Chereads / ALARA / Chapter 4 - Bab 4. Halu

Chapter 4 - Bab 4. Halu

"Ham, sekali-kali main dong ke rumah gue," ajak Vira menggunakan nada manja khas miliknya.

Hening.

Ilham memilih untuk mengabaikan Vira. Untuk melihat saja Ilham merasa malas.

""Lo kok sombong banget sih? seharusnya lo itu bangga karene lo cewek tercantik di Universitas Gunawangsa ini mau jadi milik lo seutuhnya," Vira mengatakan kalimat itu sepenuhnya sadar.

Andi dan Fino tertawa tapi menahan suara mereka takut jika Ilham akan memarahi mereka berdua.

"Siapa yang ngajak makhluk ini ikut sama kita?" Ilham menatap tajam dua pria di hadapannya. Fino dan Andi sejenak saling menatap kemudian dengan gerakan secepat kilat mereka berdua saling tunjuk, "Dia," kata mereka serentak.

"Enak aja lo, bukannya elo ya yang nelpon Vira, lo suruh dia ikut kita," Fino yang pertama kali berusaha membela diri.

Tidak terima dituduh, Andi menaikkan lengan kemejanya, "Bukannya lo tadi yang punya ide buat ajak Vira ke sini?" Andi juga tidak mau tinggal diam di sini.

Ilham memainkan rahangnya geram, "Vir," panggilnya sejenak sembari menarik napas dalam, "Gue mau sekarang lo pergi dari sini!"

"Loh kenapa ham? Gue kurang cantik, ya?"

"Atau-" Vira mencium bahu kanan dan kirinya, "Atau gue kurang wangi?" tanyanya lagi.

"Gue hitung sampai tiga, kalo sampek lo gak cabut, lo tau apa yang bakal lo alami," ancam Ilham geram.

Andi dan Fino hanya bisa menahan ludah mereka melihat ekspresi kemarahan di wajah Ilham. Mata ilham menatap tajam Vira seolah ingin menerkam gadis itu. Vira hanya bergerak lesu tidak suka diperlakuakn kasar oleh Ilham. Senyuman menggoda yang sengaja tadi ia tampilkan untuk membuat Ilham luluh kepadanya tiba-tiba sirna begitu saja, yang tersisa kini hanya lengkungan cemberut di bibir merah gadis itu.

"Satu."

"ya, iya, gue pergi." Vira bangkit dari duduknya, sebelum melangkahkan kaki ia menendang kursi yang tadi didudukinya, "Gue gak akan ngelepasin lo, Ham." geretak Vira.

"Gue gak perduli, lebih baik lo pergi dari hadapan gue!" Nada bicara Ilham naik satu oktaf.

Ch!

Vira meludahi Ilham dan ludah itu mendarat tepat di wajahnya.

"Kurang ajar lo ya!"

Andi dan Fino turun tangan kali ini. Dua pria itu menahan Ilham, mereka memegangi tubuh Ilham untuk mencegah dirinya bertindak lebih jauh lagi.

"Itu balasan buat cowok kurang ajar kayak lo!"

Usai mengatakan kata-kata terakhir itu, Vira langsung mengayunkan kakinya meninggalkan meja tempat Ilham dan dua temannya duduk.

Kini puluhan pasang mata para pengunjung kafe menatak ke arah meja tempat mereka duduk. Terdengar suara-suara gaduh mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

Ilham menggerakkan badannya kasar melepaskan diri dari Fino dan juga Andi. Setelahnya ia mengambil tissue di atas meja lalu membersihkan jasnya yang terkena ludah Vira. Mata Ilham tidak beralih sedikit pun menatap tajam ke arah Andi dan Fino. Mereka berdua hanya tertunduk dalam sambil sesekali melirik melihat Ilham, tapi saat mata mereka bertemu dengan mata tajam Ilham otomatis mereka menunduk kembali.

Ilham memnbuang tissue di tangannya, "Gue tunggu."

Fino menyenggol bahu Andi, "Lo duluan!"

"Kok gue? Kan elu yang punya ide," tolak Andi.

Begitu seterusnya, mereka saling udur-uduran untuk memberikan klarifikasi. Hal yang membuat mereka bertingkah demikian adalah, karena mereka sadar apa yang barusan saja terjadi, adalah hal yang paling dibenci Ilham. Meskipun tidak sealim dan sesholeh Afram, Ilham tetap tidak akan pernah suka jika harus berdekatan dengan wanita seperti Vira. Perempuan berpakaian dengan busana yang kurang bahan, berbicara dengan sengaja mendayu-dayukan suara membuat Ilham merasa kesal. Ia benci akan hal itu.

"Udah?" tanya Ilham bosan melihat mereka yang masih kekeh udur-uduran.

