Chereads / Secangkir kopi untuk Raditya / Chapter 9 - Penghibur bagi jiwa yang terjaga

Chapter 9 - Penghibur bagi jiwa yang terjaga

"Ah, mungkin orang yang berbeda Bang." Entah mengapa Raditya merasa dia harus berbohong.

"Saya ke kamar dulu ya Bang," pamitnya.

"Ayo, saya juga mau ke kamar!" Ari menepuk pundak Raditya.

Sepanjang perjalanan menuju ke kamar, Raditya terus berpikir.

Apa yang harus dia lakukan selanjutnya? Haruskah terus mencari Rembulan? Sebenarnya tidak perlu mencari juga, dia tinggal bertanya pada Bang Ari dengan sedikit trick dan kebohongan. Namun hatinya mendua setelah mendengar cerita Bang Ari. Mungkinkah Rembulan masih mencintai laki-laki yang berjalan disampingnya ini? Semua serba membingungkan.

***

Kahlil Gibran menuliskan,

Kala malam datang dan rasa kantuk membentangkan selimutnya di wajah bumi, aku bangun dan berjalan ke laut

"Laut tidak pernah tidur dan dalam keterjagaannya itu laut menjadi penghibur bagi jiwa yang terjaga"

Rembulan membaca pesan yang dikirimkan Ari, dia tersenyum. Ternyata Ari masih sama seperti dulu, sering mengirimkan pesan-pesan manis untuknya dari buku yang dia baca.

Tapi kita tidak sedang berada di laut, saat ini dihadapanku hamparan sawah dan gunung yang berwarna pekat yang menjadi latar belakang. Dia menjulang tinggi bak raksasa. Namun aku merasa pemandangan itu tetap menjadi penghibur bagi jiwa yang terjaga.

Rembulan mengirimkan pesan balasan kepada Ari.

Selain hamparan sawah dan gunung yang menjulang, masih ada wajah rembulan di langit yang menjadi penghibur bagi jiwa yang terjaga. Sesungguhnya dia lah pusat dari semua itu.

Ari mengirimkan pesan balasan, dan Rembulan tersenyum lebar. Dari dulu Ari selalu begitu, dia selalu memiliki pesona yang membuat orang akan mudah merasa jatuh hati padanya. Termasuk malam ini, Rembulan merasa Ari merebut kembali perasaannya, sama seperti dulu.

***

"Lan, apa kabar?Betah nggak disana?"

"Betah dong, boleh nambah lagi nggak?Lebih dari sebulan."

"Kamu gantikan Mbok Dar aja disitu, kalau mau bisa selamanya." Terdengar suara Sarah mengomel.

"Ada apa pagi-pagi udah nelpon aku?Kangen ya?"

"Iya aku kangen, lama banget sih kamu bertapa disitu. Aku sampai nggak berani telpon kamu takut ganggu. Aku nanyain keadaanmu lewat Mbok Dar. Udah sampai mana novelmu?" Sarah mengoceh panjang. Sedari tadi Rembulan tersenyum mendengar Sarah bicara.

"Sudah mau selesai, sudah ketemu endingnya...tapi kalau boleh nambah sebulan lagi aku mulai menggarap novel baru disini."

"Tega banget sih kamu Lan. Harusnya aku pesan tiket pulang pergi biar aku tahu kepulanganmu."

"Duh, yang kangen banget...sampai segitunya."

"Lan, kali ini aku mau bicara serius. Ada tawaran pembuatan sinetron dengan menggunakan novelmu sebagai latar ceritanya. Kamu tertarik?"

"Kalau soal duit aku pasti tertarik. Aku mau asal sesuai dengan syarat yang aku tentukan."

"Pulanglah, kasih waktu sampai kapan menunggumu untuk membicarakan hal ini. Nanti aku sampaikan ke pihak produser. Bagaimana?"

"Kasih aku waktu satu minggu lagi. Aku janji novelku sudah selesai dan aku akan pulang."

"Oke, sayang....aku pegang janjimu ya."

Sarah adalah sahabat sekaligus merangkap managernya untuk urusan-urusan seperti ini. Rembulan bukan seorang yang diplomatis dan bisa bernegosiasi. Semua dia serahkan kepada Sarah. Lagipula dia tetap lebih suka tidak dikenal. Dia lebih suka orang mengenal karyanya daripada mengorek-ngorek kehidupan pribadinya sebagai seorang penulis. Biarlah dia tetap dikenal sebagai A-Luna daripada Rembulan.

***

Hampir setiap malam, sejak pertama kali bertemu di warung, Ari selalu mengunjungi Rembulan. Awalnya terasa canggung, namun Ari tetaplah seorang Ari. Dia selalu memiliki berbagai cara untuk mencairkan suasana.

