Ada yang berbeda melihat Kandi tertawa.
Bersamaku, ia terlihat tertawa seperti sahabat baik yang dengan tulus ikut bersuka cita dengan apa yang membuatku bersuka cita; sementara ketika bersama kedua buah hatinya, Ray dan Langit; ia tertawa seperti bidadari, begitu indah dan menyenangkan untuk dipandangi lama-lama.
Tiba-tiba saja aku merasa iri. Aku ingin Kandi tertawa bersamaku seperti saat ia tertawa bersama Ray dan Langit. Tawa Kandi tidak seperti tawaku yang kata orang-orang mudah menulari orang lain yang melihatnya. Sebagian besar orang mengaku akan serta-merta ikut tertawa denganku ketika aku tertawa. Itu sebabnya mereka sebut tawaku menular. Namun, dengan Kandi, aku merasa jauh berbeda.
Dayu misalnya. Perempuan pengasuh anak-anak Kandi yang selalu terlihat memandangi Kandi seperti seorang kekasih yang sangat dipujanya itu. Ia dan aku tidak akan mudah tertular tawa Kandi. Ray dan Langit mungkin akan langsung tertawa melihat ibunya tertawa.
Tapi aku dan Dayu akan terdiam mematung, sepenuhnya meresapi tawanya; dan kami berdua seakan berusaha keras menahan diri untuk tidak ikut tertawa dengannya karena takut tawa kami akan mencederai tawa indah Kandi.
Namun, kemudian Kandi akan berhenti tertawa kalau melihat kami tidak ikut tertawa. Maka aku dan Dayu melatih keterampilan yang sama. Kami berusaha tidak berada dalam arah pandangan mata Kandi saat ia tertawa, sebisa mungkin selama mungkin menikmati wajah Kandi tertawa. Jika pandangan matanya beralih pada kami, tiba-tiba saja urat tertawa kami hidup dan ikut tertawa bersamanya. Bukan karena tawa Kandi menular seperti tawaku, tetapi karena kami tidak ingin membuatnya berhenti tertawa gara-gara Kandi melihat kami tidak ikut tertawa bersamanya.
Aku dan Dayu, aku tak tahu apakah kami berteman atau rival. Namun, menurutku, kami saling mempelajari satu sama lain, hanya karena kami berdua saling menginginkan apa yang membuat Kandi bereaksi kepada kami. Beberapa kali bertemu dengannya di Angkak, aku hampir yakin kalau Dayu sangat mencintai Kandi seperti Binar mencintaiku.
Namun, melihat bagaimana Kandi memperlakukan Dayu, aku merasa Kandi lebih mencintaiku daripada Dayu. Namun, kesimpulan itu muncul di kepalaku bersama keraguanku menerima sikap Kandi yang tak pernah menolak atau berkata tidak padaku, sekaligus terlihat tidak menginginkanku. Pikiran yang membuatku bertanya-tanya apakah Kandi punya hati?
Sialnya, Kandi pernah mendengar pikiranku itu ketika kami di Angkak. Alih-alih memberiku jawaban, ia malah tertawa lebar lagi sambil mengacung-acungkan telunjuknya padaku. Aku tak memahami gesturnya itu.
"Kandi, kau bisa memotret?" tanyaku. Ia mengangguk sambil tersenyum. Ah, tentu saja. Kandi bisa segalanya. Mengapa aku harus bertanya. Aku seharusnya tidak lagi mempertanyakan apa yang bisa atau tidak bisa Kandi lakukan. Dengan kemampuan supernya seperti itu, apa yang tidak bisa dilakukannya? Mencintaiku seperti aku yang kuinginkan, misalnya. Bisakah ia?
Aku dan Kandi lalu melakukan semua proyek gila itu. Mendatangi perempuan-perempuan cantik di beberapa belahan dunia lain hanya untuk berfoto berdua atau membuat setengah menit rekaman video, sedikit agak mesra untuk memancing praduga.
Aku merangkulkan tangan ke pundak atau pinggang mereka, atau memandangi dengan sorot mata bernafsu ke wajahnya. Aku sudah ahli melakukan itu semua, dan meski tidak sempurna, tapi Kandi fotografer yang baik, tentu saja. Ia bisa mengambil dari berbagai sudut pandang yang fotografer ahli sekalipun belum tentu bisa melakukannya tanpa bantuan alat.
Menurutku, apa yang diminta Binar bisa kulakukan dengan mudah. Hanya beberapa hari saja, aku sudah bisa mengumpulkan banyak foto dan video kemesraanku dengan banyak perempuan cantik dengan banyak latar dan baju yang berbeda, yang pasti meyakinkan publik bahwa aku memang menggemari perempuan cantik.
