'Aku mencintai Levi' merupakan sebuah alasan klasik aku menikahinya. Klasik tetapi tidak masuk di akal sehat. Kata – kata serta logika – logika kususun untuk menggambarkan dan menjabarkan perasaan cintaku padanya hanya untuk berakhir bahwa cinta sesekali mengalahkan logika. Pembukaan kisahku ini berawal darinya, huh? Benar adanya. Toh aku bangga berada di sisinya. Kami jauh dari kata sempurna, namun kami saling melengkapi. Aku bisa saja bertingkah bagai aku bisa menjalani semua tanpa dirinya. Memang bisa, tetap rasanya tidak akan sama.
Orang-orang biasa memanggilku Tia. Jangan tanya padaku apa mereka ingat nama lengkapku. Aku menyukai namaku, serta aku menyukai diriku sendiri. Aku tidak yakin pula bila aku lebih menyukai Levi daripada diriku. Menurutku aku lebih mencintai diriku sendiri. Itulah prinsip dan kenyataan terbaik, bukan? Di ujung takdir semua bergantung pada Tuhan dan diri sendiri. Meski demikian aku merasa aku punya tanggung jawab untuk menjaga Levi, sebagaimana aku tahu ia ingin menjagaku.
Banyak sekali berita buruk tentang Levi. Beberapa titik terbagus darinya adalah kekayaannya serta parasnya. Bukan dua hal itu pula yang membuatku jatuh hati padanya. Tanpa dirinya pun aku sudah punya pekerjaan yang mapan serta wajahku juga sudah cukup memuaskan bagiku. Hal-hal yang membuatku bisa jatuh hati padanya adalah- hm, mungkin rasa penasaranku pada sosoknya. Apa benar ia seburuk kata anak-anak kampus?
Aku bekerja dan kuliah di saat bersamaan, begitu pula Levi. Kenapa bisa hidupku bagai datar-datar saja sedang hidup lelaki satu itu begitu penuh kontroversi? Kebosananku yang sesekali membuatku melirik ke arahnya, namun interaksi pertama kami terjadi jauh di luar nalarku. Levi sang mahasiswa kedokteran terlampau kurang ajar saat awal kami jumpa, namun tetaplah ini di luar ekspetasiku.
Saat itu aku tengah berdiri di bus karena tidak mendapatkan tempat duduk. Hari yang sial, lantas merasa lebih sial ketika tangan seseorang menyentuh rokku, seperti ingin menyibaknya. Aku refleks berteriak kesal, serta langsung menjitak orang tersebut. Barulah kusadari setelahnya bahwa aku telah menjitak Levi yang itu, pria yang sesekali lewat di pikiranku. Terkadang aku penasaran apa ia pernah memikirkanku karenak sesungguhnya kami beberapa kali pernah saling bertukar pandang di kampus, meski tidak saling berbicara.
"Apa yang kau lakukan, bodoh?! Ingin berantem, huh?!" ucapku kesal, kutatap dia dengan sepasang netra keemasanku, pun gerakan cepatku untuk menjitak kepalanya telah sukses membuat rambut merah muda panjangku terlepas dari ikat rambutku yang memang tidak erat.
"Aw-! Jam tanganku nyangkut tadi-! Wanita macam apa kau? Bagaimana kalau otak pintarku cidera?" Levi memandangku dengan mata hijau cerahnya, dimana pancaran matanya berisi rasa bersalah dan tidak terima di saat bersamaan. Rambut pendek hitamnya tampak cukup acak-acakan. Ia niat berangkat ngampus atau jalan-jalan, sih? Ck. Bukan urusanku juga.
"Bodo amat. Tanganmu dan kau harus minta maaf pada rokku dan padaku," ucapku dengan nada ketus, namun segera parasku jadi bahagia ketika ada satu penumpang turun jadi aku dengan sigap duduk di tempat orang tersebut, meninggalkan Levi begitu saja karena tempat duduk lebih penting di sini!
Siapa sangka ternyata Levi mendekatiku lagi? Aku hanya duduk di kursiku sambil meliriknya, lalu aku dibuat terkejut ketika ia menyerahkan pita rambutku yang jatuh di bus tadi. Kemudian ia pergi setelah memberikan tatapan ketus padaku. Hei- kenapa ia repot-repot memberikan pita murah ini padaku? Aku bisa membelinya lagi. Dia juga tidak ada kewajiban untuk ini. Detik itu aku merasa ia tidak seburuk seperti yang orang-orang katakan, serta rasa penasaranku pun semakin bertambah.