"Rupanya selain menulis, kamu hebat dalam membuat kopi," katanya suatu kali saat pertama kali menikmati kopi yang disuguhkan Rembulan.

"Aku mempelajarinya."

"Pernah menjadi seorang Barista?"

"Apakah harus menjadi seorang Barista agar hebat dalam membuat kopi yang enak?"

"Sepertinya aku harus belajar darimu," kata Ari sambil menyesap kopinya.

"Aku nggak mau mengajarimu, kamu nikmati saja kopi buatanku. Aku tidak mau punya saingan." Rembulan tertawa lebar.

"Kalau begitu, aku akan semakin rajin mengunjungimu." Ari bicara sambil melirik Rembulan.

"Bukankah akhir-akhir ini kamu semakin rajin mengunjungiku...kamu ingin bertemu aku atau menikmati kopiku?"

Ari memiringkan kepalanya, tersenyum menatap Rembulan, "Salahkah kalau aku menjadi begitu serakah menginginkan keduanya?Kamu dan kopimu...sepertinya saat ini, itu adalah satu paket."

"Beberapa hari lagi aku akan pulang. Ada pekerjaan yang menungguku. Kebetulan novelku sudah selesai."

Ari mengangkat kepalanya dan menatap serius perempuan yang duduk didepannya.

"Kita masih bisa bertemu lagi?" tanyanya ragu.

Beberapa hari bertemu Rembulan membuatnya jadi terbiasa melihat wajah gadis itu. Rembulan seperti candu untuknya.

"Aku rasa tidak, cukuplah kita bertemu disini. Tapi aku juga tidak bisa menghindari kalau karena pekerjaan suatu saat kita akan bertemu. Karena terkadang dunia kita tak sengaja beriringan."

"Aku masih ingin bertemu denganmu. Aku ingin memperbaiki hubungan kita yang sempat terputus."

Ari menebalkan wajahnya berkata seperti itu. Dia hanya menginginkan Rembulan bersamanya. Dia tidak pernah bisa menghilangkan Rembulan dari hatinya. Beberapa hari ini dia merasa bahagia. Hidupnya terasa bergairah, dia merasakan dirinya berbeda.

Rembulan menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. "Aku tidak ingin menyambung sesuatu yang sudah putus, karena pasti tak akan sama. Lebih rapuh dan suatu saat akan lepas lagi. Aku tak ingin suatu saat kamu pergi lagi tanpa pesan dan alasan seperti dulu. Cukuplah bagiku." Rembulan menatap Ari dengan pandangan tegas.

Aku bukan anak kelas satu SMA lagi yang mudah menerima begitu saja semuanya, bukan lagi anak kelas satu SMA yang naif.

Ari hanya bisa diam membisu, dia mengira segala sesuatunya akan kembali seperti semula. Ternyata Rembulan yang dia kenal dulu tidak sama dengan Rembulan yang sekarang. Ataukah itu terlalu menyakitkan buatnya sehingga Rembulan menjadi begini. Apapun itu, dia berusaha menghormati keputusan Rembulan.

Ari pulang dengan langkah gontai, berharap besok Rembulan berubah pikiran. Besok dia akan datang lagi sampai perempuan itu pulang.

***

Pagi-pagi Rembulan sudah bangun, duduk di teras sambil memandangi hamparan sawah dan gunung yang berwarna biru, kontras dengan warna awan putih yang mengitari diatasnya.

Dia duduk sambil menyesap kopi. Besok dia akan pulang, tiket sudah dibeli. Rembulan juga sudah mengabari Sarah tentang kepulangannya. Sarah bersorak saat mendengar Rembulan akan pulang.

"Aku udah nggak sabar ngajak kamu ngopi-ngopi."

"Mau ngopi-ngopi atau shopping?" Rembulan nyengir.

"Kamu bukan teman yang menyenangkan untuk shopping ,Lan...ingat kan?"

Rembulan memang tidak pernah betah kalau diajak berbelanja. Harus berkeliling dibeberapa mall, memasuki hampir semua butik, mencoba sekian banyak baju dan sepatu. Biasanya kalau terpaksa harus menemani Sarah, Rembulan akan membawa sebuah novel. Sambil menunggu Sarah mencoba baju-baju atau sepatu, dia akan duduk manis membaca novel. Sesekali melihat ke arah Sarah untuk memberi komentar.

"Pokoknya aku kangen ketemu kamu, akhirnya kamu pulang juga dari pertapaanmu." Sarah tertawa sebelum menutup telpon.

***

Siang ini Rembulan berencana mengunjungi Ari di lokasi syuting. Kebetulan letaknya tidak jauh dari villa. Rembulan bersiap, dia akan menyelesaikan sedikit tulisannya lalu pergi mengunjungi Ari.