Chereads / Secangkir kopi untuk Raditya / Chapter 10 - Dia istimewa

Chapter 10 - Dia istimewa

"Kita ulangi sekali lagi! Dit, kamu peluk yang bener dong! Chemistrynya nggak dapet!" Ari berteriak pada Raditya dan Venita.

Kali ini mereka berdua melakukan adegan mesra, setelah tadi Raditya harus melakukan adegan laga demi menyelamatkan Venita. Dimata Ari sedari tadi mereka selalu salah. Venita mulai kesal, dia tidak mengerti mengapa Ari harus marah-marah.

Dia mulai lelah, apalagi siang ini sangat terik. Raditya berbisik pada Venita, "Sabar Ven, lihat aku!" Raditya tersenyum lebar pada Venita sambil memeluk dan membelai punggungnya.

Ari melihat adegan itu, dan dirasanya adegan itu seperti yang dia mau. Dia langsung memerintahkan kameramen untuk mengambil adegan tersebut. Semua terlihat alami.

***

Rembulan tiba di lokasi syuting, dia melihat dari kejauhan proses syuting sedang berjalan. Rembulan berjalan mendekat, dia melihat Ari sedang berteriak pada dua artis yang sedang berada di tengah ilalang. Kemudian matanya diarahkan kepada kedua artis itu. Sedetik pandangan matanya bertemu dengan Raditya. Walaupun posisi mereka tidak terlalu dekat, tapi Rembulan yakin Raditya melihat dirinya.

Raditya sedang tersenyum, memeluk dan membelai punggung perempuan itu. Senyum yang sama saat Rembulan berbicara pada Raditya di pesawat. Rembulan berbalik lalu pergi. Rembulan tidak mengerti apa yang membuat dia merasa harus pergi dari lokasi syuting. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk mengunjungi Ari.

***

Aku melihatnya, walaupun hanya sekilas, aku tahu kalau itu dirinya. Perempuan yang membuat aku tidak tenang karena bayangannya selalu hadir. Mengapa dia harus pergi?

Raditya mencari sosok Rembulan dengan matanya. Diantara kerumunan penonton tidak terdapat kehadiran Rembulan.

***

Rembulan segera merapikan semua bawaannya, sore ini dia akan meninggalkan Villa dan memilih menginap di hotel sekitar kota, agar tidak terlalu jauh dari bandara sehingga besok dia tidak perlu terburu-buru.

Rembulan memandangi ponselnya, hatinya mendua. Perlukah dia berpamitan dengan Ari? Atau pergi saja seperti dulu Ari pergi meninggalkannya.

Besok saja saat dia di ruang tunggu bandara aku akan berpamitan. Aku akan mengirimkan pesan padanya.

***

Ari sudah berpakaian rapi, malam ini dia akan mengunjungi Rembulan seperti malam-malam kemarin. Dia bersiul kecil sambil menyisir rambut. Senyumnya mengembang saat dia bercermin.  Persis seperti saat SMA dulu. Dia akan melihat pantulan wajahnya di cermin dan mematut-matut diri sampai dirasa sempurna. Aku seperti anak ABG yang sedang jatuh cinta.

***

Rembulan sedang berbaring di tempat tidur, melihat langit-langit kamar hotel tempat dia menginap. Rasanya lelah sekali, dan dia merindukan kehidupannya di villa. Dia merindukan udaranya yang dingin, suara katak yang bersahutan atau suara tonggeret yang terdengar seperti alunan nada yang menyayat hati. Dia akan duduk-duduk menanti senja, melihat matahari tenggelam di batas cakrawala.

Di kamar ini terasa sunyi dan pengap, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Rembulan melihat ternyata ada pesan masuk dari Ari.

Mengapa pergi tanpa meninggalkan pesan? Masih marah padaku? Aku mohon berbesar hatilah untuk memaafkan aku.

***

Rembulan mengingat dulu mereka berdua pernah bertengkar. Ari lupa janjinya pada Rembulan untuk datang malam itu. Rembulan sudah menunggu. Dan Ari, keesokkan harinya, dengan entengnya bilang kalau dia lupa dan asyik nongkrong dengan teman-temannya. Rembulan muntab, dia meminta Ari pulang. Bagi Rembulan janji adalah kata-kata yang harus ditepati dan itu sangat berharga. Rembulan masuk ke kamar dan tidak mau menemui Ari. Beberapa kali Ari datang, Rembulan tidak mau menemui. Rembulan ingat itu pertengkaran mereka yang pertama dan terakhir. Rembulan bukan perempuan yang terlalu banyak menuntut dan mudah merajuk.

