Chereads / ALARA / Chapter 6 - Bab 6. Tumpuk di tengah

Chapter 6 - Bab 6. Tumpuk di tengah

Sungguh sebuah pemandangan langka yang terjadi pagi ini. Seorang Gevan Mahendra Prananta bangun pagi-pagi buta. Sekarang pria itu sudah berpakaian rapi. Kemeja putih polos dibiarkan dua kancing di atas terbuka lebar memeperlihatkan otot dadanya yang terlihat cukup sexy. Selain hoby bermain game, Gevan juga sering pergi ke gym untuk memoles ototnya. Bagi Gevan penampilan sangat penting, ya meskipun sekarang dia masih jomblo.

Hari ini Gevan berniat untuk main-main ke rumah kembar gesrek. Setelah hampir seminggu dirinya tidak keluar kemana-mana, hanya mengurung diri di kamar. Tempo hari ibu Gevan menerima surat dari pihak universitas. Surat itu berisi pemberitahuan bahwasannya Gevan belum membayar uang semester. Sedangkan Rinda sudah jauh hari memberikan uang itu kepada Gevan. Apa lagi yang dilakukan mamanya Gevan selain memberi pelajaran sepadan untuk anak laki-laki satu-satunya dari keluarga mereka.

Rinda menyita hape Gevan dan seluruh barang-barang elektronik lainya, termasuk kunci mobil beserta motol ducaty seri terbaru yang baru saja dihadiahkan Rendi, papa Gevan untuknya.

Gevan memandangi wajahnya di depan cermin sambil meraba-raba jenggot yang tumbuh cukup lebat dan hampir menutupi rahangnya. Kata orang pria yang berjenggot terlihat lebih maskulin ketimbang pria berwajah mulus. Bukan factor itu saja, Gevan mewarisi wajah papanya yang sama-sama memiliki jenggot seperti dirinya.

"Ganteng juga ya wajah gue, tapi kenapa sampai sekarang gue masih jomblo, ya? tanya Gevan pada dirinya sendiri.

"Ya itu karena, kamu itu gak punya daya tariknya. Siapa juga yang mau sama cowok malas kayak kamu," cibir Rinda dari di ambang pintu kamar Gevan.

"Punya mama tapi gak pernah dukung anaknya."

Rinda mengayunkan kaki mendekati Gevan, di tangannya ada nampan kecil berisi segelas kopi di atasnya, "Nih minum dulu, entar keburu dingin."

Gevan mengambil gelas berisi kopi itu dan langsung menyeruputnya.

"Kamu itu harus lebih dewasa Gev, biar cewek-cewek mau jadi pacar kamu."

"Gevan kurang dewasa apa, ma?"

"Lah itu, kamu punya otot besar gini tapi mainannya sama cewek mulu," ceplos Rinda dibumbui tawa ringan.

"Asal mama tau ya, walaupun sahabat Gevan cewek semua tapi kalau soal nyali Gevan bisa diadu, Ma" terang Gevan penuh percaya diri.

"Yakin?"

"Yakin dong." balas Gevan penuh penekanan sambil mengangkat tangan kirinya menunjukkan otot tangan Gevan.

"Tuh liat!" Rinda menunjuk ke arah bawah meja belajar Gevan.

"Hehehe," Gevan nyengir kuda.

DI bawah meja belajar Gevan ada banyak sampah-sampah snack jajanan berserakan tidak karuan. Ada juga terlihat kaus kaki dan juga baju kotor di bawah sana.

"Mama aja ya?" rayu Gevan sperti anak kecil.

"Heleh, ngomongnya aja tinggi, disuruh bersihin gituan aja udah ciut," ledek Rinda.

"Bukan ciut ma, Gevan cuman geli aja, ntar ada kecoa gimana? Mama mau ngangkat Gevan? Emang mama kuat?"

"Ngapain juga mama ngangkat kamu, biarin aja kamu dimakan kecoa."

Tiba-tiba saja, Gevan mendadak melihat seekor binatang kecil merayap medekat ke arahnya. Sontak ia menjerit sekuat-kuatnya sambil melompat naik ke atas kursi belajar, "Ma kecoa!" pekik Gevan ketakutan seperti anak perempuan.

Rinda hanya tertawa lebar sambil memegangi perut karena melihat tingkah anaknya. Pria dengan otot besar dan juga tampan takut dengan kecoa.

Rinda menundukkan badan menggeretak Gevan seolah-olah ia ingin mengambil kecoa untuk dlemparkan ke Gevan.

"Ma jangan ma, please!" rengek Gevan begitu ketakutan.

Jika kalian pernah melihat ekspresi teman kalian saat ketakuan melihat kecoa, seperti itulah sekarang Gevan. Ia mengangkat kakinya satu karena sangking takutnya kalau-kalau kecoa itu naik ke kursi tempatnya berdiri saat ini. Raut wajahnya benar-benar mengekspresikan ketakutan, bahkan kini wajah Gevan dibanjiri keringat dingin. Warna wajahnya juga berubah merah.

Rinda tak henti-henti tertawa melihat putra semata wayangnya itu begitu ketakutan.

