Chereads / Secangkir kopi untuk Raditya / Chapter 4 - Memimpikan Rembulan

Chapter 4 - Memimpikan Rembulan

Rembulan terbangun dari tidurnya, perutnya terasa lapar, tenggorokannya kering. Dari jendela kamar dia melihat langit telah berubah warna menjadi kemerahan. Senja mulai turun. Pantas saja aku sudah lapar, sudah berapa lama aku tertidur?

Di ruang tengah dia bertemu Mbok Dar.

"Saya sudah tertidur berapa lama ya Mbok?"

"Wah, saya kurang tahu berapa lama Non...Saya tadi mau membangunkan Non Bulan tapi lihat Non tidur nyenyak, saya nggak berani. Kasihan juga saya lihat Non Bulan, pasti capek banget."

"Iya Mbok, tadi saya bangun pagi biar nggak terlambat sampai di bandara, padahal tidur sudah larut malam."

"Makan dulu Non, pasti sudah lapar."

"Iya ,Mbok."

"Saya masak sayur asem, sama goreng ikan, ada sambel juga ,Non."

Rembulan menikmati makan siangnya yang terlambat. Masakan Mbok Dar sangat enak, tanpa sadar Rembulan sudah dua kali menambah nasi. Suasana pedesaan yang adem sangat pas dengan menu yang ada. Apalagi perutnya sudah sangat lapar. Untunglah Mbok Dar sedang berada di kamar, sehingga Rembulan tidak malu-malu saat menciduk nasi.

***

"Non!" Mbok Dar memanggil namanya sambil berjalan menghampiri.

"Ya Mbok...Ada apa?"

"Nanti saya ijin keluar sebentar, selepas maghrib. Saya keluar sama anak saya." Wajah Mbok Dar terlihat sedikit ragu. Mungkin karena baru mengenal Rembulan, sehingga untuk sekadar meminta ijin saja Mbok Dar agak takut.

"Iya nggak apa-apa Mbok, setelah ini saya juga ada pekerjaan yang harus dikerjakan." Rembulan berpikir harus mulai menggarap novelnya. Dia tidak mau menjadi bermalas-malasan dan menunda pekerjaan setelah sampai disini. Dia harus mengingat tujuan awalnya datang kemari adalah untuk menyelesaikan novelnya.

Wajah Mbok Dar berubah menjadi sumringah, senyumnya mengembang. Lalu Mbok Dar duduk di lantai, di dekat kaki Rembulan.

"Mbok, duduk disini jangan di lantai....dingin!" Rembulan menepuk kursi disebelahnya, dia juga merasa risih melihat Mbok Dar duduk di dekat kakinya. Rasanya tidak pantas orang setua Mbok Dar duduk di lantai sedangkan dia duduk di kursi.

"Nggak apa-apa Non, sudah biasa."

"Tapi kalau dengan saya nggak boleh. Mbok Dar harus duduk di kursi." Untungnya Mbok Dar menurut.

"Nanti Mbok Dar masuk angin, apalagi disini udaranya dingin."

"Kami orang sini sudah biasa Non," katanya ramah.

"Non, nanti saya mau nonton orang bikin film. Kata anak saya tadi ada yang lagi bikin film nggak jauh dari sini. Saya mau lihat pemain filmnya ,Non."

"Oalah..." Rembulan tertawa kecil. "Iya, silakan Mbok. Nanti cerita ke saya kalau sudah nonton ya?" Rembulan mengerling usil.

"Wah, dari sini banyak yang nonton ,Non. Apa Non Bulan mau ikut?"

"Nggak Mbok, saya di rumah saja. Saya nggak kuat sama udaranya yang dingin, jam segini aja saya udah kedinginan." Rembulan memeluk tubuhnya sendiri. Tadi setelah mandi dia langsung memakai baju hangat karena merasa kedinginan.

"Ya sudah, saya siap-siap dulu ya ,Non. Mau ganti baju, nanti kalau ketemu sama pemain filmnya pakai baju jelek rasanya nggak pantes."

Mbok Dar berdiri, lalu berjalan ke kamarnya. Rembulan hanya bisa tersenyum melihat tingkah Mbok Dar.

Apa mungkin Raditya ada disitu ya? Katanya dia sedang ada pekerjaan? Ah, tapi kan dia bisa saja sedang syuting di tempat lain.

Rembulan membuang jauh-jauh pikirannya tentang Raditya.

Dia masuk ke dalam kamar, mulai membuka laptop dan membaca naskah terakhir yang ditulisnya. Dia hanya butuh berkonsentrasi, agar kisah yang ditulisnya bisa mengalir.

***

Raditya sedang bersiap-siap untuk syuting. Semua sudah berada di lokasi. Tadi dia sudah bertemu dengan pemeran utama wanita, Venita namanya.

Sebelum syuting mereka melakukan reading naskah dan mencocokkan chemistry diantara mereka berdua.

