Chereads / ALARA / Chapter 8 - Bab 8. Perampokan

Chapter 8 - Bab 8. Perampokan

"Arghhhh" jerit Alara penuh penekanan ketika sebilah pisau berhenti tepat di lehernya.

"Serahkan uangmu sekarang!" pinta laki-laki berpakaian serba hitam. Wajahnya tertutupi topeng, hanya bagian mata, hidung dan juga mulut yang terlihat.

Pria berbadang tinggi jangkung itu menodongkan sebilah pisau tepat di leher Alara. Tidak banyak yang Alara bisa lakukan, ia hanya meringis ketakutan, keringat membanjiri tubuhnya saat ini. Bahkan ia sama sekali tidak berani membuka mata menatap pria yang di depannya karena sangking takutnya. Alara merasakan seluruh tubuhnya bergetar, begitu juga pompaan jantungnya yang semakin lama semakin kencang.

"Serahkan!" bentak laki-laki itu sambil mendekatkan pisau ke leher Alara.

Alara kontak kesulitan menelan ludahnya, tubuhnya bergetar saat mendengar bentakan pria di depannya.

"Ma-maaf mas, Saya gak punya uang," terang Alara takut-takut. Suaranya bergetar.

Pria itu semakin mengikis jarak antara pisau dan leher Alara, "Serahkan atau saya akan berlaku lebih dari ini?"

"Jangan mas, tapi saya memang tidak punya uang."

Pria bertopeng itu berdecih, "Kamu piker saya bodoh, ha? Kamu baru saja keluar dari mobil mewah dan kamu bilang kamu tidak punya uang."

"Saya benar-benar tida-"

Tiba-tiba saja tubuh pria bertopeng itu terpental beberapa meter dari Alara. Pria berbadan tegap mengenakan kemeja putih bersih dengan celana hitam menendang pencuri itu. Ya, pria itu adalah Afram. Dan jangan lupakan brewok Afram yang tercukur rapi menambah kesan gagahnya.

Afram menoleh ke arah Alara dengan air muka mengisyaratkan kekhawatiran atasnya, "Kamu gak kenapa-kenapa, kan?"

"I, Iya mas, aku gak papa kok."

"Anjing! Siapa kamu?"

Afram mengganti objek pandangannya sekarang ke arah pria bertopeng itu. Ia berusaha bangkit dari posisi terjatuhnya.

"Aku paling gak suka ada yang ikut campur sama urusanku."

Pria bertopeng itu langsung berlari menerjang Afram. Afram dengan gesitnya menghindar dari terjangan pria itu. Perkelahian pun tak terhindar. Berkali-kali pria bertopeng berusaha memukul Afram, tapi tidak satu pun kena. Afram terlehiat begitu berusaha menghindari pukulannya. Bahkan tidak sama sekali Afram berusaha membuatnya kalah.

"Saya tidak akan membuat kamu cidera," ujarnya di tengah-tengan perkelahian.

"Gak usah banyak bacot kamu!"

Pria bertopeng terus-terusan menyerang Afram. Setelah semua serangan tidak ada yang mengenai Afram, pria itu merogoh sakunya mengeluarkan sebilah pisau kecil.

"Kamu akan menyesal karena sok jadi pahlawan."

Dengan sangat gesit laki-laki bertopeng menggunakan pisau itu, tapi tetap saja tidak ada satupun yang berhasil mengenai Afram.

Afram langsung mengunci kedua tangan laki-laki bertopeng itu ketika melihatnya lengah, "Saya sudah bilang, saya tidak akan menyakiti kamu," katanya sambil menekan kedua pergelangan tangan laki-laki itu.

Afram membawanya mendekat ke Alara.

Alara yang menyaksikan pertarungan itu hanya bisa menahan nyeri karena melihat laki-laki bertopeng itu menggunakan senjata tajam untuk mengalahkan Afram.

Afram mendudukkan laki-laki bertopeng itu di hadapan Alara.

"Buka, Al!" pinta Afram.