Aku mengamati dia dari posisiku sekarang, menyadari ia yang sesekali bercanda dengan beberapa temannya di dalam bus ini. Aku jadi teringat bahwa katanya ia baru putus, ya? Pantas saja rasanya aura sang rambut hitam itu terasa menghitam suram. Tidak apa, bukan urusanku serta aku tidak mau tahu. Ini bodoh sekali dipikir sebab aku bukan penguntit. Cukup sampai sini saja pengamatanku kepada Levi.
***
Hari-hari berjalan biasa saja sampai Levi mulai berubah, menunjukkan tanda tiba-tiba ia ingin mendekatiku. Kali ini bukan mendekati hanya karena persoalan jarak, namun bocah rambut hitam ini tidak tahu kenapa ingin mengenalku lebih dalam. Awalnya ingin kuabaikan, namun lama-lama aku kasihan juga padanya. Lagi pula bagaimana bisa dia tertarik padaku? Hanya karena wajahku, eh?
"Kau jelek, wanita kasar dan menyebalkan, tapi menarik di saat bersamaan. Kuharap kau benar-benar paham kalau kejadian di bus itu sungguhan insiden," ucapnya sambil mengimbangi jalanku, di mana aku sedang menuju ke arah kantin.
"Harusnya kau mengaca, Levi jelek. Pergilah mengganggu wanita lain," pada akhirnya kata-kata dari mulutku adalah ucapan pengusiran. Sialnya sekilas pancaran sedih dari matanya meluluhkanku, yang membuatku pada akhirnya perlahan menerima kehadirannya. Perasaan penasaran dan kasihan ini kadang amat menyebalkan.
Aku melanjutkan ucapanku sebelum ia bisa menjawab, "Baiklah. Kau tidak harus pergi. Hanya jangan menggangguku, oke?"
"Tia, obatku habis. Mau menemaniku kontrol? Aku malas mengajak lainnya," pintanya tiba – tiba dengan nada janggal bagai kepercayaan dirinya hilang. Lebih menjengkelkan dan tidak mengenakkan hati bila aku melihatnya begini, maka aku menyetujuinya. Kenapa pula aku jadi selembek ini?
"Baiklah. Asal jangan kebiasaan begini," ucapku dengan nada lebih lembut daripada yang kuinginkan, membuat ia pun menatapku dengan kaget karena ia tidak menyangka bahwa aku akan setuju dengan permintaannya. Hei- Kalau tidak yakin aku akan setuju, kenapa juga dia malah bertanya tadi?
Dari persetujuanku itulah maka lambat laun aku tahu bahwa ia mengidap bipolar. Bipolar adalah penyakit gangguan mood dimana penderita bisa dengan mudah mengalami perubahan mood yang sangat dratis sehingga mengganggu kehidupan keseharian penderita. Bila penderitanya sedang bahagia maka ia akan merasa bagai tidak punya celah kelemahan, serta semua bisa ia atasi sehingga biasanya lebih mudah bercanda dan tertawa. Namun ketika episode mood turun maka penderita bisa benar-benar merasa tidak ada lagi arti semuanya sehingga cenderung ingin menghilangkan nyawanya sendiri. Penyakit ini tidak bisa murni disembuhkan, selalu ada risiko kekambuhan. Penyakit yang tidak kusangka diderita oleh orang seperti Levi.
Sifatku yang kadang dingin, sering ceplas ceplos namun sesekali bisa bercanda pun ternyata bisa Levi hadapi. Mau tidak mau, kuakui bahwa kami sungguh makin dekat. Ia bercerita tentang segala hal yang bisa membuat dia merasa jatuh, pun aku bercerita tentang keluargaku. Ia juga teramat perhatian padaku, bahkan di hal-hal kecil yang biasanya orang abaikan. Lambat laun aku juga menyadari ia yang terlihat makin nyaman padaku, begiku pula sebaliknya.
Sebelum semuanya benar-benar masuk ke dalam otakku, aku dan dia menghabiskan malam bersama selayaknya orang dewasa dan berbagi kehangatan. Sebagian rumor tentangnya benar, pun lebih banyak yang salah. Dalam kondisi seintim itupun ia dan aku tetap merasa nyaman satu sama lain seiring berjalannya waktu. Tanpa hatiku benar-benar sadar, sosoknya sudah menjadi bagian penting dari di hidupku.
***
"Tia, ayo menikah, " ajak Levi beberapa bulan setelah kami lulus kuliah.
Tidak ada hal romantis dalam ajakannya, sama sekali tidak ada. Kami saja sedang membuat kastil dari pasir di pantai ramai ini. Wajahnya penuh coretan spidol, begitu juga wajahku. Coretan akibat permainan game awal yang sempat kami mainkan bersama. Dia jauh dari tampan karena coret-coretan ini, namun kenapa jantungku tetap bisa berdetak lebih cepat? Ah, jelas karena ajakannya.
