Pagi ini terasa segar, walaupun Raditya masih mengantuk. Dia harus segera bangun dan bersiap ke lokasi syuting. Raditya mandi, lalu turun ke ruang makan untuk sarapan.
Dia melihat beberapa kru, sutradara dan Venita sudah berada di sana. Ada yang tampak serius berbicara, ada yang tertawa saling melemparkan lelucon, ada yang diam menikmati makanan yang terhidang di depan.
Raditya mengelilingi ruang makan yang tidak terlalu luas, dia melihat menu yang dihidangkan pihak hotel. Bubur ayam dan pelengkapnya, berbagai macam roti dari mulai roti tawar sampai roti dengan isian, nasi goreng, mi goreng, soto dan pelengkapnya.
Raditya memilih makan dengan roti tawar, segelas susu dan meminta untuk dibuatkan sunny egg. Dari dulu Raditya tidak terlalu suka sarapan dengan nasi.
Dia memilih duduk disebelah Venita dan beramah tamah dengan gadis itu. Beberapa pasang mata memperhatikan dirinya. Tamu hotel berjenis kelamin perempuan melihat dirinya dengan tatapan penuh minat. Raditya sudah terbiasa ditatap seperti itu. Raditya yakin begitu dia selesai makan, perempuan-perempuan itu akan datang menghampiri untuk sekadar menyapa, minta tanda tangan atau foto bersama.
***
Venita tersenyum melihat Raditya saat laki-laki itu datang dan memilih duduk disampingnya.
"Pagi ini aku salah satu perempuan paling beruntung?"
"Kenapa bisa begitu?"
"Kamu tahu, berapa banyak perempuan yang berharap menggantikan tempatku untuk duduk di sampingmu."
"Hmmm..."
"Kok cuma hmmm? Perempuan-perempuan itu mengenal dan memujamu." Venita berkata lirih sambil matanya memandang ke suatu arah, tempat beberapa perempuan melirik Raditya sambil berbincang dan tersenyum.
Mengenal dan memuja? Venita belum mengenal seorang perempuan yang tidak mengenalinya. Perempuan itu...Rembulan, bahkan tidak menatapnya.
Raditya tersenyum mengingat pertemuannya dengan Rembulan. Mendadak hatinya jatuh rindu.
***
Rembulan memandang kosong pada laptopnya, pikirannya buntu.
Masakan sudah di tempat seperti ini dia masih saja mengalami writer's block.
Sudah berapa lagu cinta yang dia dengarkan saat menulis novel, agar membangkitkan mood, memberikan inspirasi. Tapi semua seperti terbawa angin saja. Novel cinta yang dia tulis seperti tanpa nyawa, hanya kalimat kosong. Dia ingin kalimat itu bisa membuat yang membaca novelnya merasakan cinta, marah, kecewa tokohnya apalagi dia menulis cerita tentang cinta. Rembulan menutup laptopnya.
Dia merasa frustasi, dia marah pada dirinya sendiri. Sudah datang ke tempat seperti ini, tidak juga bisa mengatasi kebuntuannya.
***
Seminggu kemudian
"Dit, nanti malam kita nongkrong sambil minum wedang jahe ya?Kamu kan belum pernah ikut?" Bang Ari sang sutradara bicara sambil menepuk punggung Raditya.
"Selesai syuting sudah terlalu malam Bang, makanya saya kemarin nggak ikut. Rasanya sudah ingin rebahan."
"Malam ini bisa ikut kan?"
"Iya Bang, bisa. Sudah bosan juga saya hanya memandangi kamar hotel." Raditya tertawa sambil menganggukkan kepala.
"Nanti ajak Venita juga ya?"
"Siap Bang!"
***
"Mbok, kalau saya keluar malam kira-kira aman nggak?" Rembulan bertanya pada Mbok Dar. Dia ingin mencari udara segar dimalam hari. Mungkin dengan begitu otaknya tidak buntu lagi dan dia bisa lancar menulis novel.
"Non Bulan mau kemana?"
"Cuma pingin makan atau minum di warung, Mbok."
"Kalau masih jam delapan malam, masih aman Non. Asal pulangnya nggak terlalu malam."
"Nggak Mbok, cuma sebentar. Saya butuh suasana baru." Rembulan melangkah ke kamar meninggalkan Mbok Dar di ruang tengah yang sedang menonton televisi.
