Tidak selalu berpatok ke masa lalu, namun tanpa sejarah maka tidak akan ada masa kini dan masa depan; serta dari sejarah bisa didapatkan sebuah pelajaran. Itulah beberapa alasan Luna kecil, 9 tahun, terus mempelajari sejarah Kekaisaran Esezar. Hanya saja ia merasa buku-buku banyak menyembunyikan hal-hal penting. Jelasnya ini terkait kekuasaan dan politik, kan? Di buku-buku hanya diceritakan keadaan Esezar setelah Kaisar Pertama menjabat. Ia ingin tahu lebih, yaitu keadaan tanah ini sebelum mengambil nama Esezar.
Luna kecil duduk di samping tempat tidur Reagan sang ayah yang kali ini nampak lebih segar daripada biasanya. Ia hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan sang ayah. Reagan sang ayah juga senang dengan kehadirannya, tidak merasa terganggu. Luna kecil memeluk buku sejarahnya, lalu menatap sang ayah dengan iris ke-emasannya. Netra ke-emasannya adalah warna iris mata yang ia dapat dari sang ayah.
"Ayah, ayah tahu tidak keadaan negeri ini sebelum menjadi Esezar? Bagaimana nama De Jove, De Mattias dan De Hillary menjadi-" ucapan Luna terpotong oleh sang ayah yang tiba-tiba menunjukkan rasa tidak suka pada topik pembicaraan.
"Darah De Jove penuh dengan kutukan, Putri-ku. Ayah tidak mau membahas lebih lanjut, tapi memang ada beberapa hal yang perlu ayah sampaikan padamu. Misal kelak kau memasuki Akademi Golden de Esezar, jangan mendekati keturunan De Jove. Bila kau membaca sejarah lebih lanjut maka kau akan menemukan fakta kalau mereka biasa membunuh keluarga mereka sendiri," Reagan sang ayah menjelaskan sejauh itu saja, sembari duduk di tempat tidur dan memberikan pandangan khawatir pada Luna.
Ingatan bagaimana Reagan sang ayah mati berkali-kali kembali ke benak Luna. Luna tidak bermaksud untuk tidak menuruti nasehat sang ayah. Ia hanya tidak mau lari saja. Entah sudah berapa kali ia mencoba lari dari De Jove di kehidupan lalunya, tetapi tetap saja berakhir tragis. Bila lari pun tetap berakhir demikian, bukanlah lebih baik memberikan perlawanan? Namun ia masih bimbang antara dua pilihan lain. Haruskah ia maju dengan mendekati musuh De Jove atau justru berusaha meraih simpati De Jove itu sendiri?
Tidak ingin membuat ayah-nya khawatir, Luna memberikan senyuman manis sembari berucap, "Tentu, Ayah. Ayah jangan khawatir. Ayah cukup berfokus untuk cepat sembuh."
Luna meraih tangan sang ayah, tetap memberikan senyumannya pada sang ayah, meski sang ayah tidak membalas senyumannya dengan senyuman. Reagan sang ayah tetap memberikan tatapan khawatir, namun sang ayah mengangguk setelahnya. Setelahnya jemari hangat sang ayah membelai lembut rambut merah muda panjang Luna.
Reagan memberikan senyuman tipis pada akhirnya, sedang pancaran mata-nya begitu hangat; kemudian ia berucap, "Luna adalah anak-ku. Luna akan terus tumbuh. Pada akhirnya Ayah-mu ini akan selalu tetap mendukung keputusanmu."
Hati Luna terenyuh, membuatnya tersenyum lebih tulus. Belum sempat Luna membalas, sang ayah menguyel pipi tembem Luna. "Ayah- berhenti memperlakukan seperi anak kecil!" protes Luna sambil berusaha melepaskan uyelan sang ayah, namun ayahnya ngotot belum mau! Ia pun pasrah pipi-nya diuyel-uyel.
