"Lannia, cepat!" pekik Tannia tidak sabar menunggu kembarannya itu. Dia berdiri sambil menyilangkan tangan di dada, sesekali matanya melirik arlogi yang mengitari ruas tangannya.
"Cepat atau gue tinggalin lo di rumah sendirian?" ancam Tannia.
Hening.
Tidak ada terdengar suara sama sekali, yang biasanya Lannia tidak kalah heboh dengan Tannia. Tapi kenapa kali ini dirinya tidak seperti biasa.
"Lan?" panggil Tannia sekali lagi.
Posisi Tannia sekarang sedang berdiri di ruang tamu di lantai bawah, sedangkan Lannia berada di kamar di lantai dua. Merasa ada yang aneh, Tannia memutuskan untuk mendatangi kamar kembarannya. Meskipun mereka kembar, Lannia dan Tannia tidak satu kamar. Semua itu karena kemauan mereka berdua, Papa dan mama mereka menginginkan agar duo gesrek itu menetap dalam satu kamar. Tapi apa boleh buat, duo gesrek itu teteap bersih keras ingin memeliki kamar sendiri-sendiri.
Sekarang Tannia sudah berada di depan pintu kamar Lannia. Sebelum mengetuk pintu, Tannia memastikan terlebih dahulu dengan cara mendekatkan telinga ke daun pintu. Siapa tau dengan begitu ia dapat menangkap basah Lannia. Ternyata dugaannya salah, tidak ada sama sekali telinganya mendengar suara.
"Lan?" panggil Tannia seraya mengetuk pintu.
Masih sama, belum ada respon dari Lannia. Kemudian Tannia kembali mengetuk pintu untuk kedua kalinya, "Lan? Lo gak kenapa-kenapa kan?"
Hening.
Tannia menyentuh pegangan pintu kemudian membukanya.
"Gak dikunci? Tumben."" Tannia merasa heran, biasanya kamar Lannia sangat-sangat privasi mengalahkan kantor berisi dokumen-dokumen negara.
Perlahan Tannia mendorong pintu, sekarang pukul 7 pagi dan kamar Lannia masih gelap belum masuk di dalam sana cahaya matahari. Hal pertama yang Tannia lakukan adalah berjalan mendekati jendela bermaksud untuk membuka gorden.
"Allahuakbar!" jerit Tannia kaget.
Usai membuka gorden mata Tannia disuguhkan pemandangan yang sangat mengejutkan. Lannia pingsan dengan posisi duduk di lantai bersenderkan tempat tidur. Tannia langsung berlari mendekati kembarannya itu.
"Lan, bangun lan bangun!" Tannia begitu panik.
Sungguh keadaan yang amat tragis, tangan Tannia memegang lengan Lannia, ada bercak darah di sana. Keadaan semakin menjadi mengerikan karena Tannia juga melihat sebilah pisau tepat di samping Lannia duduk saat ini. Di pisau itu juga ada darah.
"Lan, lo kenapa lan? Bagun Lan, bangun!" teriak Tannia histeris.
Tannia merasakan dirirnya sangat hancur saat ini melihat kembarannya seperti itu. Ia terus memeluk tubuh Lannia. Sesekali ia menyelipkan anak rambut Lannia di ujung telinga.
"Lan, bangun lan, bangun!" lirih Tannia. Bahkan kini ia tak kuasa untuk berbicara. Isakan tangis Tannia mendominasi ruangan.
"MA, PA, LANNIA!" Setelah mengumpulkan sekuat tenaga, akhirnya Tannia bisa menjerit memanggil kedua orang tuanya.
Tannia terus menggunjang tubuh Lannia berharap agar adiknya itu segera sadar. Hati Tannia terasa hancur berkeping-keping. Air matanya tak henti-henti mengalir begitu deras.
"Lan, bangun lan, lo gak boleh pergi!" Terdengar begitu memilukan perkataan Tannia. Siapa yang menyangka hidup Lannia berakhir begitu saja dengan cara yang mengenaskan seperti ini. Kini jilbab Tannia sudah basah karena air matanya. Tannia menciumi Lannia berkali-kali, sungguh pemandangan yang memilukan. Tannia belum siap jika harus kehilangan Lannia sekarang.
"Kenapa Tan… Lannia!" Dinda, ibu mereka langsung menjerit menutup mulutnya dan berlari mendekati Lannia.
"Lannia bangun lan, anak mama bangun nak!"
Aldo meneteskan air mata seketika melihat Lannia dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Ia membalik badan dan langsung menumbukkan punggung tangannya ke pintu.
"Lannia, Lannia amak mama bangun sayang, bangun!" raung Dinda penuh penekanan.
Dinda menarik-narik baju Lannia mencoba menyadarkannya.
"LANNIA BANGUN!" Dinda memekikkan suaranya hingga menggema di kamar.
"Prank!"
