Alara berkali-kali melihat ke arah pintu masuk restoran, menunggu kedatangan geng gesrek, kumpulan sahabat-sahabatnya. Janjian pukul dua belas siang, dan sekarang sudah pukul satu, tapi belum ada tanda-tanda dari mereka yang menunjukkan akan segera datang. Berulang kali Alara menelepon setiap dari mereka. Tiga-tiganya tidak ada menjawab sama sekali.
Alara mulai merasa bosan. Satu jam duduk sendirian di restoran tanpa ada melakukan apapun selain menggoyang-goyangkan kaki, melirik kanan kiri, gonta-ganti tangan sebagai penyangga dagu. Alara berinisiatif memesan segelas lemon tea favoritnya untuk menemani dirinya menunggu Lannia, Tannia, dan Gevan. Kini gelas bertelinga satu itu telas kosong dan hanya tersisa dua potong es batu di dalamnya.
Restoran tempat Alara duduk sekarang sangat ramai. Pria, wanita, anak-anak bahkan lansia sekalipun terlihat begitu menikmati perbincangan mereka dan juga makanan yang disediakan restoran ini. Bertepatan juga lokasi restoran yang dekat dengan kantor, sehingga para pekerja meluangkan waktu siang mereka di restoran ini untuk makan siang. Selain cita rasa memuaskan yang dihadirkan, suasana di restoran ini cukup membuat siapa pun yang berkunjung akan betah berlama-lama di sini. Satu hal lagi, para pelayan wanita di sini semuanya memakai hijab dan para pria mengenakan kemeja putih dan celana hitam yang sangat rapi. Alara sangat suka akan hal itu, semua wanita terlihat anggun mengenakan hijab dan itu yang menjadikan Alara sangat suka berkunjung di restoran ini.
"Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu?"
Suara seorang pelayan berhasil menghentikan lamunan Alara.
Alara melirik jam tangannya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan pelayan itu.
"Oh, enggak, Mbak, terima kasih," jawab Alara.
Pelayan itu tersenyum ramah kemudian langsung pergi meninggalkan Alara. Setelah tadi sempat melihat jam dan sekarang sudah pukul 13.30 siang. Mereka bertiga belum juga sampai. Karena sudah terlalu lama menunggu, kini Alara memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia bangkit dari tempat duduk berjalan ke kasir guna membayar lemon tea yang dipesannya tadi.
Usai membayar, Alara langsung berjalan ke arah pintu. Saat tangannya baru saja menutup kembali pintu, matanya melihat sebuah mobil Honda Jazz hitam memasuki area parkiran. Mobil itu adalah milik Gevan. Setelah satu jam setengah menunggu dan sekarang mereka baru datang. Apalagi yang harus Alara lakukan selalin merasa kesal. Tidak ingin menunggu lama, gadis itu lebih dulu berjalan menghampiri mobil Gevan.
Namun sayangnya, saat ia berjalan tiba-tiba saja seseorang membuka pintu mobil sembarangan dan membuat Alara tersungkur ke lantai.
Bruk!
"Aw," ringkih Alara. Alara memegangi kakinya, ada lecet tepat di bagian mata kaki.
Saat matanya melihat ke arah pintu mobil itu, kadar geramnya semakin menguat. Bagaimana tidak, mobil yang membuatnya tersungkur adalah mobil yang sama yang hampir menabraknya kemarin, Civic type-r berwarna putih.
"Jalan pakai mata dong!"
Suara itu. Ya, suara yang sama saat Alara hampir kehilangan nyawa. Alara langsung bangkit dari posisi duduknya, lalu mendekati pria itu.
"Kamu, kan … benar-benar gak punya hati! Sudah jelas-jelas kamu yang salah masih aja merasa benar." Alara mengucapkan kalimat itu sangat lantang.
"Oh, jadi kamu perempuan yang gak tau berterima kasih itu, ya? Baguslah kalau begitu." ucap laki-laki itu santai.
"Bagus? Maksud kamu?"