"Luna akan tetap jadi gadis kecil ayah! Tidak boleh protes! Hahaha," setelah puas menguyel pipi sang anak, Reagan tertawa terbahak-bahak. Ia yang begini nampak sehat bagai tidak mengalami sakit apapun. Ia masih pula memberikan seringai kemenangan pada anak-nya itu.
Luna tertawa juga pada akhirnya. Ia juga menyadari ayahnya nampak lebih ceria di kehidupan ini. Itu karena Emma sang mama tetap hidup sampai sekarang, kan? Bila pun misal kisah Luna akan berakhir tragis lagi, kali ini ia berharap setidaknya ayah dan ibu-nya tetap akan hidup. Haruskah ia meminta orang tuanya memiliki anak lain atau mengadopsi anak lain agar mereka tidak terlalu sedih bila kelak Luna kehilangan nyawa? Meski berusaha egois dan mementingkan kepentingannya sendiri, pada akhirnya Luna tidak bisa tega dengan kedua orang tuanya.
Luna berusaha tersenyum lagi walau kali ini gagal, meraih tangan sang ayah, kemudian ia berucap hal yang merupakan keinginan terdalamnya, "Luna harap keluarga kita bisa berumur panjang dan bahagia."
Tanpa Luna dan Reagan sadari, seseorang sedang menguping pembicaraan keduanya dari balik pintu; yaitu Emma sang mama. Emma mengigit bibir bawahnya, menahan segala rasa. Ucapan terakhir Luna telah memberikan efek padanya. Emma menginginkan hal yang sama, namun Reagan terus sakit. Di sisi lain mimpi-mimpi yang ia dapat terus menggambarkan pertanda kematian; seolah kematian terus menyelemuti keluarganya dengan erat.
Emma menggelengkan kepalanya, berusaha menenangkan pikiran. Ia memasang senyum ceria, memegang erat nampan yang berisikan sepiring kue coklat, lalu membuka pintu sembari berucap dengan semangat, "Hayo! Bahas rahasia apa kalian di belakang Mama Emma yang cantik?! Juga~ Tadaa~ siapa yang mau kue?!"
***
Di lapangan rumput dan pepohonan depan Menara Tersembunyi terdengar bising yang tidak asing. Bising tersebut berasal dari suara latihan fisik yang rutin terjadwal dijalani oleh Ares dan Logan. Di setiap bidang terdapat tutor-nya masing-masing. Memiliki tutor yang cukup banyak, namun tidak ada satu pun yang mampu benar-benar dekat kepada Ares dan Logan secara emosional. Tiga penyihir ahli medis juga berada di sana, selalu siap sedia untuk berusaha memulihkan Ares dan Logan bila salah satu atau keduanya mengalami cedera yang berat.
Logan, 11 tahun, terengah-engah menahan lelah dan sakit di badan. Kaki mungilnya sudah tidak sanggup untuk dipaksa terus berlari sembari berusaha menghindari serangan panah dari guru-nya. Ia tersandung jatuh di rerumputan. Kepala terbentur batu pula! Badan langsung gemetar ngeri ketika panah hampir menggores pipinya.
"P- Pa-Papa!" Logan kecil berteriak takut, memanggil Ares sang saudara kembar; namun telah ia anggap sebagai ayahnya dengan alasan kekurangan sosok ayah.
"Ah!!" benar saja, selanjutnya panah mengenai telapak tangan kanan Logan, membuatnya reflek berteriak sakit meski ini bukan kali pertama ia terkena panah. Ia dan Ares sudah menjalani banyak latihan fisik sejak umur mereka 5 tahun.
"Berhenti menyakiti anakku! Dasar brengs*k!" Ares tetap mematuhi peraturan tidak boleh menggunakan sihir di latihan sesi ini, namun ia tidak bisa menahan umpatannya. Ia mendekati Logan, segera menggendong Logan di punggungnya; kemudian berlari mendekati pohon. Ia harus cepat bersembunyi di balik pohon itu! Satu panah mengenai kakinya, Ares jatuh seketika. Tidak sempat reflek berteriak karena jatuh tengkurap dan langsung tertindih tubuh adik kembarnya itu; membuat teriakannya bagai dibungkam secara tidak langsung.