Hari kesekian setelah Rembulan mogok bicara dengan Ari, Rembulan menerima pesan dari Ari. Ditulis di selembar kertas dan diberi gambar khas Ari.

Seorang ahli kimia yang dapat mengeluarkan dari unsur hatinya welas asih, rasa hormat, kerinduan, kesabaran, penyesalan, keterkejutan dan rasa maaf, lalu memadukannya menjadi suatu senyawa, akan mampu menciptakan atom yang disebut CINTA.

Rembulan tertawa keras setelah membaca pesan itu, Ari menyitir puisi dari Kahlil Gibran untuk meminta Rembulan memaafkan dirinya. Tuh kan, Ari selalu punya segudang cara untuk membuat Rembulan luluh dan merebut hatinya kembali.

Aku bukan ahli kimia, aku nggak suka dengan pelajaran kimia. Suatu saat aku akan menjadi seorang penulis. Ahli kimia? Tak pernah ada dalam mimpi-mimpiku.

Rembulan mengirimkan balasan lewat Oscar, sepupunya. Oscar hanya nyengir saat dijadikan kurir oleh mereka berdua.

"Udahan dong berantemnya? Setiap hari aku ditanya-tanya terus sama pacarmu?"

"Nggak usah dijawab kalau ditanya." Rembulan menjawab sambil mengunyah siomay.

Hari itu pulang sekolah dia berjanji mentraktir Oscar makan siomay karena sudah mau dijadikan kurir. Sama Oscar nggak ada yang gratis.

"Nggak dijawab gimana, dia udah kayak tukang tagih ngejar terus. Gila! Aku berasa punya hutang ke dia."

Rembulan tertawa ngakak saat melihat ekspresi Oscar.

"Iya, nanti kalau dia ke rumahmu lagi, bilang aja aku udah nggak marah." Rembulan tersenyum manis.

"Nah gitu dong, berarti hatimu lagi baikan? Aku nambah seporsi lagi ya?"

"Iyaaaa !"

***

Rembulan terus memandangi pesan dari Ari, sedari tadi dia ragu untuk mengetik pesan balasan.

Tadi aku datang ke lokasi syuting hendak berpamitan. Aku melihat dirimu sedang sibuk, aku tidak ingin menggangu. Maksudku akan mengirimkan pesan padamu besok. Aku tidak marah hanya tidak sempat berpamitan. Aku rasa itu bukan masalah besar.

***

Ari berdiam diri di kamar, dia sedang ingin sendiri. Dia membaca berkali-kali pesan dari Rembulan. Perempuan ini sudah memporak-porandakan hatinya. Mungkin ini yang dirasakan Rembulan beberapa tahun yang lalu.

Aku akan mencarimu, sampai kapanpun akan ku cari.

Ari memejamkan mata, dia memilih tidur. Pikiran dan tubuhnya lelah.

***

"Dit, Bang Ari kok nggak kelihatan dari tadi?" Venita bertanya sambil mengaduk jus tomat kesukaannya. Venita mengajak Raditya ngobrol di sebuah kafe kecil tidak jauh dari hotel.

"Tadi aku sempat lihat sekilas, kayaknya pergi keluar."

Raditya berpikir mungkin Ari akan menemui Rembulan. Ada terselip perasaan tidak rela ketika melihat Ari tersenyum bahagia saat mereka berdua berpapasan.

Raditya merasa aneh pada dirinya. Dia hanya ngobrol sebentar dengan Rembulan, dalam hitungan satu jam lebih. Tapi dia merasa jatuh cinta pada gadis itu dan ingin memilikinya. Raditya belum pernah seperti ini. Baginya saat dia jatuh cinta pada seorang perempuan, harus melewati proses yang panjang, sampai dia benar-benar yakin. Namun perempuan ini menjungkirbalikkan semuanya.

"Kayaknya ada sesuatu dengan Bang Ari, dari tadi marah-marah terus. Ngeri!"

"Mungkin lagi ada masalah."

"Jangan-jangan sama perempuan yang waktu itu, kabarnya sih perempuan itu pacarnya Bang Ari waktu SMA. Aku penasaran lho sama perempuan itu."

"Kenapa?" Raditya melihat sekilas ke arah Venita. Sebenarnya ini bukan topik yang ingin dia bahas.

"Kamu kan tahu bagaimana reputasi Bang Ari, dingin, nggak banyak bicara. Nggak pernah dengar juga dia punya pacar dikalangan kita. Padahal Bang Ari itu ganteng. Kalau ada perempuan yang bisa bikin Bang Ari jatuh cinta, berarti perempuan itu pasti sangat istimewa."

Raditya hanya memandangi Venita. Dalam hati dia berkata, "Dia memang istimewa ,Ven."