Fino dan Andi kompak nyengir unjuk gigi.

"Oke," Ilham merapikan dasinya sejenak kemudian berdiri hendak meninggalkan café tempat mereka duduk.

"Oke Ham, Gue yang salah," Fino buka suara, "Gue yang punya ide buat nyuruh Vira ke sini."

Ilham memutuskan kembali duduk di bangkunya, "Lo tau kan kalo gu-"

"Iya ham, kita tau kok kalo lo itu gak suka deket-deket sama cewek kayak Vira, kan?" potong Andi.

"Lah terus ngapain lo ngelakuin itu gob-" Ilham menahan kata-katanya keluar, "Astaghfirullah," Ilham mengelus dadanya sambil beristighfar. Emosi sudah menguasai dirinya saat ini. Perlakuan kurang ajar Vira membuat kepala Ilham serasa mendidih.

"Lo kudet Ham, selera lo itu ketinggalan zaman." protes Fino.

"Sampai kapan lo terus-terusan terobsesi sama cewek rumahan, gak kenal dunia malam, kehidupannya cuman di sekitaran masjid doang dan itu yang buat lo jadi ketinggalan zaman Ham." ujar Andi penuh penekanan.

Ilham terdiam sejenak, satu sisi ia merasa kecewa melihat dua sahabatnya dan di satu sisi Ilham merasa prihatin akan kurangnya pengetahuan tentang agama.

Ilham memutar otaknya mnecari bagaimana cara mengubah mindset dua sahabatnya itu. Mendadak Ilham mengingat perkataan guru agamanya sewaktu SMA.

"Lo tau ini apa?" tanya Ilham kepada kedua sahabatnya sambil memegang sebuah permen.

"Permen kan?" Andi menjawab sekaligus menayakan kembali.

Kemudian Ilham melemparkan permen yang masih terbungkus ke lantai, "sekarang ambil!" titahnya.

Andi mengambil permen itu.

"Sekarang makan!"

Andi membuka bungkus permen dan langsung memasukkannya ke dalam mulut.

Kemudian Ilham mengambil satu permen lagi dari sakunya, lalu membuka bungkusnya dan kembali melempar ke lantai.

"Sekarang ambil!"

Kali ini Fino yang mengambil permen itu, "Jangan bilang lo nyuruh gue buat makan ni permen?"

Andi meneteskan air mata, ada getaran di hatinya. Ilham bisa merasakan itu melihat mata Andi.

"Lo paham maksud gue kan, An?"

Air mata Andi semakin banyak yang keluar, ia menundukkan kepalanya. Kini tangisnya sudah dibarengi isakan. Sedangkan Fino hanya menatap kebingungan.

"Cengeng lo," ejeknya kepada Andi.

Ilham bangkit dari duduknya berjalan mendekati bangku Andi dan berhenti tepat di belakangnya, "Jangan sia-siakan hidayah yang Allah kasih sekarang buat lo An, Allah masih ngasih kesempatan buat lo untuk berubah. Allah gak mau kalau lo ngerasain panasnya api neraka, makanya Allah sekarang manggil lo kembali buat jadi hamba-Nya yang sholeh dan taat beribadah." jelas Ilham sembari mengelus bahu Andi.

Tangis Andi semakin pecah, getaran di hatinya sangat-sangat hebat. Bermacam-macam penyesalan kini menghantui dirinya.

"Tunggu, tunggu, maksud dari permen ini apa?" tanya Fino kebingungan. Dirinya masih sama sekali belum mengerti maksud Ilham.

Ilham tersenyum ke arah Fino, "Permen yang masih terbungkus rapi itu ibarat perempuan sholehah yang menutup auratnya, sedangkan permen yang sudah tidak berbungkus sama seperti perempuan yang gemar menunjukkan auratnya," Ilham menjeda omongannya. Sekarang ia berjalan mendekati Fino," Apa lo mau makan permen yang udah jatuh ke lantai? So pasti lo gak bakal mau buat ngelakuin itu. Seperti itu juga perempuan yang selalu membuka auratnya. Seluruh permukaan tubuh yang ter-ekspos menjadi tontonan gratis orang-orang di luaran sana. Dan apakah kamu menginginkan wanita seperti itu menjadi pendampingmu?"

Sukses!

Mungkin ini adalah waktu yang tepat, yang telah Allah tentukan bagi Andi dan Fino untuk bertaubat memperbaiki diri. Hati Fino juga tertegun kali ini. Matanya mengalirkan bulir-bulir bening, Ia menundukkan kepalanya tidak sanggup menatap Ilham.

Keduanya mendapatkan harta yang mengalahkan dunia dan seisinya, Hidayah sudah mereka dapatkan kali ini. Bukti Allah sangat sayang kepada hamba-hamba-Nya mulai Fino dan juga Andi rasakan.