Logan bergeser agar jatuh di samping Ares, tidak ingin membuat papa-nya makin kesakitan karena berat badan-nya. Dengan tangan sehatnya, Logan meraih tangan Ares; lalu kehilangan kata. Selama ini ia bersikap seperti anak-anak, memaksa Ares membacakan dongeng padanya tiap malam. Dongeng-nya harus bahagia, jadi Ares mengarang dongeng tentang dua pangeran kembar yang bahagia, dimana diakhir nanti masing-masing akan menikah dengan putri cantik lalu bahagia selamanya. Haha; ingin tertawa miris. Lantas kenapa kehidupan Ares dan dirinya harus penuh darah dan luka sejak umur 5 tahun? Mana kebahagiaan hidup serta keluarga hangat sebangai pangeran? Apa karena mereka distatus-kan sebagai anak haram yang disembunyikan?
"Papa, semua akan baik-baik saja. Sakit kita ini tidak akan lama," ucap Logan lirih, berusaha menghibur Ares yang nampak kesakitan.
Petugas medis datang untuk menyembuhkan luka mereka dengan sihir. Sayangnya Ares dan Logan tahu ini bukan akhir dari lelah mereka. Luka di tangan Logan dan luka di kaki Ares pun hilang serta sembuh total. Keduanya diarahkan ke ruangan Irene sang mama untuk dicacimaki karena mereka tumbang dengan begitu cepat di latihan kali ini. Ares kecil menatap lurus ke depan dengan pandangan datar, menolak mentap Irene sang mama yang sedang marah-marah. Sedang Logan menatap Irene sang mama dengan pandangan amat jengkel bagai ingin membungkam mulut sang mama.
"Kapan kalian akan benar-benar berguna untukku?!" teriak Irene dengan kesal pada Ares dan Logan. Ia memberikan tatapan dingin dan tajam pada kedua anaknya tersebut, lalu melempari keduanya dengan buku.
Logan tidak lagi bisa lagi menahan emosi. Kedua tangannya mengepal, lalu ia membalas teriakan sang mama, "Diam kau, Nenek Penyihir Kejam yang durhaka pada anak sendiri! Tidakkah mata-mu melihat kalau aku dan papa Ares kelelahan! Lucu sekali kau memanggil dirimu sebagai ibu kami-"
Suara tamparan kesar terdengar; dimana Irene memang menampar Logan dengan tangannya yang berkuku tajam, membuat luka gores serta darah segar mengalir di pipi Logan. Irene sang mama nampak terkejut setelah tamparan tersebut, tidak pula bisa diprediksi alasan dari keterkejutannya. Logan memegangi pipinya, menahan sakit dan masih mau berucap; namun terhenti ketika Ares menarik lengan Logan agar Logan kini berada di belakang Ares. Ekspresi Ares menunjukkan kemurkaan pada Irene sang mama; dititik kedua iris hijaunya bagai menyala kehijauan. Keadaan Ares tersebut membuat Irene dan Logan merinding ngeri seketika. Bukan rahasia umum kalau Logan takut bila Ares benar-benar murka, sedang Irene sang mama berusaha menyembunyikan ketakutannya pada Ares.
"Irene Yang Terhormat, kukira kita sudah membuat kesepatakan. Kita bertiga masih saling membutuhkan. Jaga sikapmu. Sekali lagi kau menyakiti Logan anak-ku secara langsung dengan tangan kotormu itu, maka perjanjian kita akan batal," ucap Ares dengan senyuman sinis di akhir kalimatnya. Ares bisa merasakan tubuhnya sendiri sedang gemetar menahan amarah.