Lannia melompat menjauh dari Tannia dan juga Dinda. Selang sedetik kemudian bibirnya memuncratkan ludah karena tidak tahan menahan tawa. Ya, Lannia tertawa lepas sambil berguling-guling sekarang. Dirinya begitu puas dan bangga karena aktingnya mengelabuhi Tannia berhasil. Bukan hanya Lannia yang tertawa di sini, Aldo dan juga Dinda ikut andil tertawa terbahak-bahak.
"Yeye berhasil, berhasil," ujarnya sambil berjoget ria seperti anak kecil. Lannia senang bukan main, kali ini dia sangat bahasgia berhasil menipu kembarannya, Tannia.
Tannia menggaruk kepalanya bingung, "Ma, Pa?"
Lannia menyentuh punggung Tannia sambil tertawa, "Lo liat Tan, kalo gak sanggup silahkan melambaikan tangan ke kamera." pinta Lannia sambil menunjuk ke sebuah meja.
Tannia langsung mengepalkan tangannya geram melihat tingkah Lannia, matanya juga ikut membulat melihat ada kamera di atas meja tertutupi vas bunga.
"Jadi semua ini emang udah direncanain?" tanya Tannia tidak terima.
Aldo mendekati Tannia, "Maaf sayang, ini semua ide adik kamu." terang Aldo sambil mengedikkan bahu ke arah Lannia.
Tannia merasa sangat geram, "Awas lo ya, lo tunggu pembalasan gue," Ancam Tannia lalu langsung keluar kamar.
Sedangkan Aldo, Lannia dan juga Dinda hanya tertawa puas melihat Tannia ngambek.
__00__
Hari ini hari minggu, jadi Alara berniat untuk menyelesaikan hasil ulangan kemarin yang ia berikan kepada murid-murid TKP. Tapi malangnya, Alara lupa untuk membawa lembar jawaban kemarin di hari sabtu, sehingga dirinya harus pergi ke TKP terlebih dahulu baru bisa memeriksa lembar jawaban itu. Sudah separuh jalan tadi mengendarai angkot langganan biasa, tapi tiba-tiba saja mendadak ban angkot itu bocor. Terpaksa Alara harus menuntaskan perjalannanya dengan berjalan kaki.
Matahari mulai terik sekarang, jam menunjukkan hampir pukul sepuluh pagi.
Alara berjalan di trotoar pinggir jalan, matanya dimanjakan dengan pepohonan rindang yang sengaja ditanam pemerintah kota untuk mengurangi setidaknya pencemaran udara dan menjegah terjadinya global warming.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, kini Alara sudah sampai di TKP. Tidak ingin mengulur waktu lebih banyak lagi, Alara langsung mengambil lembar jawaban anak-anak dan langsung keluar kemudian mengunci pintu.
Setelah pintu terkunci, Alara kembali melanjutkan ayunan kakinya menuju rumah. Sekarang sudah banyak orang yang berlalu-lalang bersamanya di trotoar. Pria, wanita dan anak-anak mendominasi trotoar. Kota Jakarta yang katanya akan membawa kesuksesan bagi siapa saja yang merantau ke sana. Di kota ini lah Alara dibesarkan, dan di kota ini pula kehidupan Alara akan berubah.
Banyak pengamen yang duduk di pinggir jalan, hanya sekedar untuk menghitung uang hasil kerja keras mereka. Tak sedikit pula pedagang kaki lima berjejer di sana menjajakan dagangan mereka. Para pejalan kaki melihat ke kanan dan ke kiri memandangi jalanan kota Jakarta yang tumben pada hari ini terlihat sepi. Tidak ramai seperti biasanya.
Kaki Alara tepat berhenti di seberang garis berwarna hitam putih. Ya, dia ingin menyebrang. Alara memerhatikan kanan kiri, mengawasi arus jalanan dan menunggu waktu yang tepat untuk menyebrang.
Tiba-tiba saja matanya melihat seorang nenek tua di seberang jalan yang sama dengannya ingin menyebrang. Tapi nenek itu tidak memerhatikan kanan dan kirinya, nenek itu asal menyebrang.
Mata Alara kian bertambah lebar kala ada mobil dari arah kanan melaju kencang.
"AWAS, NEK!" teriak Alara.
Sebuah mobil Civic Tipe-r yang melintas di belakang nenek itu membelok ke tengah jalan. Mobil yang tadinya melaju kencang menabrak mobil civic type-r itu. Sang nenek yang berada di situasi yang hampir saja melayangkan nyawanya itu langsung berjongkok di tengah jalan sembari menutupi telinganya.
Civic berwarna putih itu mengalami kerusakan di bagian samping, banyak peotan di bodi masing-masing mobil. Mobil satu lagi yang berwarna hitam mengalami kerusakan di bagian depan. Asap tipis keluar dari mobil hitam. Dari mobil civic itu keluar sesosok pria yang pernah Alara temui.
"Dia, kan?" Alara mencoba mengingat.
Alara langsung berlari mendatangi si nenek kemudian membantunya berdiri.
"Nenek gak kenapa-kenapa kan?"
"Nenek oke kan?" Afram nimbrung ikut menanyakan keadaan sang nenek.
