Semua orang di warung itu yang mengenal Sang sutradara dibuat penasaran dengan perempuan yang sedang berbincang dengannya. Apalagi perempuan itu duduk membelakangi mereka. Ada kasak-kasuk yang terjadi karena kemunculan perempuan itu. Tadi mereka tidak terlalu memperhatikan saat perempuan berambut panjang itu datang, dan saat ini mereka didera rasa penasaran demi melihat Sang sutradara berbincang akrab.
"Ven, lu tahu berita apa?Kenal sama tuh cewek?" Sang kameramen bertanya pada Venita yang biasanya update dengan berita terbaru.
Venita hanya mengangkat kedua bahu sambil menggeleng. Raditya yang duduk di samping Venita tidak terlalu peduli dengan perempuan yang hanya tampak punggung saja. Dia lebih memilih berkonsentrasi dengan wedang jahe dan mi instan yang ada dihadapannya.
***
"Apa yang kamu lakukan di tempat ini ,Lan?Berlibur?"
Rembulan menggeleng, "Bekerja. Kalau Abang?"
"Kami sedang syuting film, kebetulan aku sutradaranya."
"Oh, sudah sejak seminggu yang lalu aku mendengar tentang syuting film di daerah sini. Kebetulan mbok yang menemaniku yang cerita."
"Datanglah sesekali ke lokasi syuting. Mungkin sekitar dua minggu lagi proses syuting akan berakhir."
"Kapan-kapan aku akan datang."
"Kamu belum bercerita apa yang kamu lakukan di tempat seperti ini. Pekerjaan seperti apa?" Ari bertanya dengan nada ingin tahu. Terus terang dia penasaran dengan pekerjaan Rembulan.
"Aku menulis novel, kebetulan aku membutuhkan suasana baru untuk menyelesaikan novelku."
"Sudah lama menulis novel?" Ari semakin penasaran.
"Sudah, bahkan baru-baru ini sudah ada yang difilmkan."
Entah mengapa Rembulan mengatakan hal ini pada Ari. Biasanya dia tidak pernah menyebutkan soal novelnya yang sudah difilmkan, karena dia takut orang akan mengenalnya. Filmnya cukup laris dipasaran bahkan memperoleh penghargaan.
Rembulan lebih suka menutup rapat identitasnya. Tapi dengan Ari berbeda. Mungkin kemarahan yang masih tersimpan di hati yang membuat dia seperti ini.
Dia ingin menunjukkan pada Ari bahwa walaupun laki-laki itu pergi meninggalkannya, dia tetap bisa mewujudkan mimpi-mimpinya untuk menjadi penulis dan memiliki karya yang diakui baik oleh orang lain.
Terkadang seseorang juga butuh pengakuan dari orang lain. Bukan karena tinggi hati tapi lebih sebagai penghargaan kepada diri sendiri.
"Tunggu...A-Luna. Itu kamu?" Rembulan mengangguk.
"Aku membaca novelmu Kesatria dan Dewi langit dan aku menonton filmnya. Pantas saja aku merasa tidak asing dengan tulisan itu. Kamu ingatkan, dulu aku sering membaca tulisanmu?"
"Aku berharap Abang menyimpannya rapat-rapat."
"Kenapa?Bukankah menjadi penulis terkenal itu mimpimu?"
"Aku tak pernah bermimpi jadi penulis terkenal ,Bang. Aku hanya bermimpi menjadi penulis dan punya karya yang diakui bagus oleh orang lain. Menurutku terkenal itu adalah bonus. Namun aku tidak ingin mengambil bonus itu."
"Sepertinya ada hal yang aku lewatkan."
"Aku pulang dulu ,Bang." Mendadak Rembulan kehilangan minat untuk bicara.
Andai saja kau tak pergi meninggalkanku begitu saja tanpa kabar, tidak akan ada yang cerita yang terlewat.
"Tunggu, aku akan mengantarmu!Biar motormu dibawa salah seorang temanku. Aku akan pinjam motor pemilik warung, kebetulan aku kenal karena dalam seminggu ini sering ke sini."
"Nggak perlu Bang, aku bisa pulang sendiri!" tolak Rembulan.
"Aku nggak akan tenang, lagipula aku ingin tahu dimana kamu tinggal. Sewaktu-waktu aku akan datang berkunjung." Rembulan hanya bisa pasrah. Ari tidak bisa dibantah kalau sudah punya mau.