Alara terkejut bukan main, "Ha? Saya?"

"Iya kamu, buruan buka!"

Alara diam selama beberapa detik mempersiapkan dirinya. Ia menelan ludah kemudian mulai menggerakkan tangan mendekat ke topeng laki-laki itu. Terlihat tangan ALara gemetaran saat menarik topeng laki-laki itu.

Tampak wajah yang cukup tampan, alis tebal dan menyatu, bibir tipis, mata kecoklatan dana satu lagi, sebuah hidung yang runcing. Di balik topengnya ada wajah berkulit sawo matang. Laki-laki itu juga masih terlihat muda.

Laki-laki itu memasang wajah bengisnya menatap mereka berdua dengan tatapan ketidaksukaan.

"Sudah berapa lama?" tanya Afram kepada laki-laki itu.

Hening.

Pria itu sesekali meainkan rahangnya sembari menatap Afram penuh kebencian.

"Sudah berapa lama?" tanya Afram kedua kalinya. Ia menekan kuncian tangan laki-laki itu hingga ia meringis kesakitan.

"Tiga bulan," jawabnya singkat.

Afram mengangguk pelan, "Buat apa?"

"Lo banyak bacot ya, buat apa gue ngejelasin semua sama lo?"

Afram tersenyum tipis, "Saya tanya buat apa? Susah untuk dijawab?"

"Mas, udah kita bawa aja dia ke kantor polisi, biar polisi aja yang urus." Alara mencoba memberi saran. Ia melihat wajah laki-laki itu menatap Afram dengan penuh kebencian, sepertinya ia tidak suka diintrogasi seperti ini oleh Afram.

"Kamu tenang aja ya, jangan takut, ada saya di sini."

Afram kembali menatap wajah laki-laki itu, "Saya tanya sekali lagi sama kamu, buat apa?"

"Woy, lepasin dia!"

Afram langsung menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakangnya. Dua orang pria yang sama-sama berpakaian serba hitam dan juga memakai topeng yang sama yang dikenakan laki-laki yang sekarang sedang bersamanya.

"Itu temen kamu?" tanyanya pada laki-laki itu.

"Lo bakal mampus sekarang."

Afram memegang kedua tangan laki-laki itu dengan satu tangan sekarang, tangan satunya ia gunakan untuk melepas tali pinggang. Setelah itu, Afram langsung mengikatkan tali pingggang tadi di tangan laki-laki itu.

"Urusan kita belum selesai."

Usai mengikat, Afram bangkit dari duduknya dan berdiri menatap kedua pria di hadapannya. Di tangan keduanya masing-masing ada pistol yang siap menembakkan peluru menembus tubuh Afram.

Afram melepas kasar dasinya, kemudian satu persatu kancing kemeja ia lepas.

"Al, tolong pegang kemeja saja," Setelah semua kancing kemeja selesai dilepas, Afram menyerahkan kemejanya itu kepada Alara. Dan kini ia hanya mengenanakan kaos putih polos tanpa lengan. Tercetak jelas sekarang urat dan juga otot besar milik Afram.

Afram memasang kuda-kuda bersiap melawan mereka berdua. Ia merenggangkan otot tangan dan juga lehernya sebelum memulai pertarungan.

__00__

Usai menyelesaikan bokernya. Tannia meletakkan hpnya asal di atas Kasur kemudian berjalan ke luar menuju kamar Lannia. Kamar Tannia berada di lantai bawah dan kamar Lannia berada di lantai dua. Tannia menaiki anak tangga satu persatu. Sekarang Tannia sudah berada tepat di depan pintu kamar Lannia.

"Assalamualaikum Lannia…" Tannia sengaja memekikkan suaranya karena memang dia berniat menggangu Lannia.

Pintu terbuka, Lannia menatap malas wajah Tannia.

"Ngapain sih lo? Ganggu aja malam-malam."

Tannia menoyor kepala Lannia, "Woy, lo kali yang nyuruh gue ke kamar lo."