"Otot doang besar, sama kecoa takut," ledek Rinda

"Ma, please ma, tolong buangin. Gevan takut," Nada bicara Gevan bergetar menunjukkan kalau dirinya benar-benar phobia terhadap kecoa.

Merasa sudah puas menertawakan Gevan, Rinda mengambil sapu kemudian menyapu kecoa itu ke dalam kamar mandi. Setelahnya ia mengambil sarung tangan karet yang memang sudah ada di saku bajunya kerena Rinda tadinya setelah mengantarkan kopi akan membersihkan tanaman di perkarangaan belakang rumah.

Tidak terlihat tanda-tanda Rinda jijik atau takut dengan kecoa, ia memegang kecoa itu begitu tenang kemudian memasukkannya ke dalam toilet dan menekan tombol air di atas kloset sehingga kecoa itu ikut berputar bersama air sebelum kemudian menghilang.

Usai membuang kecoa, Rinda kembali ke kamar Gevan dan berniat untuk emalnjutkan ledekan.

"Lain kali, gak usah dibersihin kamarnya. Kalau perlu bawa aja masuk sekalian truk sampah ke dalam kamar biar kamu tidur bareng sama kecoa."

Gevan hanya menatap wajah mamanya, ia turun dari kursi dan merapikan kembali baju dan juga tatanan rambutnya.

"Emang mama tega ngeliat anaknya tidur bareng kecoa?"

"Udah ah, mama mau bersihin taman belakang dulu."

Usai mengatakan demikian, Rinda langsung berbalik arah dan berjalan menuju pintu kamar masuk Gevan agar langsung pergi ke taman.

"Ma, tunggu!" Gevan mencegah mamanya pergi setelah ingat bahwa hari ini adalah hari di mana Rinda berjanji akan mengembalikan segala fasilitas yang ditarik darinya.

"Apa?"

"Ih, jutek amat. Mama cantik deh hari ini," rayuan basi Gevan kembali beraksi.

"Em, mama tau ni, pasti ada maunya kan?"

Gevan tersenyum kecil, "Mama inget gak hari ini hari apa?"

"Sabtu."

"Tanggal berapa?"

"Dua lima."

"Lima hari yang lalu Gevan mama apain?"

Hening.

Rinda menyipitkan matanya menatap sinis Gevan. Seketika suasana berubah menjadi horor. Rinda mengerakkan jari telunjuknya naik turun memberi isyarat kepada Gevan untuk mendekat kepadanya.

"Sini!"

Entah kenapa mendadak ludah Gevan sulit untuk dditelan. Ia takut-takut untuk melangkahkan kaki mendekati Rinda.

"Maju" Kini Rinda sudah menyilangkan tangan di atas dada.

Perlahan Gevan mulai mengayunkan kaki sedikit demi sedikit walaupun kakinya terasa begitu berat.

__00__

"Tan, lo masih ngambek ya sama gue?"

"Au ah, lo tanya aja sama rumput yang bergoyang!"

Lannia yang tadinya berdiri di depan Tannia mengambil tempat di sofa tempat Tannia duduk tepat di sampingnya.

"Lo beneran masih ngambek lan? Ini kita udah lima hari loh diem-dieman."

Tannia memutar wajah malasnya menatap Lannia tiga detik, setelahnya ia kembali menatap televisi.

"Tan, lo denger gue gak sih?"

Bukannya menjawab, Tannia mengambil toples berisi kerupuk jengkol dari atas meja, "Nih makan, biar gak resek."

Lannia tidak langsung mengambilnya, ia membiarkan tangan Tannia mengapung di udara sambil memegangi toples.

"Lo gak mau karena udah kenyang atau gengsi?"

"Gimana-gimana? Lo bilang apa barusan? Gengsi?"

"Iya gengsi."

"Maksud lo?"

"Iya, Lo gengsi kan mau minta maaf sama gue soal masalah kemarin?"

"Dih, ngapain juga gue gengsi sama lo, unfaedah tau gak!"

Sungguh rasa penyeselan merambat di dalam diri Lannia. Sekarang ia benar-benar merutuki diri karena kembarannya begitu pede.

"Sok iya banget sih lo. Tinggal minta maaf aja susah."

"Lagian lo itu bisa gak sih jangan over pede jadi orang?"

Tannia menggeser tubuhnya sedikit agar bisa berhadapat dengan Lannia.

"Siapa yang over pede? Gue?"

"Ya iya lah, anak mama sama papa yang paling over pede kan cuman elo, Tannia Alistra Dunawira."

Kini kepala Tannia mulai terasa panas.

"Lo juga ngerasa paling bener dong!"

"Lah kok lo yang jadi nyalahin gue?" Lannia mulai tidak terima dengan omongan Tannia.

"Bolot lo itu hasil pelihara atau emang dari lahir? Lo gak inget apa kejadian kemarin? Lo yang jelas-jelas buat prank murahan kayak gitu dan sekarang bukannya minta maaf malah ngatain gue yang enggak-enggak."

Lannia berdiri dari duduknya.

"Lagian ya, elo juga yang salah. Siapa suruh jadi orang baperan? Makanya lo itu harus kebal dong! Pantes gak ada cowok yang mau sama lo."