Yang ditanya melempar senyuman, "Nenek gak kenapa-kenapa." Jawabnya dengan nada khas orang tua.
"Syukur lah," Alara menghembuskan napas lega.
"Ya udah nek, kita ke pinggir jalan dulu ya?"
"Nek tunggu!" Afram menghentikan langkah kaki si nenek.
"Biar Afram aja yang nganterin nenek gimana?" tawar Arfam.
"Tapi mobil kamu-"
"Tenang aja nek, sebentar lagi supir saya datang buat jemput."
"Supir?" batin Alara keheranan dalam hati.
"Maaf Al, kamu ikut juga ya, jagain nenek sebentar. Nanti saya akan antar kamu pulang."
Alara meletakkan tangannya di dada, "Maaf, saya akan ikut dengan kamu mengantarkan nenek, tapi nanti saya pulang sendirian aja, terimakasih."
Yaps, tentu saja Alara akan menolak tawaran untuk berada dalam satu mobil bersama orang yang bukan mahramnya.
"Baiklah," Afram mengangguk paham.
Tin!
Tak lama muncul Toyota fortuner hitam kilat membunyikan klakson.
"Ayo nek!" Afram membukakan pintu penumpang terlebih dahulu mempersilahkan sang nenek dan Alara masuk terlebih dahulu.
Sesudah mereka berdua masuk, supir Afram turun dari mobil dan berniat membukakan pintu utnuk afram, tapi Afram langsung mengangkat tangan mencegah si supir untuk melakukan itu.
"Biar saya, pak."
Sang supir menunduk patuh dan kembali masuk di tempat kerjanya.
"Baik pak, langsung jalan!" pinta Afram saat setelah memasuki mobil.
__00__
Di dalam pikiran Alara sekarang adalah tindakan heroik yang baru saja Afram lakukan. Ia sengaja membelokkan mobil, membahayakan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan seoarang nenek tua penyebrang jalan yang kurang berhati-hati. Beragam spekulasi kini menguasai Alara. Dalam hatinya seperti merasa ada sebuah tarikan utnuk mengetahui siapa pria itu sebenarnya.
Benarkah ia supir cowok songong tempo hari yang hampir saja menabraknya atau ia bukan seoarng supir?
Yang pasti, rasa ingin tahu Alara terhadap pria itu semain kuat. Pria berbrewok tercukur rapi, selalu berpakain rapi itu sekarang membuat Alara mulai merasakan gejolak aneh.
"Nenek laper gak? Kita makan dulu gimana?"
"Nenek takut ngerepotin kamu," tolak si nenek.
Afram terkekeh pelan, "Gak masalah nek, anggep aja ini hadiah dari Afram buat nenek, Oke?"
Sang nenek hanya mengangguk patuh mengiyakan ajakan Afram.
"Kamu ikut ya, Al!?" ajak Afram.
"Baik, saya ikut." jawabnya sangat singkat.
Tindakan yang barusan saja Afram lakukan membuat Alara mulai menemukan hipotesa sekarang. Entah kenapa Alara mulai yakin, kalau pria yang hampir membahayakan nyawanya tadi adalah pria yang baik. Jujur saja, Alara benar-benar mesakan ada gejolak lain di hatinya. Alara sendiri bingung dengan apa yang terjadi pada hatinya.
"Mungkinkah ini-"
"Enggak Al, enggak mungkin!"
Terjadi perdebatan dalam diri Alara.
__00__
Tujuan mereka berjenti di sebuah restoran yang cukup mewah. Dilihat dari mobil-mobil mewah yang terparkir di halaman restoran.
"Ayo nek," Afram membukakan pintu mobil untuk sang nenek. Alara membantu nenek untuk turun.
"Makan yang banyak ya, Nek!"
Si nenek hanya tertawa geli mendengar permintaan Afram, "Kamu liat ni," Nenek itu nyengir menunjukkan gigi ompongnya, "Gigi aja gak punya gimana mau makan banyak." canda nenek itu.
Kini mereka sudah berada di dalam restoran. Pengunjung restoran terlihat seperti dari kalangan atas. Pakain yang mereka kenakan begitu mewah dan kekinian. Alara melirik kanan kiri memerhatian setiap inci dari sudut restoran.
"Kamu kenapa, Al?" Afram sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Alara merasa heran.
"Kamu gak salah ngajakin makan di sini? Pasti makanan di sini mahal-mahal loh."
Afram tersenyum, "Gak usah dipikirin! Ntar aku yang bayar."
"Tapikan sayang uangnya, lebih bagus kamu kasih uangnya ke aku biar aku yang masak."
"Emang kamu bisa masak?" tanya Afram dengan nada meledek.
Air muka Alara seketika berubah, ia menekuk bibir. Bersyukur perubahan wajah itu tidak begitu kentara dan bisa dilihat oleh orang lain karena Alara menggunakan cadar.
"InsyaAllah." jawabnya polos.
"Wah pas, tipe aku banget nih," batin Afram.