"Ya tapikan lo yang nge-chat gue duluan bego."

"Bego? Enak aja lo ngomongin gue bego, lo kali yang bego."

Lannia menegapkan badannya kemudian berkacak pinggang, "Mending gue bego tapi cantik, lah elu? Udah bego bau lagi."

Merasa tdak terima dibilang bau, Tannia menyikut bahu Lannia, "Apa lo bilang? Gue bau?"

"Iya, lo itu bau tau!"

"Lo itu seharusnya nyadar, siapa di antara kita yang paling males mandi? Elu kan?"

"Hellow, permisi sebentar ya mbak. Ya seharusnya nyadar itu elo, elo yang paling jorok di antara kita berdua, elo yang paling males mandi."

Kepala Tannia mulai mendidih sekarang, ia menatap Lannia dengan tatapan penuh amarah. Berbeda dengan Lannia, gadis itu malah menatap Tannia seperti tatapan orang meledek. Bahkan sesekali Lannia memeletkan lidahnya mengejek Tannia.

"Lo bilang gue bego, bau? Iya kan?"

Lannia menurunkan tangannya dari pinggang kemudian mengacungkan jempol untuk Tannia, "Nah gitu dong, akhirnya lo sadar juga."

Tannia berdecih, "Kalau gitu gue langsing dan lo-" Tannia tidak melanjutkan omongannya, ia sedikit menggembungkan pipinya memberi isyarat kalau ia ingin mengatakan bahwa Lannia gendutan.

Cewek mana yang terima dikatain gendut?

Kali ini keadaan berbalik, Lannia yang merasakan cairan di otaknya mulai mendidih karena dikatain gendut oleh Tannia. Sedangkan Tannia malah tertawa cekikikan melihat perubahan ekpresi di wajah Lannia.

"Lo ya," Lannia tanpa basa-basi langsung menjambak rambut Tannia sekuat mungkin.

Tannia juga tidak tinggal diam, ia juga menjambak rambut Lannia sekuat mungkin. Perdebatan mereka malam ini berlanjut dengan aksi jambak-jambakan khas wanita jika bertengkar.

"Sakit bego, lepasin rambut gue!" teriak Lannia di sela-sela aksi.

"Gak, lo dulu yang lepas, gue gak mau."

Lannia menguatkan tarikan tangannya di rambut Tannia, "Dasar bau!"

"Dasar gendut!"

"Arghhhhh" Lannia menjerit sekuatnya. Ternyata jambakan Tannia begitu kuat hingga membuatnya menjerit kesakitan.

"LANNIA, TANNIA," teriak seseorang di bawah tangga.

Dinda menjerit dari bawah tangga untuk menghentikan pertengkaran kedua putri kembarnya. Ia tergesa-gesa menaiki satu persatu anak tangga. Terlihat wajah penuh emosi pada Dinda. Ragu-ragu Duo gesrek itu melepaskan jambakan mereka kemudian langsung menjauhkan satu sama lain.

Sekarang Dinda sudah berdiri di hadapan mereka, menatap keduanya tajam menunggu penjelasan.

"Tannia ma yang mulai." Lannia yang pertama kali membuka suara.

Sontak Tannia membuka mulutnya lebar terkejut dengan pengakuan yang Lannia utarakan.

"Kok gue? Lannia dulu yang mulai, Ma."

"Pantes Indonesia gak maju-maju kalau penduduknya kayak gini." sindir Lannia.

"Maksud lo?"

"Tuh kan, pake acara stel polos lagi. Emangnya ada lagi orang bolot di rumah ini selain kamu?"

"Lo itu-"

"Udah? Masih mau lanjut?" potong Dinda.

