaringkan Binar di atas ranjangnya di Namsina, aku meminta Kandi membawaku ke Bivan. Kandi lalu membaringkanku di atas kasur bulu empuk seperti seorang ibu membaringkan anaknya yang lelah lahir batinnya. Tak ada kata-kata menenangkan, pepatah, atau apa pun, hanya membaringkanku dan diam menunggu.

Sadar jika Kandi bisa membaca apa yang kupikirkan, kupejamkan mataku dengan sekuat tenaga. Aku tak ingin Kandi pergi, meskipun aku tak tahu apakah aku akan jatuh terlelap atau tidak. Aku ingin Kandi tetap di sini bersamaku, dan aku tahu Kandi akan melakukannya meskipun aku tak mengatakan sepatah kata pun.

Memejamkan mata dan berusaha tertidur tidak pernah sesulit ini. Dadaku sakit, tapi aku tak bisa merasakan tubuhku.

"Menangislah, Armein…" Kandi mengusap-usap kepalaku. Tiba-tiba saja kepalaku sudah berada di pangkuannya, dan aku memang butuh menangis. Mungkin rasa sakit di dada dan kelopak mataku akan hilang kalau air mataku tumpah. Kupandangi wajah Kandi di atasku, kubaca sorot matanya. Ia sepertinya tahu betul betapa sakitnya aku.

"Armein… bersedihlah, marahlah, lepaskan…" pintanya. Aku bangkit untuk bisa bernapas lebih lega. Tapi duduk juga tidak membantu melepaskan sesak dan sakit di dadaku. Aku berbalik menghadap Kandi yang masih duduk menunggu perintahku. Wajahnya terlihat menahan sesuatu, mungkin ia tertular kesedihanku dan ingin menangis juga. Namun, tentu saja Kandi tidak akan menangis sebelum kuminta?

"Peluk aku, Kandi…" pintaku sambil menghambur ke dalam pelukan perempuan ajaibku. Kusadari saat itu, tanpa keberadaan Kandi, apa yang dilakukan Binar kepadaku akan membunuhku. Benar-benar mengakhiri hidupku.

Kandi berada di ruangan yang sama ketika Binar menusukkan pedangnya tepat ke jantungku, membuat pedang itu menembus batu karang. Pelukan hangat Kandi dan degup jantungnya di dadaku adalah ombak yang memecah. Batu karang itu hancur, luruh. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Kandi. Tidak hanya air mata yang tertumpah tapi juga raungan kesakitan yang panjang kuloloskan dari dadaku. Entah berapa lama.

Setelah raunganku mereda, aku merasakan Kandi mencium kepalaku perlahan; ciuman itu menghentikan tangisku.

"Binar selama ini tak mencintaiku sebanyak aku mencintainya, Kandi…" Kandi mencium kepalaku lagi. "Dia tidak memilihku…" aku mendekap Kandi semakin erat. Ia membiarkan tubuhku melakukan apa pun yang ingin kulakukan pada tubuhnya saat itu. Ia membiarkanku meluapkan marah dan sedihku, menceracau memaki dan mengerang, menangis dan menjerit, mencoba menggigit diriku sendiri, lalu menggigiti Kandi untuk meluapkan sakit di dadaku.

Tak sedikit pun perempuan itu mengaduh atau mencegahku melakukan semua yang kulakukan pada tubuhnya. Setiap kali tangisku pecah atau raungan kesakitan lolos dari tenggorokanku, yang Kandi lakukan hanya mencium lembut pucuk kepalaku sebagai responsnya.

"Jawab aku, Kandi! apa aku memang tak layak untuk dicintai?" tanyaku kalap, mencengkeram wajahnya dengan sekuat tenaga. Kandi memandangi wajahku dengan penuh kasih. "Apa kau mencintai Binar karena kau ingin dicintai olehnya? Itukah yang kau lakukan selama ini?"

Aku terdiam mendengar apa yang Kandi katakan itu. Tak mampu aku menjawabnya, perasaanku terguncang mendengar pertanyaan itu, melebihi rasa terguncangku mendengar semua pengakuan Binar. Kandi belum setahun mengenalku, tapi ia melakukan segala yang kuperintahkan tanpa membantah sedikit pun. Membawaku ke mana pun aku mau, jam berapa pun, sampai berapa lama pun.

Tidak kudengar sepatah kata bantahan atau wajah lelah atau sekadar sorotan mata protes darinya. Apa yang bisa membuat orang melakukan hal seperti itu? Terlepas dari kenyataan apakah Kandi seorang manusia seperti aku atau bukan, ia melakukan semuanya untukku sepenuh hati. Padahal ada dua orang anak yang memerlukan totalitas dan kasih sayangnya; Ray dan Langit, dan ada Dayu yang sepertinya menghamba padanya. Namun, Kandi selalu membuatku merasa diistimewakan olehnya, meski aku tidak merasa diriku tidak lebih penting dari Ray, Langit, atau Dayu.

Di setiap kebersamaan kami, aku merasakan Kandi hanya mengutamakan dan mendahulukan semua kepentinganku. Tidakkah ini berarti ia mencintaiku tanpa batas? Tidakkah ini cinta? Apakah ini cinta yang dipertanyakannya tadi, bahwa ia hanya mencintaiku saja, tak peduli apakah aku akan membalas cintanya atau tidak. Aku seperti baru tersadar dari koma.

