Kisah Alara masuk SD.
"Belajar yang bagus ya, Nak, nanti kalau kamu dapat nilai sepuluh Ibu bakal beliin kamu boneka," ucap Maryam sambil mencowel hidung Alara.
"Tapi Alara takut, Bu."
Maryam menurunkan badannya, menyetarakan tingginya dengan Alara. "Anak Ibu gak boleh takut. Alara harus berani." Maryam mengepalkan tangannya, memberi semangat.
"Kata temen Alara gurunya serem, Bu, kayak nenek lampir."
Maryam terkekeh mendengar penuturan Alara, "Siapa bilang gurunya kayak nenek lampir, Bu gurunya baik banget. Jadi anak perempuan itu harus berani, gimana mau jagain Ibu nanti kalau sekolah aja takut."
"Tapikan, Bu—"
Maryam langsung menutup mulut Alara menggunakan jari telunjuknya, "Ibu yakin kamu pasti bisa. Udah sekarang salim Ibu, Ibu mau pulang."
Alara memanyunkan bibirnya, tapi tetap meraih tangan Maryam lalu menciumnya. Setelahnya Maryam mencium kening Alara dan mulai berjalan pergi meninggalkan Alara. Baru berjalan beberapa langkah, Maryam menoleh ke belakang lalu melambaikan tangan ke arah Alara diiringi kepalan tangan memberi semangat untuk Alara.
Alara hanya bisa tersenyum saat itu, matanya terus mengikuti Maryam sampai sebuah mobil melaju sangat kencang dan menabrak Maryam.
"IBU!!!"
Di depan matanya sendiri, Maryam ditabrak mobil dengan kelajuan yang super kencang lalu pergi begitu saja meninggalkan Maryan, tergeletak di tengah jalan dengan tubuh bersimbah darah. Alara langsung berlari mengejar ibunya. Air mata sudah tak tertahankan lagi, begitu derasnya sampai membasahi pipi Alara.
"Ibu bangun, Bu, bangun. Ibu bangun!" Alara mengguncang tubuh ibunya. Hatinya hancur berkeping-keping melihat tidak ada respon sedikit pun dari Maryam. Melihat ibunya berlumuran darah hingga baju yang dikenakannya pun sudah berubah menjadi warna darah, benar-benar menguras air matanya.
Orang-orang mulai berdatangan, mereka langsung mengangkat Maryam ke dalam mobil yang mereka hentikan. Seseorang memegangi tubuh Alara.
"Lepasin, Alara! Alara mau ikut Ibu," Alara terus menjerit dan berusaha melepaskan tubuhnya dari pegangan seorang pria gondrong.
"Lepasin, Alara mau ikut Ibu, Alara mau ikut Ibu." Suara gadis itu mulai mereda, dengan pasrah ia menjatuhkan tubuhnya ke jalan. Sudah tak ada lagi tenaga yang tersisa untuk memberontak melepaskan diri.
***
"Permisi!" ucap seorang pria di ambang pintu dengan suara sangat sopan sambil tersenyum ramah. Alara yang saat itu memasukkan barang-barang yang sempat dia keluarkan dari dalam tasnya, menoleh ke sumber suara.
Suara bariton yang sama yang pernah Alara dengar hari itu. Belasan pasang mata langsung mengarah ke sumber suara. Pria bertubuh tinggi, brewok tercukur rapi. Bola mata indah ditambah lagi gaya pakaian yang super rapi. Pria itu mengenakan kemeja biru muda dengan celana bahan berwarna hitam.
"Maaf, Mas, ada yang bisa dibantu?" Alara bertanya santun.
"Ini saya temukan di jalan, saya yakin ini punya kamu." Yang kini berdiri di hadapan Alara adalah Afram. Dia menyerahkan kotak kacamata berwarna hitam polos.
Alara terkejut melihat kacamata yang dari tadi ia cari, sampai jam pelajaran yang seharusnya sudah dimulai beberapa menit lalu jadi terhenti gara-gara kacamata Alara hilang. Tapi bagaimana bisa kacamata itu sekarang ada pada Afram?
"Maaf, Mas, dari mana Mas tau kalau ini punya saya?" Alara bertanya kebingungan.
"… itu ada nama kamu di dalam kotaknya."
"Apa, Mas, nama? Kenapa Mas bisa tau nama saya juga?"
Jleb!
Afram mati kata. Ia kehabisan bahan pembicaraan. Tidak mungkin ia jujur kalau ia bisa tau nama Alara dari Ilham, adiknya.
Tidak ingin basa-basi, Alara langsung menerima kotak itu, "Terima kasih. Kamu supirnya cowok songong itu, kan?" tanya Alara to the point. Ingatannya kemarin, tentang pintu mobil yang membuatnya terjatuh, muncul kembali.