Mereka menangisi kebodohan mereka selama ini, mengapa baru sekarang. Andi mengatur napasnya, isakan tangis masih tersisa.

"Bukan soal ketinggalan zaman atau tidak, An, Fin. Inti dari kehidupan kita sekarang adalah bagaimana menjadi seorang hamba yang taat kepada Allah."

Ilham berdiri di antara Andi dan Fino, "Allah menciptakan kita di muka bumi untuk beribadah, maka dari itu kita jangan coba main-main."

Andi mengadahkan kepalanya menatap Ilham, "Thank`s Ham."

"Jangan berterima kasih sama gue, berterima kasih sama Allah."

"Lo memang the best Ham" tambah Fino.

Ilham terkekeh, "Udah, udah gak usah lebay."

Mereka tertawa bersama. Ini lah makna dari sebuah persahabatan. Persahabatan bukan soal kuantitas, justru lebih dari itu. Kualitas persahabatan dinilai dari seberapa banyak manfaat yang dapat dihadirkan.

Ilham merasakan ada getaran di saku celananya. Tangannya segera merogoh saku mengeluarkan benda canggih itu. Ada senyuman tipis tercetak di bibirnya saat membaca pesan yang tertera di layar.

"Gue balik duluan ya, ada urusan penting."

__00__

"Ilham mana Mi?" tanya Afram kepada Layla yang tengah membolak balik koran. Jika kebanyakan orang membaca koran di pagi hari sambil menyeduh kopi, maka Layla menjadi sesorang yang unik, membaca koran di malam hari.

"Tadi izin sama ummi keluar sebentar, paling sebentar lagi juga pulang."

Afram mendekatkan wajah ke wajah Layla.

Ummah.

"Love you, Mi," Afram langsung berlari ke kamarnya sehabis mencium pipi Layla.

Layla hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah anak-anaknya. Bukan hanya Afram yang hobi mencium pipi Layla kemudian melarikan diri, begitu juga Ilham.

Setelah memasuki kamar Afram langsung menjatuhkan badannya ke atas tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar sambil senyum-senyum sendiri. Sosok Alara menari-nari di pikirannya saat ini. Afram sudah berusaha sebisa mungkin unttuk mengontrol pikirannya untuk tidak memikirkan Alara. Namun hasilnya tetap saja sama, Alara tidak bisa hilang dari pikirannya.

Tiba-tiba Afram tersenyum lebar, ia mendapatkan sebuah ide. Afram merogoh sakunya langsung membuka whatsapp mencari kontak Ilham lalu mengetik pesan. Setelah pesan terkirim Afram meletakkan ponsel di sampingnya.

Yang ia lakukan sekarang adalah berbaring sambil menunggu Ilham pulang.

Dua puluh menit berlalu namun belum ada tanda-tanda kepulangan Ilham. Afram merasa bosan sekarang, ia memutuskan untuk keluar kamar dan pergi ke ruang tamu untuk menonton televisai. Saat tangannya baru saja hendak memgang knop pintu, tiba-tiba saja pintu terbuka dan menampilakn sosok yang sedang Afram tunggu saat ini. Ilham nyengir kuda melihat Afram.

"Kamu darimana, kenapa lama sekali?"

Ilham menyipitkan matanya, "Gue tau ni, lo pasti mau bahas Alara kan? Hayo ngaku!"

"Resek kamu," Ada rona merah di pipi Afram. Meskipun sebenarnya tebakan Ilham benar, tapi tidak mungkin kan kalau Afram langsung to the point. So paasti Afram merasa sedidkit gengsi jika harus berkata blak-blakan."

"Sotoy kamu," Afram masih kekeh dengan gengsinya.

"Woi, gini-gini aku juga tau kali gimana tanda-tanda orang jatuh cinta."

Afram mati kata. Dirinya diam seribu Bahasa, kalau soal urusan cinta ia akui jika Ilham lebih pro daripada dirinya.

"Ini gue disuruh berdiri di depan pintu aja nih ceritanya?"

"Silahkan masuk dokter cinta," Afram mempersilahkan Ilham masusk dengan nada meledek.

Ilham berjalan menuju tempat tidur dan langsung mendaratkan bokongnya.

"Ada yang aku tanyakan ke kamu, Ham."

"Oke siap, sebagai dokter cinta yang paham benar akan perasaan lo saat ini, assek" Ilham tertawa sendiri merasa geli dengan apa yang ia katakana barausan.

"Iya, iya, terserah kamu dah."

Ilham tersenyum puas, "Baiklah, apa keluhan anda sekarang?"

"Begini dok, Setelah pertemuan saya pertama kali dengan Alara waktu itu, sampai sekarang wajah Alara tidak sulit sekali hilang dari pikiran saya."