Pria itu tersenyum penuh kemenangan. "Bagus. Akhirnya kamu dapat balasan sekarang karena kamu tidak berterima kasih kepada saya kemarin waktu saya berhasil menyelamatkan nyawa kamu."
Kepala Alara benar-benar panas sekarang. Begitu mudahnya pria yang ada di hadapannya malah bersyukur dan senang karena apa yang terjadi dengan Alara saat ini adalah sebuah ganjarang yang tepat baginya.
"Kamu …," Alara menjeda omongannya sambil mengepalkan tangan, "Kamu memang benar-benar nyebelin ya. Asal kamu tau ya, yang seharusnya disalahkan atas kejadian ini dan kejadian kemarin itu kamu!"
"Loh, kok saya? Orang jelas-jelas kamu kok yang jalan gak pakai mata. Kok jadi saya yang disalahin?"
"Kamu—"
"Kenapa, Ham?"
Suara bariton yang terdengar sangat kelaki-lakian menyela Alara. Seorang pria mengenakan kaos putih polos dipadukan dengan jogger hitam dan sepatu putih.
"Ini—" Ilham yang hendak menjelaskan terpaksa menghentikan kalimatnya.
"Tolong kamu bilang sama majikan kamu ini, jangan mentang-mentang dia kaya, dia punya mobil bagus, bisa seenaknya sama pejalan kaki." potong Alara.
Kini Alara merepeti pria yang baru saja turun dari kursi kemudi. Pria itu mengerutkan kening kebingungan melihat Alara tiba-tiba memarahinya.
"Dan sampaikan juga kepada tuan kamu ini, tolong perbaiki attitude-nya. Sekian. Assalamualaikum."
Tanpa basa-basi, Alara langsung pergi meninggalkan dua pria itu.
"Ham, siapa dia?" tanya Afram kebingungan.
"Tau," jawabnya sambil mengedikkan bahu, "Orang gila mungkin."
Afram menggelengkan kepalnya sambil tersenyum. Ini adalah kali pertama Afram bertemu wanita seperti Alara. Ia merasa lucu saja melihat gadis itu.
"Mas, udah ayo masuk, kok malah senyum-senyum?"
***
Alara berjalan dengan hati dongkol. Pria tadi benar-benar membuatnya merasa geram, bisa-bisanya ia yang salah, ia yang membuka pintu mobil sembarangan, malah Alara lagi yang disalahkan. Sungguh manusia yang gak punya hati nurani. Bahkan sangking dongkolnya, Alara sampai lupa kalau di kakinya ada luka lecet karena tergores pasir. Ia berjalan mendekati mobil jazz milik Gevan.
Jarak beberapa langkah sebelum sampai di mobil, pintu kanan dan kiri penumpang terbuka bersamaan. Keluar satu pria dan dua wanita ala-ala artis barat yang penuh dengan gaya sok keren. Mereka bertiga seolah-olah menjadi artis papan atas yang ditunggu kehadirannya.
Gevan keluar mobil sambil membuka kacamata hitamnya, sedangkan duo gesrek itu menyibakkan gaun panjang berwarna merah maroon seolah-seolah sedang berada di catwalk.
Melihat tingkah mereka membuat Alara semakain dongkol, ia mempercepat langkahnya. Gadis itu benar-benar berniat untuk memberi ketiga-tiganya pelajaran.
"Halo cantik, nungguin kita ya?" Lannia seakan mati rasa, tidak ada terdengar rasa bersalah dari nada bicara itu.
"Nungguin? Nungguin kamu bilang?"
Alara langsung menjewer telinga Lannia dan juga Tannia.
"Aduh, aduh, sakit, Al," Lannia dan Tannia meringkih bersamaan.
"Rasain!" ketus Alara tidak peduli.
"Al, aku juga mau dong dijewer sama kamu,"
Dasar gesrek.
Begitulah kelakuan Gevan. Alara tidak akan membiarkan Gevan hidup tenang tanpa menerima peljaran darinya. Tanpa menungggu aba-aba, Alara langsung menginjak kuat kaki Gevan.