Aku tidak merasa berat melakukan semua itu, karena tiba-tiba saja beban berat yang ditimpakan Binar padaku kini lebih terasa sebagai proyek yang menyenangkan yang kukerjakan bersama Kandi. Baru setelah semua hasil kerja seru kami itu terpublikasi, aku memeriksa semua media sosialku.
Meskipun aku melihat betapa hebohnya publik dan penggemarku mengomentari foto dan videoku dengan banyak perempuan, ada kabar lain yang hampir sama menghebohkannya. Aku melihat foto-foto dan rekaman Binar bersama Lisa. Aku tertegun melihat tawa dan sorot mata Binar pada Lisa. Aku cemburu, tetapi terpesona. Aku melihat sisi lain Binar yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Binar yang amat berbeda. Aku hampir tak mengenalinya. Namun, kemudian aku ingat bahwa semua ini skenario Binar. Dia yang membuat konsepnya, tentu saja dia harus berakting lebih bagus dariku. Aku memandangi dan menontonnya berjam-jam; berulang-ulang; untuk meyakinkan diriku sendiri kalau itu semua adalah akting Binar belaka.
"Kau bukan meyakinkan dirimu sendiri, Armein. Kau harus terus menontonnya karena dari lubuk hatimu sendiri kau tak mau memercayainya…" kata Kandi merevisi apa yang kupikirkan.
Ya, Kandi benar. Ia tahu betapa galaunya pikiranku melihat pemandangan tadi. Aku mungkin tak sanggup untuk memercayai apa yang kulihat. Tapi mungkin itu juga yang terjadi dan dialami Binar ketika melihat foto atau rekamanku dengan sembarang perempuan. Tapi aku dan Binar sudah berada di titik ini sejak bertahun-tahun yang lalu; titik ketika kepura-puraan dan kesungguhan sulit kami bedakan karena semuanya mengandung konsekuensi yang tidak ringan.
Binar dengan idenya mengaburkan opini publik tentang kami, bukan sesuatu yang asal-asalan dipikirkannya. Ia pasti sudah sangat serius memikirkan semua ini. Aku tidak berempati pada keseriusannya menggarap skenario proyek ini karena aku menikmati prosesnya bersama Kandi. Semua kemudahan yang kami rasakan membuat aku tidak tahu apakah aku sudah berakting dengan baik atau tidak. Lebih tepatnya, aku tidak peduli.
Tapi gambar dan rekaman dari media tidak memuaskan batinku. Aku mungkin akan tidur nyenyak dengan kedamaian di dalam hatiku kalau aku bisa melihat langsung apa yang dilakukan Binar bersama perempuan bernama Lisa itu. Sekejap saja Kandi langsung membawaku ke tempat Binar berada; sebuah resort mewah di mana rumah produksi sepertinya sedang mengerjakan satu film pendek.
Aku seharusnya tidak usah menebak bahwa Lisa akan terlibat dalam proyek film itu karena memang itulah yang sedang terjadi. Mereka menyiapkan setting makan malam romantis di tepi jurang dengan pemandangan alam yang luar biasa. Lisa berpakaian sangat indah dan ia terlihat sangat cantik. Hiasan kepalanya menunjukkan bahwa Lisalah pemeran utama adegan yang mereka sedang jalankan di bawah sana. Ya, karena aku melihatnya dari atas. Kandi membawaku ke atas ketinggian pohon pinus yang melingkari resort.
Kandi berkali-kali menatap tajam ke dalam mataku. Aku tak memahami maksudnya. Ia mungkin bertanya atau memberiku peringatan, atau karena ia tidak memahami adegannya. Namun, yang kami saksikan bersama adalah… tebakanku; adegan sebuah promo iklan resort yang bisa digunakan untuk acara makan malam romantis atau pesta keluarga sejenis itu.
Aku melihat jelas Binar dengan kostum biru mudanya berjalan perlahan, tangan kanannya menggenggam tangan kiri Lisa. Perempuan yang diidamkan orang tua Binar untuk menjadi istrinya. Aku tidak akan capek-capek mempertanyakan bagaimana ia mendapatkan peranan utama dalam proyek Binar ini.
Ada Kharisma di sana, dan tentu saja sibuk dengan teleponnya. Sesekali Kharisma terlihat cemas dan melihat ke belakang dan ke arah utara, di mana tamu-tamu resort berdatangan. Lalu ia sibuk juga memerintahkan beberapa cameraman untuk bersiap di sudut-sudut tertentu. Aku penasaran siapakah sutradaranya.