Dulu Raditya pernah satu kali bertemu saat mereka harus berpasangan dalam sebuah iklan. Tidak ada yang berubah dari Venita, dia tetap pribadi yang hangat dan menyenangkan.

Dulu Raditya sangat canggung saat pertama kali bertemu. Maklum nama Venita sudah mulai terkenal sebagai artis pendatang baru, bahkan dia sudah mendapat piala dalam suatu perhelatan Penghargaan Film dan Sinetron di suatu stasiun televisi swasta, sedangkan Raditya masih seorang artis bau kencur. Tak ada yang mengenalnya. Namun, Venita tetap bersikap ramah, dan memberikan semangat saat dia harus berkali-kali mengulang adegan karena masih merasa canggung dan selalu melakukan kesalahan.

"Hai Dit ! Apa kabar?" sapa Venita ramah, "Seneng ketemu kamu lagi."

"Kabar baik Ven, kayaknya sibuk banget ya sekarang?"

"Nggak kebalik, kayaknya kamu yang sibuk banget. Begitu buka tv aku langsung ketemu kamu. Dari mulai sinetron, iklan sampai berita selebriti. Yang lagi rame berita kamu sama artis dan model." Venita tersenyum lebar.

Raditya hanya tersenyum menanggapi, terus terang dia malas membicarakan soal gosip dirinya dengan perempuan A, B,C. Terkadang wartawan hanya mencari-cari berita yang menurutnya tidak penting. Wajar saja kalau dia terkadang hang out dengan teman-temannya, atau sekedar makan malam dengan perempuan manapun. Selagi tidak ada yang dirugikan baginya tidak masalah.

Raditya melihat sekeliling, banyak yang menonton. Raditya yakin kebanyakan dari mereka adalah warga sekitar. Dia sudah terbiasa dengan semua itu. Saat sutradara memberikan perintah untuk memulai syuting, dia sudah harus siap. Dia harus melebur masuk menjadi tokoh yang diperankannya, bukan lagi seorang Raditya yang artis.

Dia bisa berubah menjadi seorang penjahat, pahlawan, kesatria, pangeran atau seorang Don Juan. Apabila dia sukses memerankan lakonnya, seorang Raditya bisa begitu dipuja, dicaci, dibenci atau dicintai.

Saat ini dia berperan sebagai seorang kesatria, itu tidak terlalu sulit baginya. Melakukan adegan-adegan berkelahi adalah keahliannya karena dia pemegang sabuk hitam karate.

Raditya hanya berharap syuting malam ini berjalan dengan lancar karena dia sudah ingin cepat merebahkan tubuhnya.

***

Rembulan berjalan menuju dapur, dia ingin membuat kopi. Rumah terasa sepi, dia melihat kamar Mbok Dar gelap.

Rembulan bukanlah seorang penakut, tapi terkadang dia lebih nyaman bila di tempat yang baru dikenalnya dia tidak sendiri.

Di dapur dia melihat melihat ada mesin pembuat kopi, seperti yang dikatakan Sarah. Rembulan tersenyum senang demi melihat mesin itu. Sarah mengerti yang dibutuhkannya.

Tadi dia sudah menulis satu episode, sekarang dia membutuhkan kopi untuk menjaga kewarasannya dan membuat dia bisa terus berimajinasi dengan tokoh yang diciptakannya. Rencananya malam ini dia ingin menulis sekitar 3 episode. Rembulan menyeruput kopi yang baru dibuatnya, dan dia menjadi jatuh cinta pada dirinya sendiri. Betapa dia mencintai "keahliannya" membuat kopi.

Terdengar suara motor membelah malam, lalu suara Mbok Dar bicara dengan seseorang. Rembulan mengarahkan matanya pada jam di dinding.

"Belum tidur ,Non?" Mbok Dar menyapanya saat bertemu dirinya di ruang tengah.

"Belum ,Mbok. Bagaimana nontonnya ,Mbok? Seneng ketemu bintang film?" Rembulan tersenyum simpul.

"Wah, seneng banget Non. Besok Mbok ceritakan. Sekarang Mbok mau istirahat dulu ya ,Non."

"Silakan ,Mbok. Saya juga mau masuk kamar melanjutkan pekerjaan saya."

***

Raditya senang syuting malam ini berjalan lancar, dia sudah ingin segera kembali ke hotel dan beristirahat.

"Dit, mau ikut nggak? Kita mau cari minuman hangat, katanya nggak jauh dari sini ada yang jual wedang jahe."

"Lain kali deh Ven, aku capek banget dari pagi sudah harus melakukan perjalanan," tolaknya.

"Oke deh, kita jalan dulu ya!" Venita melambaikan tangan. Raditya melihat Venita berjalan bersama beberapa artis figuran dan kru.

Raditya hanya butuh tidur dan memimpikan Rembulan.