"Kau jelek tapi kuterima ajakanmu agar kau tidak menangis di bawah pohon pisang, " ucapku sambil menjulurkan lidah ke arahnya, tidak mau aku tampak gugup di depan Levi! Nggak mau.
Satu alisnya terangkat, menatapku tidak terima, lalu benar saja dengan tawa mengejek dia berucap, "Ngaca dong. Kau lebih jelek."
"Udah tahu kalau aku jelek tapi ingin dinikahi! Dasar Levi bego!" ucapku sambil mengacak-ngacak gemas rambut hitamnya yang diam-diam amat kusukai selain warna matanya yang indah. Lebih dari sekadar fisik, aku menyukai perpaduan warna serta ikatan di dalam hubungan kami. Levi, selamanya aku tidak akan melepaskanmu sebagaimana kau tidak pernah melepaskanku.
***
Hari pernikahan kami pun tiba. Hari bahagia di mana kami bisa saling memiliki secara sah di mata hukum. Hari di mana semua orang mau tidak mau harus mengakui hubungan kami. Aku mengenakan gaun putih panjang indah, sedang Levi menggunakan jas putih khas pengantin pria. Kami dan teman-teman kami sangat bahagia, Pernikahan tema 'outdoor' tersebut sangat sukses untuk standarku. Titik di mana kebahagian kami terasa di puncak.
"Aku tidak menyangka aku bisa menikah dengan perasaan sebahagia ini, mungkin kurang lebih mirip dengan novel Freedom in Her Eyes yang kusukai," ucapku ketika kami sudah berdua di dalam kamar hotel, dikarenakan kami sudah jauh hari memilih untuk malam pertama di hotel tersebut.
"Ah! Berhentilah membaca novel itu. Kalau novel lainnya tidak apa apa. Entah kenapa novel itu memberikanku perasaan tidak nyaman," protes Levi sambil main-main melempar bantal ke arahku. Levi yang merupakan korbanku dimana aku selalu ber-fansgirl ria perihal novel ini kepadanya. Memang janggal juga ya kenapa dia merasa demikian? Aku juga tidak paham.
Freedom in Her Eyes adalah salah satu novel terkenal di masa sekarang. Novel fantasi kerajaan dimana sang pemeran laki-laki utama yang bernama Ares Frederick de Jove jatuh hati pada pemeran utama perempuan yang bernama Rebecca Smith. Kisah cinta antara putra mahkota ahli sihir dengan wanita ceria juga cerdas yang merupakan seorang bangsawan. Anehnya, di potongan kisah sampingan dikatakan Ares tiba-tiba mengalami sakit hingga kebutaan, ditambah lagi adegan Rebecca di bagian kisah itu amat sedikit, seolah ia tidak perduli dan tidak mau berada di sisi Ares yang sedang sakit. Tapi hal tersebut tidak mungkin ah! Aku tahu mereka amat saling mencintai, sampai karakter perebut lelaki orang seperi Luna pun tidak mampu merebut Ares dari Rebecca. Hmph! Ares dan Rebecca adalah pasangan terbaik!
***
Beberapa minggu berlalu hingga hasil tes menunjukkan aku hamil. Perutku masih nampak normal sehingga tidak akan ada yang bisa menyadari kehamilanku selain diriku sendiri. Kebahagiaanku terasa makin lengkap, terlebih lagi aku sudah lama tahu kalau Levi menginginkan seorang anak dariku. Lihatlah ia yang bertindak dan bersikap seperti lelaki serta suami normal. Aku sampai tidak habis pikir bagaimana aku sempat waspada padanya karena rumor tidak jelas tentangnya. Masa lalu siapa juga yang suci? Selama dia memperlakukanku dengan baik, maka tidak ada masalah untukku. Seburuk buruknya masa lalu, serta apapun yang terjadi di masa kini, tetaplah masa depan masih suci.
"Hei, Levi. Aku sedang-" ucapanku terhenti ketika goncangan hebat menggetarkan tanah. Gempa! Reflek aku memeluk perutku dengan satu tangan, berjalan cepat mendekati Levi. Tuhan, kenapa gempa ini kencang sekali! Aku tidak mau kebahagiaanku sirna karena ini!
"Tia! Kau diam di situ, biar aku yang berjalan- arght!" Levi yang berjalan cepat ke arahku pun tertimpa oleh lampu hiasan besar, disusul dengan almari hendak jatuh menimpanya. Seketika aku tidak bisa berpikir, sungguh semua berakhir begitu cepat seolah hidupku adalah mainan semata.