Irene sang mama terdiam, hanya memberikan anggukan paham kepada Ares. Irene menghela napas panjang, jatuh terduduk di lantai lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Andai goresan takdir bisa diubah, ia tidak akan pernah mau hamil anak-nya Kaisar William. Pertemuannya dengan Leon di masa lalu juga membuat ia makin tertekan. Ia menurunkan kedua tangannya, mendapati Ares dan Logan sedang berjalan keluar ruangan. Si setan cilik Logan menyempatkan diri menoleh ke arahnya untuk memamerkan seringai licik penuh kemenangan. Pintu ditutup Ares dengan keras dan kasar; sedang Irene mulai tertawa hambar melihat kondisi hubungan di antara Logan, Ares dan dirinya.
"William bodoh, aku harus apa? Memperbaiki hubunganku dengan kedua anak setan itu? Belum saatnya," gumam Irene lirih, merasa sakit kepala dengan keadaan ini. Perlahan ia bangkit dari posisinya, berjalan menuju kea rah jendela untuk menatap langit yang luas. Ia tertawa miris mengingat dirinya yang sempat memanggil nama William tadi.
Irene belum-lah kehilangan kewarasannya secara total. Ia paham betul hubungannya dengan William adalah bisnis semata. Itu pun ia tidak sepenuhnya jujur pada William, terbukti dengan ia tidak melapor pada William bahwa ia melahirkan anak kembar; bukan anak tunggal. Selama ini Irene tahu bahwa rencana William hanya memerlukan satu anak sehingga ia mau tidak mau harus menyembunyikan 'Logan'.
Ia tidak mau mengambil risiko William akan memusnahkan Logan agar kembali memiliki anak tunggal; tidak mau merusak kondisi mental Ares lebih jauh lagi dengan kehilangan Logan. Hm, ia sudah cukup sejauh ini namun nampaknya ia tidak pantas dianggap seorang ibu, huh? Ada benarnya. Ares dan Logan tidak tahu segala perjuangan Irene untuk mempertahankan keduanya sampai di titik ia mulai mempertanyakan perasaannya sendiri terhadap keduanya. Sungguhkan ia hanya menganggap keduanya sebagai alat untuk mendapatkan harta dan tahta?
"Haha. Apa yang kupikirkan barusan? Lebih baik aku tidur dan berusaha bekerja secara profesional," ucap Irene sembari memijat pelipis kepalanya, lagi-lagi merasa pening karena perkara hubungan ibu dan anak serta kondisi bisnisnya dengan William sang kaisar. Ia berjalan ke arah sofa sembari menyisir rambut hitam berujung merah panjangnya. Seper-tujuh rambutnya berwarna hitam, sedang sisa-nya berwarna merah kelam.
***
Sesuai perkataannya kepada Lizbeth sang murid, kini Esther sedang melakukan perjalanan menuju kediaman keluarga Grace; yang terdiri dari Reagan sang kepala keluarga, Emma sang Istri dan Luna sang anak. Sebelumnya ia tidak pernah menaruh ketertarikan pada keturunannya disebabkan kutukan laknak yang akan membuat keturunan-nya tidak mampu menggunakan sihir. Kutukan yang ia dapatkan dari mantan-permaisuri De Jove yang sudah lama kehilangan nyawa, namun sayangnya kutukan tersebut tetap aktif walau yang pemberi kutukan sudah binasa. Siapa sangka Luna sang cucu-nya akan mampu mematahkan kutukan tersebut? Esther mengetahui tersebut lewat mimpi atau bayangan yang ia dapatkan.
Esther berhenti untuk mengambil istirahat, memilih duduk di batu besar dekat sungai. Ia mengamati air serta memperhatikan bayangannya sendiri. Apa yang harus ia lakukan pada cucu-nya tersebut? Memanfaatkannya untuk balas dendam ke keluarga De Jove terasa begitu menggoda.