Ari meminta ijin kepada pemilik warung untuk meminjam motor, dan Ari bersyukur pemilik warung percaya padanya. Ari segera memanggil salah satu teman untuk membantunya. Setelah itu Ari berpamitan dengan rekan-rekan yang lain.
"Adit mana ,Ven?" Ari tidak melihat Raditya disamping Venita.
"Lagi ke toilet Bang. Pacarmu ,Bang?" tanya Venita ingin tahu.
"Ah, nanti kau gosipin pula!Bukan pacar, tapi teman lama yang bertemu lagi." Ari berkata dengan suara lirih, tidak ingin Rembulan mendengar.
"Aku tinggal dulu ya!" sambungnya sambil melambaikan tangan.
***
Rembulan hanya diam selama dalam perjalanan. Dia sibuk dengan pikirannya. Dia membenci jantungnya yang masih berdetak cepat saat dekat dengan Ari.
Setelah sekian lama, aku masih tetap luluh dalam pesonanya.
Rembulan ingin menyentuh punggung Ari dan membelainya. Dulu dia selalu merebahkan kepalanya di punggung itu saat mereka berdua naik motor. Tak pernah ada kata putus yang terucap.
Apakah dia masih milikku?
***
Ari merasa Rembulan masih marah padanya. Ari tahu bahwa dia salah dan sekian lama tidak pernah ada kata maaf yang keluar dari bibirnya. Namun baru kali ini mereka bertemu lagi setelah sekian tahun berpisah. Malam ini dia akan mengucapkan kata maaf pada Rembulan.
***
Mereka berhenti di sebuah villa, lalu Rembulan turun dari boncengan.
"Ini villa milik keluarga temanku. Villa ini aku pinjam selama proses menyelesaikan novel."
"Berapa lama kamu akan berada disini?"
Rembulan nyaris berkata tidak tahu, saat menatap mata Ari, Rembulan tahu bahwa kisah novel yang ditulisnya akan segera berakhir. Dia telah menemukan ending yang tepat.
Terkadang perpisahan bukanlah ending yang disukai oleh pembaca, walaupun perpisahan sering terjadi dalam kehidupan. Dia akan menuliskan tentang perpisahan sebagai akhir dalam novelnya.
"Mungkin aku akan segera menyelesaikannya, seminggu lagi."
"Bulan, ada yang ingin aku sampaikan padamu." Ari menatap Rembulan, "Maafkan aku telah menyakiti hatimu. Aku pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan untukmu. Saat itu aku tidak bertindak bijaksana. Aku menyesal Lan. Aku berharap kamu mau memaafkan aku."
Rembulan menatap mata Ari yang penuh dengan penyesalan. Ari memegang kedua tangannya.
"Mengapa saat itu kau pergi begitu saja?"
"Aku hanya berpikir kisah kita hanya kisah remaja biasa. Kamu akan cepat melupakannya. Saat itu aku terlalu fokus pada diriku sendiri dan semangat untuk menjalani suasana baru menjadi mahasiswa. Aku melupakan dirimu saat aku pergi ke Jakarta. Namun akhirnya aku tetap memikirkanmu dan merasa bersalah padamu. Ingin mengirim kabar padamu, aku malu dan takut. Saat itu aku menjadi laki-laki yang pengecut. Aku hanya memikirkan kebahagiaanku sendiri."
"Pulanglah ,Bang! Kasihan temanmu sudah menunggu." Rembulan menunjuk dengan pandangan matanya pada seorang laki-laki yang duduk di teras.
"Tapi kamu belum memaafkan aku."
"Apakah aku harus memaafkanmu dan mengatakannya?Pulanglah! Terima kasih sudah mengantar." Rembulan berjalan meninggalkan Ari masuk ke dalam rumah.
***
Setelah sekian lama dia hanya berkata maaf!, sedangkan aku butuh waktu bertahun-tahun untuk melupakannya.
Aku selalu merasa diriku bersalah karena membuatnya pergi tanpa kata perpisahan. Aku selalu mempertanyakan bagian mana dari tindakan atau perkataanku yang membuat dia begitu. Apa salahku?
Ternyata dia hanya seorang laki-laki egois dan pengecut. Aku menyesali air mataku yang tertumpah untuknya.
***
Ari menekuri bebatuan yang diinjaknya untuk beberapa saat, sebelum dia beranjak kembali ke hotel.
Kali ini aku akan selalu datang untuk menebus waktu yang hilang. Dan berharap bisa mendapatkan hatimu lagi.