"Sakit, hei!" ringkih Gevan tertahan. Ia tidak mau kelihatan lemah di depan para wanita. Tapi tetap saja, mata melototnya tidak bisa membohongi kalau injakan Alara benar-benar sakit.
"Ampun, Al, ampun."
"Iya, Al, ampun" tambah Lannia.
Ada rasa kasihan juga melihat mereka bertiga. Alara melepaskan jewerannya dan juga injakan kaki pada Gevan, "Makanya kalau janji jam berapa pun itu datengnya tepat waktu ya, Nak" ucapnya seperti berbicara kepada anggota TKP sambil mencoel hidung Lannia.
"Iya, Bu Guru," ucap mereka bertiga berbarengan sambil memanyunkan bibir.
"Ya udah, ayo masuk! Gue udah laper nih," kata Gevan memegangi perutnya.
"Kalian aja deh masuk, aku mau pulang," Alara berjalan meninggalakan mereka bertiga.
Gevan terlihat kebingungan, ia langsung mengejar Alara lalu menjecagatnya tepat di depan, "Lo kenapa, Al?"
"Aku gak mau masuk restoran itu, aku mau pulang aja."
"Kenapa, Al? Ada yang gangguin lo? Ada yang jahatin lo?" Gevan menggulung lengan kemeja hitamnya sambil melompat-lompat seperti menantang seseorang untuk berkelahi, "Bilang, biar gue kasih pelajaran."
"Gaya amat lo, Gev, sama kecoa aja takut sok-sokan mau ngajak berantem."
"Iya tuh. Entar juga kalau kalah ngadu sama emak."
Duo kembar itu nimbrung dari belakang, meledek Gevan.
Gevan yang merasa tidak terima langsung menaikkan lebih ke atas kemejanya memperlihatkan otot lengannya, "Lo gak liat nih? Nih, liat otot gue!"
"Otot doang besar, tapi mainnya sama cewek. Canda cewek."
Lannia, Tannia begitu juga Alara langsung tertawa puas melihat Gevan kalah ejek dengan Lannia. Wajahnya merasa tidak terima dengan kekalahan.
"Lo lo pada itu seharusnya bersyukur, karena ada gue yang selalu jagain kalian."
"Udah-udah! Sekarang lo maunya gimana, Al?" tanya Lannia.
"Kita pulang aja, yuk."
Alara mengipas-ngipas kepalanya. Ia sudah merasa kepanasan, karena memang keadaan di luar cukup terik.
"Atau gimana kalau kita ke rumah lo aja, Gev. Lo kan jago masak tuh, jadi lo aja yang masak."
"Oke." Gevan menaikkan kerah bajunya. "Siapa takut."
***
"Mas, lo mau pesen apa? Dari tadi ditanyain senyam-senyum."
"Eh, Ayam bakar aja, Ham."
Ilham menuliskan menu yang dipilih Afram.
"Mbak!" panggil Ilham kepada salah seorang pelayan.
Tak lama datang seorang pelayan perempuan menghampiri mereka, "Ada yang bisa dibantu, Mas?"
Ilham menyerahkan kertas yang disediakan tadi di atas meja yang sudah ditulisnya menu yang mereka pesan, "Ini, Mbak, tapi kalau bisa agak lebih cepat ya, soalnya saya dan Mas saya ini sedikit buru-buru."
Pelayan itu tersenyum ramah, "Baik, Mas. Silakan ditunggu ya."
"Baik, Mbak."
Ilham memperhatikan ada yang aneh dengan Afram. Pria yang berusia lima tahun di atasnya itu senyum-senyum sendiri sambil menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.
"Ngelamunin apaan, Mas?"
Afram langsung gelagapan, ia terlihat malu sekali ketahuan ngelamunin seseorang oleh adiknya, "Gak ada," jawab Afram cepat.
"Atau jangan-jangan Mas lagi ngelamunin cewek tadi, ya?" tebak Ilham to the point sembari tersenyum penuh introgasi.