Afram langsung tersenyum, "Saya—"
"Ya sudah, Mas, terima kasih sekali lagi ya, dan juga saya titip salam sama majikan, Mas. Tolong perbaiki attitude-nya," Alara mengatakan itu sedikit kesal.
Tidak ada yang bisa Afram lakukan selain tersenyum mendengarkan celotehan Alara. Bahkan Alara belum tahu dengan siapa saat ini ia berbicara.
Melihat ada yang aneh dengan pria yang ada di hadapannya membuat Alara risih. Bagaimana tidak, Afram bukannya malah pergi, pria itu senyum-senyum sendiri melihat Alara.
"Hei, Mas," Alara melambai-lambaikan tangan tepat di depan wajah Afram, "Mas kenapa, ya?"
Spontan Afram mengedipkan matanya sambil melihat ke arah bawah, dan jangan lupa dengan gelengan kepala, "Astaghfirullah," ucapnya dengan nada pelan.
"Saya pamit, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Dasar aneh." bisik Alara.
Bagaimana bisa laki-laki tadi tahu kalau namanya Alara? Ah, sudahlah!
Alara membuka kotak kacamatanya. Setidaknya ia lega karena kacamata itu tidak hilang, pasalnya benda itu sangat berharga bagi Alara.
"Baiklah, anak-anak, apa kabar semua?"
"Baik, Bu!"
"Alhamdulillah. Baiklah, sebelum memulai pelajaran kita hari ini, seperti biasa, Arya, maju ke depan dan pimpin doa ya."
"Baik, Bu." Anak bernama Arya tadi langsung maju ke depan kelas dan memimpin doa sebelum belajar, "Bismillahirrohmanirrohim. Rabbi zidna ilman warzuqni fahman wa amalan sholihan. Amin."
Usai memimpim doa Arya langsung kembali menuju tempat duduknya.
Taman Kanak-kanak Permata atau akrab disapa TKP adalah tempat dimana Alara mendedikasikan dirinya setelah satu tahun tamat SMA. Sekolah dengan murid yang hanya berjumlah sepuluh orang itu menjadi tempat penuh kebahagian bagi Alara. Sekolah yang berusia 3 tahun itu sudah menghasilkan anak-anak yang membanggakan kabupaten tempat Alara tinggal. Bahkan sudah mewakili tingkat provinsi. Walau kalah tapi setidaknya Alara bisa dikatakan berhasil melahirkan murid-murid berkompeten.
Berawal dari hanya sekedar mencari aktivitas, Alara dulunya hanya berinisiatif untuk mengajar anak-anak jalanan yang tidak mampu untuk membayar biaya sekolah. Alara tidak mau melihat anak-anak itu hidup dengan kepala kosong. Dirinya juga tidak ingin anak-anak itu kehilangan masa depan mereka. Alara tahu dan bahkan mengalami bagaimana rasanya di saat ingin bersekolah namun harus terkendala biaya. Gadis itu ingin sekali melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, ia ingin menyandang gelar mahasiswa. Namun apalah daya, keterhambatan biaya membuatnya terpaksa harus dipukul mundur. Bukan hanya soal biaya, keadaan keluarga juga tidak memihaknya. Ayahnya yang waktu itu sakit-sakitan membuat Alara harus menguras pikiran dan juga tenaga untuk menghidupi dirinya sendiri dan juga ayahnya.
Dahulu, Alara hidup serba berkecukupan. Tidak pernah ada kata "Sabar ya, Nak, Ibu atau Ayah belum punya uang." Hidup Alara hampir mendekati sempurna. Selepas meninggalnya Maryam, perlahan semuanya berubah. Andi, ayah Alara mengalama depresi akut, sehingga dirinya tidak bisa bekerja. Para karyawan ayahnya di kantor memanfaatkan situasi itu untuk mengambil keuntungan. Oknum-oknum jahat yang selama ini menantikan masa keemasan itu merajai perusahan yang susah payah dibangun Andi begitu saja.
Satu persatu harta Andi mulai raib, dan kini tidak tersisa sedikit pun. Beruntung Allah memiliki rencana yang benar-benar tidak diduga. Bi Aini, pembantu keluarga Andi yang sudah bekerja selama sepuluh tahun bersama mereka dengan besar hati mau menampung Alara dan juga Andi di rumahnya.
Sejak saat itulah, hubungan Alara dengan Allah semakin membaik. Setelah tamat SMA Alara memutuskan untuk mengenakan cadar. Dirinya berusaha sebisa mungkin menjadi wanita sholehah. Ia ingin menyandang julukan perhiasan dunia untuk suaminya nanti.