Rembulan mengganti baju dengan pakaian yang lebih tebal dan memakai jaket. Dia berharap tidak tersesat, karena Rembulan bukanlah seorang yang cepat mengenali medan yang dilewatinya. Dia juga bukan pembaca peta yang baik.
Dengan mengendarai motor, Rembulan melewati jalan desa yang sudah mulus. Untunglah lampu jalan sangat terang, di pinggir jalan masih terdapat sawah. Dan sesekali terdengar suara kodok bersahutan, bagaikan paduan suara alam.
Rembulan melihat ada satu warung yang terlihat ramai, dia akan mampir disitu. Rembulan tidak perduli dengan menu yang dijual, dia hanya ingin duduk dan menikmati suasana yang ada.
***
Venita berjalan disamping Raditya. Sepanjang jalan mereka berdua bicara banyak hal. Sebenarnya Venita yang lebih banyak bicara, Raditya sesekali menimpali.
Dengan Venita, Raditya lebih suka menjadi pendengar yang baik. Kebetulan Venita memang mempunyai segudang cerita dari mulai hobi jalan-jalannya ke berbagai negara sampai gosip artis. Yang terakhir Raditya hanya bisa tersenyum kalau Venita mulai menceritakan artis si ini dan si itu, karena sejujurnya Raditya tidak terlalu suka membicarakan orang lain tapi dia juga tidak bisa mencegah Venita untuk bicara.
Bang Ari berjalan di depan mereka dengan beberapa artis figuran dan kru. Rombongan yang lumayan besar untuk malam ini, mungkin karena malam ini mereka bisa cepat menyelesaikan pekerjaan mereka.
Saat mereka berkumpul begitu ramai, saling bicara bersahutan. Bang Ari yang memang tidak terlalu banyak bicara hanya mendengarkan. Dia memilih duduk di sudut dekat pintu masuk. Sedangkan Raditya dan Venita juga beberapa kru mencari meja yang panjang, yang letaknya di tengah ruangan.
Mereka mulai ramai memesan makanan dan minuman. Ada wedang jahe, wedang uwuh, ronde, kopi dan teh. Ada yang memesan mi instan bahkan sate kelinci. Warungnya memang tidak terlalu besar tapi yang paling lengkap dibandingkan warung yang lain. Menu yang disajikan sangat cocok disantap di daerah berhawa dingin seperti daerah ini.
Raditya menyeruput wedang jahe, dia mulai merasa hangat. Tadi saat berjalan, udara dingin begitu menusuk sampai ke dalam tulang. Venita yang duduk didepannya tersenyum padanya.
"Gimana sudah merasa hangat?"
Raditya mengangguk mengiyakan.
***
Rembulan memarkir motornya ditempat yang terlihat terang dan dia yakin bisa mengawasi motornya dari dalam. Rembulan merasa tidak tenang, apalagi ini motor pinjaman. Biar bagaimanapun Rembulan harus tetap waspada.
Dari luar suara dari dalam warung terdengar riuh rendah, ramai sekali. Rembulan nyaris gentar untuk masuk. Suara laki-laki yang terdengar mendominasi percakapan. Rembulan melihat sekilas ke dalam. Ada juga perempuan yang duduk di situ Walaupun jumlahnya tidak banyak dan penampilan mereka terlihat sopan. Rembulan merasa tenang untuk melangkah ke dalam.
"Bulan!" Baru beberapa langkah dia berjalan, Rembulan mendengar seseorang memanggil namanya.
Dia mengenali suara bariton itu. Suara yang sampai kapanpun tidak akan pernah dia lupakan. Suara yang terkadang hadir dalam mimpi-mimpinya. Suara yang dulu begitu membiusnya dan membuat dia tak akan pernah bisa membenci laki-laki itu.
Rembulan menghentikan langkah, menoleh mencari sumber suara itu. Matanya terpaku, tak ada yang berubah. Senyumnya masih sama, senyum yang pernah membuatnya jatuh cinta.
"Apa kabar Bulan? Aku tahu itu pasti kamu." Laki-laki itu tersenyum menatapnya. Rembulan hanya diam, tak bergerak. Jantungnya berdetak sangat cepat. Kakinya terasa lemah.
Mengapa setelah sekian lama dia masih saja seperti ini saat bertemu laki-laki ini?
Rembulan membenci dirinya.
"Duduklah disini." Laki-laki itu menunjuk kursi yang ada di didepannya. Rembulan menurut. Menyapa laki-laki itu.
"Apa kabar Bang?"