"Binar sangat mencintaimu. Kau tak mungkin meragukannya. Namun, pada beberapa hal, seperti saat memamerkan hubungan cinta kalian... itu melukainya terlalu banyak…" aku tidak bertanya dari mana Kandi mengetahui semua itu. Tentu saja saat kami di Namsina; saat tubuhku membatu sedikit demi sedikit sampai ke jantungku, Kandi tidak hanya mendengar apa yang kupikirkan, tapi juga apa yang Binar pikirkan. Aku merasakan seluruh pori-pori di tubuhku terbuka menyadari bahwa saat ini juga aku bisa mengetahui apa sebenarnya yang berkecamuk di kepala Binar dari mulut Kandi. Ia pasti mengetahui semuanya.

Kandilah kunci semua kebenaran yang kubutuhkan malam ini. Aku tak perlu mengeringkan seluruh cairan yang mengalir di dalam tubuhku hanya untuk mencari tahu kebenaran dan alasan Binar melakukan semua ini padaku. Aku ingin Kandi menceritakan semua yang ia "dengar" dari kepala Binar, tapi aku juga takut semua informasi itu akan melukaiku lebih dalam, dan menghentikan napasku. Bagaimana kalau jantungku berhenti berdetak begitu Kandi menceritakan semua kebenarannya?

Bayangan Binar menangis dengan tubuh bergetar masih belum hilang, dan aku masih belum ingin berpikir positif tentang semua itu. Tidak bolehkah aku meraung-raung memprotes ketidakadilan yang Binar timpakan pada hatiku saat ini? Tak peduli senegatif apa pun itu? Kandi sudah melakukannya; membiarkanku meraung, menggigit, memukul, dan semua kemarahan yang bisa diungkapkan tubuhku tanpa harus disaksikan langsung oleh Binar. Tapi mungkin hati ini tidak akan puas tanpa Binar sendiri yang menyaksikan langsung betapa hancurnya aku.

"Dia tadi menantang untuk melakukan bunuh diri, Kandi! Tak tahukah dia bahwa dia sudah membunuhku lebih dulu?!" teriakku. Saat berteriak itu, tubuhku tanpa bisa kukendalikan berdiri dengan wajah menatap langit—kebodohanku mengira suara yang kuteriakkan ke langit akan sampai ke telinga Binar. Sebelum energi kemarahanku menaikkan tubuhku lebih tinggi, napasku hilang. Aku jatuh seperti seekor burung yang mati seketika saat membentangkan sayapnya di udara.

"Kau terlalu mencintainya untuk meluapkan kemarahanmu, Armein. Tak usah berperang dengan dirimu sendiri. Tidurlah… aku akan di sini menemanimu." Kandi mengusap-usap kepalaku lagi dengan halus. Aku merengkuh tubuhnya mendekat, lalu mendekapnya erat-erat. "Jangan pergi, Kandi…jangan tinggalkan aku…" pintaku mengemis kasih sayangnya. Tentu saja ia mengangguk dan kembali mencium kepalaku.

"Binar juga mencintaimu. Kau harus tahu itu… dia sangat tersiksa batinnya tadi. Dia tak ingin menafikanmu, tapi kehidupan kalian yang rumit membuatnya kesulitan menjalankan semuanya tanpa mengorbankan salah satu. Kau pasti juga tidak akan rela melihatnya mengorbankan ibu dan keluarganya untuk hidup yang kalian inginkan, bukan? Kau pasti tidak akan tega melihat penderitaan batinnya nanti kalau Binar mengorbankan kebahagiaan ibunya demi kalian. Binar melihatmu dan keistimewaan hatimu, dan dia sudah tahu bahwa kau tak bisa berbahagia di atas penderitaan siapa pun. Binar memikirkan itu semua; bagaimana hidup kalian akan jauh lebih menyakitkan." Kandi menceritakan semuanya tanpa kuminta.

Tanpa melepaskan pelukanku di tubuh Kandi, aku membuat keputusan yang terasa sangat keras dan menyakitkan.

"Aku tidak bisa berhenti mencintainya, Kandi. Dia adalah kekasihku yang hatiku izinkan untuk mengubah apa pun dalam hidupku. Kau baru saja menyadarkanku, Kandi… aku memang terlalu mencintainya. Aku akan terus mencintainya sampai aku mati. Biar saja dia memiliki kehidupan baru dengan perempuan yang membahagiakan ibu dan keluarganya. Itu membuat hidupnya lebih mudah, bukan? Kalau begitu, aku ingin dia memiliki kehidupan itu seutuhnya, dan aku akan tetap mencintainya."

Kurasakan kedua tangan Kandi dan ketujuh selendangnya memeluk tubuhku dan menghangatkan jiwaku. "Kau akan memenjarakan hati dan perasaanmu, Armein…" ucapnya sambil mengecup pucuk kepalaku yang mengangguk-angguk mengiyakan apa yang dikatakannya, sambil memuntahkan semua tangis yang menyesakkan dada.

"Jangan tinggalkan aku, Kandi…. Jangan pernah tinggalkan aku…." aku terus mengemis belas kasihan perempuan ajaib ini. Sesuatu di dalam hatiku berkata bahwa aku akan terus melakukannya. Mungkin sepanjang hayatku.

"Aku akan selalu ada untukmu sampai kau mati, Armein…" balasnya.