Hari itu aku, Levi dan calon anak kami lenyap dari dunia. Aku bertanya-tanya, apakah aku dan Levi sempat berpegangan tangan di masa akhir kami? Aku tidak bisa ingat dengan jelas. Kenapa ini juga harus berakhir? Setidaknya sisakan Levi-ku untukku. Kami tidak seharusnya berpisah. Aku miliknya sebagaimana ia adalah milikku.
***
Kebahagiaanku sirna, ditutupi oleh kabut hitam pedih takdir ketika kumenyadari aku lahir di dalam Novel 'Freedom in her Eyes' sebagai Luna sang antagonis. Tidak ada semangat hidup karena suamiku dan calon anakku terenggut, digantikan dengan pedihnya hidup Luna yang nantinya di akhir novel akan mati di dalam Menara Pengasingan karena dibiarkan kehausan dan kelaparan sebagai hukuman. Awalnya aku sudah pasrah sehari-hari karena rasa duka yang tidak kunjung henti, namun berakhirnya rasa itu ketika kuketahui bahwa jiwa yang berada di tubuh Ares adalah jiwa suamiku! Levi! Di dunia fantasi ini, aku tidak pernah seyakin ini. Dialah Levi-ku! Tapi berakhir apa? Aku mati dipenggal di depan Ares yang hanya melihatku dari tahtanya. Sampai akhir hanyatku kali ini, perasaanku padanya pun tetap sama.
Lagi dan lagi, bagai novel kusam yang terus diulangi, aku terlahir kembali sebagai Luna. Termovitasi oleh fakta bahwa Ares adalah Levi, maka aku berusaha keras untuk bersamanya. Levi dan aku tidak pernah bercerai. Perpisahan kami adalah kematian. Maafkan aku, Rebecca, namun akulah tokoh antagonis yang pantas mendapatkan pemeran utama laki-lakinya!
Naas. Semua cara sudah kutempuh, namun hanya berakhir dengan kematian tragisku dan/atau Ares. Ares kehilangan nyawa dengan penuh luka akibat tertembus panah di dahapanku. Di kehidupan selanjutnya aku dipaksa gantung diri sebelum bisa menemui Ares. Detik di kehidupan Ares dan aku bisa menikah, berakhir dengan kami dibakar hidup-hidup berdua. Entah sudah berapa kali kami hidup dan mati dengan tragis serta kurang harga diri karena terinjak oleh kekuatan lain.
"Ares, berjanjilah padaku. Di kehidupan selanjutnya kau harus bertahan hidup. Kau harus menang, baik ada aku di sampingmu atau tidak. Tidakkah kau lelah pada kekalahan kita? Salah satu atau kita berdua kelak harus menang, ya?" Aku berucap hal tersebut pada Ares, pun di detik-detik sebelum kematianku. Aku bahkan tidak tahu apa jawaban yang ia berikan.
***
Aku lahir lagi, kali ini aku sudah bisa berpikir bahkan setelah beberapa menit setelah kelahiranku. Lalu sekarang apa? MAU NANGIS SAJA! Lupakan saja cinta-cintaan kalau akhirnya mati naas terus! Huwee! Aku bosan! Kapan aku diberikan happy ending?! Levi dan aku sebagai Ares dan Luna sudah amat berusaha! Namun tetap saja! Aku bosan! Biarkan aku bersikap seperti anak-anak kali ini!
EH?! ASI?! Ibuku…..hidup kali ini? Selama ini ibuku selalu meninggal setelah melahirkanku. Mungkin kali ini akan berbeda? Merasakan harapan mulai merasuki hatiku, aku pun berhenti menangis seperti bayi, dilanjutkan meminum ASI dari ibuku.
"Luna. Ya, namamu Luna. Jadilah anak yang kuat. Bertahanlah kelak. Tahu kenapa ibumu bisa selalu sukses dan semangat? Ibu mengabaikan para laki laki," bisik ibuku kepadaku, meski aku teramat yakin kalau ia tidak tahu bahwa aku sudah bisa berpikir.
Lagi pula saran apa itu-. Ah ya, kali ini aku lebih harus mementingkah hidupku serta keselamatanku dulu. Tidak lagi aku haus akan kenangan lama, tetapi harus haus akan kekuatan dan kekuasaan. Itu semua adalah modal. Cerai mati kami, tetaplah cerai. Kami semua di sini pantas mendapatkan kehidupan dan masa depan baru. Kali ini aku harus menang. Harus. Aku sudah jenuh dengan sesak di dada tiap mengingat kematian yang kulalui. Tidak lagi aku ingin dilihat dengan pandangan merendahkan. Kali ini akan kubuat banyak orang melihatku dengan penuh pandangan kagum.
***
bersambung