Dinda benar-benar tidak habis pikir melihat kedua putri kembarnya ini. Bisa-bisanya saat sedang dimarahi seperti ini mereka masih melanjutkan cekcok mulut itu. Pertengkaran mereka berdua sudah hampir menjadi makanan bagi Dinda sehari-hari. Jika ada saja satu hari tanpa mendengar mereka bertengkar, maka itu adalah surga dunia bagi Dinda dan juga Aldo. Sejak kecil mereka berdua selalu ribut, bertengkar mulut hanya karena masalah sepele. Namun Dinda dan juga Aldo tahu bahwa mereka berdua sama-sama saling menyayai. Hanya saja mereka belum atau bahkan gengsi untuk terlihat baik di hadapan satu sama lain. Maka dari itu bertengar adalah jalan ninja mereka.

"Kok diem? Atau mama pergi dulu baru kalian lanjut? Oke kalau begitu, Mama pergi."

Baru saja Dinda melangkah satu langkah, Tannia dan Lannia kompak memegang tangan kanan dan tangan kiri Dinda mencegahnya agar tidak pergi.

"Maaf ma," tutur Lannia dan Tannia berbarengan.

Lannia langsung melotot ketika menyadari ternyata mereka mengatakan maaf itu berbarengan dengan Tannia.

"Kita jan-"

Lagi, mereka berdua mengucapkan kata bersamaan.

"Lo bisa gak jangan ngikutin gue?"

Tannia merasa tidak terima, "Dih, Lo yang pedean."

"Emang iya kok, lo itu plagiat."

"Astaghfirullah, Kapan kalian dewasanya nak?"

"Ma, maafin Lannia ya, marahin Tannia aja tuh!"

"Mulut lo itu emang cocoknya dijahit aja ya biar gak ngasal kalo ngomong."

Dinda memegangi kepalanya. Ia merasa pusing melihat kelakuan dua putrinya itu. Sepertinya cara terbaik agar ia tidak pingsan adalah pergi dari tempat ini dan menutup kuping rapat-rapat supaya suara keributan yang dihasilkan dari pertengkaran kedua putrinya itu tidak membuatnya benar-benar pingsan nanti.

"Gendut!"

"Bau!"

"Bego!"

"Bolot!"

__00__

"Buka topeng kalian sekarang!"

Cih!

Salah satu dari pria bertopeng yang sekarang sudah Afram bekukan meludahi wajahnya.

Afram melototi wajahnya, ia menatap tajam ke arah pria yang meludahinya. Ia menyeka ludah di wajahnya menggunakan tangan.

"Al," panggilnya.

Alara yang berada di dekat laki-laki pertama yang dibekukan Afram langsung menoleh ke arahnya.

"Ya, kenapa mas?" jawabnya.

"Boleh saya pinjam tas kamu?"

Alara langsung melirik ke arah tas samping yang menggantung di bahunya. Sebuah tas samping berwarna hitam kilat.

Alara mengangguk, "Boleh mas."

Alara menyerahkan tas itu kepada Afram. Dengan sekuat tenaga Afram meutuskan tali tas itu.

"Maaf Al, nanti akan saya ganti."

Afram menyerahkan sisa tas tadi kepada Alara.

Dengan begitu gesit, Afram langsung melilitkan tali tas tadi ke leher perampok yang meludahinya tadi, "Siapa kalian?"

Yang diikat lehernya menggelinjang kehabisan napas. Tubuhnya bergerak seperti cacing kepanasan. Tangannya memukul-mukul ke sembarang tempat karena berusaha mencari napas.

"Jawab!"

Afram melonggarkan lilitan di leher pria itu memberinya ruang untuk bernapas.

"Saya akan mengatakan hal sebenarnya, tapi kamu harus berjanji untuk tidak membawa kasus ini ke pihak berwajib."

Afram mengangguk, "Baik. Saya tidak akan membeberkan kasus ini ke ranah hukum."

Afram melepas lilitan di leher pria itu kemudian berdiri.

Pria yang tadi masih memegangi lehernya yang terasa sakit akibat lilitan Afram tadi. Ia juga masih terduduk di atas tanah. Tanngannya merogoh saku celana mengelurkan benda canggih berbentuk persegi Panjang.

"Kamu baca ini."