"Kau ingin mendekat, Armein?" tanya Kandi tiba-tiba. Tentu saja. Namun, entah mengapa kepalaku menggeleng. Mungkin karena aku mendengar suara Kandi saat bertanya padaku terdengar ragu dan terlalu lirih. Ia ragu-ragu. Aku juga.
Memandangi dari ketinggian membuatku tak bisa melihat dengan jelas cahaya mata Binar. Aku dan Binar berada di dalam dunia yang penuh strategi peran dan modifikasi perilaku-perilaku sesuai benefit yang kami inginkan. Namun, cahaya mata dan getaran yang timbul saat tubuh berdekatan, tidak akan pernah bisa dimanipulasi dengan cara apa pun.
Aku tahu benar soal itu, begitu pun Binar. Itu sebabnya juga Binar akan selalu memegangi kedua sisi pipiku dan mengunci pandangan mataku ke matanya setiap kali dia menanyakan sesuatu yang sangat serius padaku atau mencurigaiku berbohong padanya. Ajakan Kandi untuk mendekati mereka berarti aku harus menempelkan batu hijau di tanganku ke tengkuk Kandi; melakukan biyijun—begitu Kandi menyebutnya.
Itu tidak menjadi masalah bagiku, tapi dengan begitu aku bisa melihat cahaya di mata Binar tanpa si pemilik mata tahu. Apakah aku benar-benar menginginkannya? Untuk apa? Toh, itu hanya shooting biasa saja; yang aku juga sudah sering mengalaminya. Namun, siapakah sutradaranya? Apakah seseorang yang kukenal baik?
Sebelum mataku mampu menangkap bayangan segerombolan kru yang mengerubungi monitor dengan satu orang yang siap dengan pengeras suara di tangannya; pikiranku sudah teralihkan untuk melihat adegan berikutnya. Binar mencium tangan Lisa dan menyematkan cincin ke jari manis tangan kanan gadis itu. Lalu terdengar orang-orang bertepuk tangan, dan beberapa orang yang tadinya berdiri agak jauh di tepian taman berdatangan mendekat, salah satunya adalah ibunya Binar.
Aku terkesiap. Apakah ibunya Binar juga dilibatkan dalam produksi ini? Aku terdiam dalam kebingungan. Kandi sepertinya membaca kebingunganku. Tepatnya mendengarnya.
"Ayok, kita kembali ke Bivan, Armein!" ajak Kandi. "No!" tukasku ketus. Aku tidak tahu apa alasanku menukas begitu dingin padanya. Kandi mematuhiku, ia hanya diam menungguku. Aku sendiri bahkan tak mematuhi hatiku yang sesungguhnya merasa ingin segera pergi dari pemandangan itu. Aku ingin meminta Kandi menurunkanku di tengah produksi di bawah sana, dan langsung meneriakkan nama Kharisma untuk mempertanyakan iklan yang sedang mereka buat itu; meluapkan penasaranku pada keterlibatan ibunya Binar di sana. Lalu kulihat mereka berfoto bersama, berkali-kali. Tidak kulihat ada penggemar Binar di sekitar mereka yang meminta untuk berfoto bersama; tampaknya tamu-tamu resort juga sedang berpesta ketika menonton produksi itu; mereka tampak berpakaian bagus dan rapi. Tapi apakah mereka benar-benar extras?
Lalu Binar benar-benar menggunakan set makan romantis di pinggir jurang diterangi lampu-lampu kecil di sekelilingnya, dan lilin di atas meja… untuk benar-benar makan berdua dengan Lisa. Apakah kameranya masih jalan? Tidak ada "cut' yang terdengar satu kali pun. Apakah makan malam berdua itu bagian dari skenario? Mengapa dari tadi tak ada jeda dalam pengambilan gambar?
"Armein, itu pesta mereka. Pestanya Binar…" tiba-tiba saja Kandi menghalangi pandanganku dan menatapku dalam-dalam sambil mengatakan kenyataan itu. Apa yang dari tadi kusaksikan bukanlah proses pengambilan gambar, itu adalah pesta yang sesungguhnya. Artinya Binar benar-benar mencium tangan Lisa dan menyematkan cincin di jarinya. Itu sebabnya ibunya berada di situ bersama anggota keluarganya yang lain. Itu semua tetamu Binar dan Lisa dan kedua keluarganya. Kandi sudah tahu sejak awal, itu sebabnya ia menawariku untuk mendekat.
Akhirnya aku memeluk erat Kandi, menyatukan batu hijau itu, biyijun... dan kami terbang mendekat. Aku ingin melihat langsung mata Binar saat berbicara pada Lisa di meja makan berhias dekorasi romantis itu. Aku melihatnya langsung. Dari dekat. Tanpa Binar mengetahui dan menyadari keberadaanku.