Tannia juga bangkit dari duduknya.

"Apa-"

"Bagus, bagus nak, Teruskan!"

Dinda bertepuk tangan sembari menuruni tangga, di sampingnya ada Aldo yang berjalan sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana.

Tannia yang tadinya hendak menampar pipi Lannia terpaksa harus menurunkan kembali tangannya.

"Udah? Siapa yang menang?" tanya Dinda.

Duo kembar itu hanya menundukkan kepala sambil memintir-mintir jari di belakang punggung.

"Kok diam? Udah berantemnya? Atau kalian butuh wasit?"

Tannia yang lebih dahulu menggelengkan kepala, "Enggak ma." tolaknya.

"Kalian ini ya, gak akur-akur. Berantem terus, gak capek apa berantem, ha? Kapan kalian dewasanya kalau terus-terusan begini? Masalah kecil pun bisa jadi panjang gara-gara kalian."

"Maaf ma," ucap mereka berbarengan.

Tannia merasa kalau Lannia mengikuti dirinya saat mengatakan permintaan maaf, jadi Tannia langsung menginjak kaki Lannia. Dan yang diinjak pun merasa tidak terima, kemudian Lannia membalas injakan kaki itu. Dinda hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingah kedua putrinya. Meskipun berada di posisi sedang dimarahi tapi bisa-bisanya mereka berdua melanjutkan aksi pertengkaran.

"Ehm." Dinda sengaja berdehem memberi kode untuk mereka berdua.

Spontan kaki mereka berhenti.

"Maaf ma." ucap mereka berbarengan lagi.

"Sekarang mama mau kalian berdua minta maaf, cepat!" titah Dinda.

Tannia dan Lannia saling berhadapan dan juga adu tajam pandangan. Di mata mereka berdua seperti berbicara untuk saling menunggu pembalasan satu sama lain.

"Bu-ru-an!"

Tannia lebih dulu menganggkat tangan untuk berjabatan dengan Lannia. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Lannia menerima jabatan itu dan langsung menekan sekuat tenaga tangan Tannia.

Otomatis Tannia mendelikkan mata merasakan rasa sakit di tangannya. Tapi karena Dinda sedang mengawasi mereka saat ini, Tannia langsung tersenyum menahan sakit di tangannya.

"Gue minta maaf ya, KAK TANNIA." Terdengar dari gaya bicara Lannia kalau dia tidak ikhlas meminta maaf kepada kakaknya.

"Iya, gue juga min-" Suara Tannia tertahan saat Lannia menguatkan genggaman tangannya.

"Minta maaf sama lo," lanjut Tannia.

Awas lo, Lan, batin Tannia.

Begitu Tannia menyelesaikan kata-katanya, Lannia langsung membuang tangan Tannia.

"Awas kalau mama liat kalian bertengkar lagi. Mama akan potong jatah bulanan kalian, paham?"

"Paham, Ma."

__00__

"Ngape lu mas, pake acara senyum-senyum sendiri segala," sapa Ilham saat memasuki kamar Afram mengantarkan pesanan mamanya.

"Anak kecil gak boleh tau," ledek Afram sambil tertawa.

Ilham langsung memasang wajah cemberut. Ia melanjutkan langkah kaki mendekati Afram yang sedang duduk di meja kerjanya.

"Ini, Lo disuruh langsung minum sama mama, kata beliau entar keburu dingin."

"Emang mama is the best dah." ujar Afram menerima kopi yang dibawa Ilham.

Ilham mengambil tempat di atas Kasur Afram. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar Afram memerhatikan segala penjuru sudut kamar.

"Tumben kamar lo rapi, mas?"

Afram yang sedang santai menyeruput kopi buatan mamanya langsung tersedak. Kopi yang berada di dalam mulut Afram muncrat keluar dari mulut dan membuat jas Afram kotor.

Ilham tertawa merasa senang melihat mas-nya itu tersedak.

"Mas, mas, minum kopi aja gak becus gimana mau jadi kepala keluarga." ejek Ilham.

Afram meletakkan kopi di meja, lalu membersihkan percikan kopi menggunakan tangannya.

"Maksud kamu mas belom bisa jadi kepala keluarga gitu? Mas belom layak maksud kamu?"

"Lah itu buktinya, minum kopi aja masih belepotan."

Afram berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan menuju lemari kemudian membukanya. Terlihat Afram memilah-milih baju, sepertinya ia berniat untuk menggatinya jasnya yang kotor terkena kopi.

"Gini ya, Ham. Mas itu hanya belom dapet gadis yang benar-benar berhasil buat Mas kesem-sem."

Afram membuka jas kemudian baju kemejanya. Tampak lah dada gempal berotot Afram. Meskipun sibuk mengurusi perusahan papanya, sebisa mungkin Afram berolahraga dan pergi ke gym untuk kebugaran tubuhnya. Sesekali ia pergi bersama Ilham ke gym. Ilham lebih sering ke sana ketimbang Afram.

"Terus Alara itu gimana mas? Apa belum berhasil buat hati mas goyang?" tanya Ilham sambil tersenyum licik menggoda Afram.