Di masa-masa hijrah, Alara sangat ingin sekali menikah, ia ingin seseorang menjadi pembimbingnya. Ia merasa jika ada hadirnya seorang pembimbing menemani masa-masa hijrahnya maka akan semakin lebih mudah lagi bagi Alara dalam meniti jalan menuju surga-Nya.
Baru saja Alara ingin menuliskan pelajaran hari ini di papan tulis, tiba-tiba ia mendengar suara tangisan. Alara mendekati sumber suara tangisan itu. Suara itu berasal dari suara seorang anak kecil bernama Alya.
Alara berpangku pada lututnya, menyetarakan posisi dengan Alya. "Alya kenapa nangis?" tutur Alara dengan suara yang penuh kelembutan.
Yang ditanya masih mengatur napasnya, Alya sesegukan, "A-Alya dibilang hitam kak sama Farhan."
Otomatis mata Alara menatap tersangka yang bernama Farhan, "Benar itu Farhan?" tanya Alara.
Terlihat aura ketakutan di wajah Farhan, "E-anu, Kak." Murid-murid TKP biasa memanggil Alara dengan sebutan Kakak.
"Iya, Kak, tadi Ira denger kok waktu Farhan bilang Alya hitam."
Farhan langsung mengepalkan tangannya ke arah Ira seolah memberikan ancaman kepadanya karena sudah berani angkat bicara.
"Sudah-sudah. Alya jangan nangis, ya!" Alara mengelus-elus bahu Alya berusaha menenangkannya.
"Sekarang semuanya duduk di tempat masing-masing. Alya dan Farhan ikut kakak ke depan."
Delapan murid yang lain langsung kembali ke tempat mereka mengikuti komando dari Alara. Sedangkan dua murid lagi mengikuti Alara dari belakang.
"Kakak mau tanya, kenapa warna kulit manusia itu ada banyak warnanya?"
"Karena kalau yang hitam itu nenek moyangnya monyet kak," jawab Farhan asbun.
Seluruh kelas tertawa mendengar jawaban asbun Farhan. Meskipun sedang dihukum, anak itu tetap berani berbuat ulah.
"Salah. Ada yang tau kenapa?"
Hening.
Seluruh murid saling bertukar pandang, tidak seoarang pun dari mereka yang tahu apa jawaban dari pertanyaan Alara.
"Dimas, kamu tau jawabannya?"
Dimas adalah murid terpandai di kelas Alara saat ini. Sepertinya dia juga tidak tahu jawaban apa yang harus ia berikan dari pertanyaan Alara. Dimas hanya menggelengkan kepalanya, tidak tahu.
"Nadila?"
"Nadila gak tau kak."
"Asep?"
"Sama kak, Asep juga gak tau."
"Siapa manusia pertama di muka bumi?"
Seluruh murid mengangkat tangan mereka berebut ingin menjawab duluan.
"Dimas?"
"Nabi Adam, Kak."
"Bagus. tepuk tangan!"
Dimas bersorak ria karena berhasil menjawaab pertanyaan.
Kini suara tepukan tangan mendominasi ruangan.
"Dari apa beliau diciptakan?"
Kali ini hanya Nadila yang mengangkat tangan.
"Apa jawabannya, Nadila?"
"Tanah, Kak."
"Bagus!"
"Kenapa warna kulit manusia itu berbeda-beda? Kerena Allah menciptakan nabi Adam A.S dari tanah yang berbeda-beda juga."
"Maksudnya, Kak?" tanya Desi.
Alara berjalan perlahan mengitari seluruh murid. "Ketika Allah ingin menciptakan Nabi Adam, Allah memerintahkan seorang malaikat untuk membawa seluruh jenis tanah yang di bumi lalu disatukan menjadi satu."
"Berarti tanah yang dibelakang rumah aku juga dong, Kak?" timpal Farhan.
Seluruh murid kembali tertawa karena ulahnya.
"Terus apa lagi, Kak?" tanya Nadila.
"Lalu Allah satukan semua tanah yang dibawa malaikat tadi menjadi satu. Ada yang warna merah, warna hitam, warna putih, dll."
"Jadi kenapa warna kulitku bisa hitam, karena aku dari tanah yang hitam ya, Kak?" Alya menarik kesimpulan.
Alara tersenyum puas. "Nah, benar itu, jadi jangan sedih kalau kulit kita berbeda dari yang lain. Karena apa? Karena Allah sama-sama menciptakan kita dari tanah. Mau apa pun warna kulit kita, putihkah itu, hitamkah itu, ataupun warna yang lainnya. Kita tetap sama di mata Allah. Karena yang Allah lihat dari kita itu bagaimana bagusnya diri kita."
Kesepuluh murid Alara mengangguk paham. Sejak kecil kebiasaan buruk menbeda-bedakan manusia berdasarkan warna kulitnya harus ditanamkan bahwa itu adalah perilaku tercela.