"Ck. Sungguh ada guna-nya, kah? Si wanita j*lang yang mengutuk-ku sudah mati pula. Buat apa aku buang-buang waktu dan merepotkan diri sendiri?" ia berbicara pada bayangan-nya dari pantulan air sungai, yang mana jelas tidak akan mendapatkan jawaban. Mengabaikan keraguan di dada perihal langkah yang akan ia ambil; Esther memutuskan untuk melanjutkan perjalannya lagi.
***
Malam hari datang di kediaman keluarga Grace; nampak Luna sedang dibacakan cerita dongeng manis oleh Emma sang mama dan Reagan sang papa. Keluarga mereka tidak sempurna, namun nampak lengkap dan sempurna ketika kebersamaan terasa makin erat. Canda tawa bisa terdengar dari ketiganya, sungguh menikmati kebersamaan sebagai keluarga.
Jauh dari kediaman Grace, di waktu yang bersamaan; nampak Ares sedang memutar otak untuk membacakan dongeng bahagia ke Logan sang adik. Kedua-nya terlihat seperti kakak-adik bahagia bila segala memar di tubuh keduanya bisa diabaikan. Sesekali Ares terbatuk darah karena sempat salah dalam penggunaan 'Mana' saat latihan, namun tetap saja ia melanjutkan cerita. Mimisan Logan tidak juga berhenti sedari tadi, tetapi Logan nampak tetap menikmati dongeng yang ia dapat. Para penyihir medis sudah berusaha menyembuhkan keduanya; sayangnya tidak semua hal bisa diatasi dengan mudah.
Di waktu yang sama, Irene sedang berada di kamarnya. Ia tengah menulis surat untuk William sang kaisar. Ia nampak berkonsentrasi. Sesakali nampak frustasi. Ia menyobek surat yang ia buat, lalu melemparnya ke dalam tempat sampah. Di tempat sampah tersebut sudah banyak terdapat surat yang diremas atau disobek lainnya. Tidak mau menyerah, Irene kembali menulis surat.
Tetap dalam waktu yang sama; William sang kaisar sedang berdiri di balkon kamarnya. Rambut pirang panjangnya tertiup angin malam. Mata hijau cerah dengan pupil runcing-nya tengah menatap rembulan. Terlepas usia aslinya, ia masih nampak seperti berumur 29 tahun-an; masih nampak muda. Pengawal Pribadi-nya sudah menyarankan ia untuk beristirahat, namun William justru mengusir sang pengawal; tetap bersikeras untuk menatap gelapnya langit bila tidak ada rembulan dan bintang. "Kenapa banyak orang istana yang bajing*n? Berapa banyak orang yang harus kusingkirkan? Ingin rasanya kembali jadi anak-anak dan tidak pernah tumbuh jadi dewasa, apalagi jadi kaisar," gumam William tegas namun dengan nada lirih; nampak murka terpancar dari kedua mata-nya.
***
Hari-hari itu, lebih tepat-nya bulan-bulan itu dikabarkan kedua pangeran anak dari Permaisuri Minerva (istri sah-nya Kaisar William) sering membuat kekacauan dan keresahan; bahkan sampai ketahuan melakukan korupsi yang merugikan negara. Koran-koran banyak menyebarkan berita tersebut. Sayangnya menyingkirkan dua orang pangeran serta anak dari Permaisuri tidaklah mudah. Media tetap tidak menyerah, bahkan mereka menuntut Kaisar William segera mengambil tindakan tegas. Rakyat pun akhirnya terpecah belah dikarenakan konflik tersebut; lagi-lagi selalu ada pro-kontra serta pihak-pihak licik yang memanfaat situasi untuk keuntungannya sendiri.
Masih berada di dalam kamarnya, Kaisar William membaca koran penuh konspirasi dengan keadaan istana serta issue-issue politik lain. Dengan paras datar bagai tidak mau perduli dengan apapun, William menyobek dan membuat halaman-halaman bagian politik; yang mana kelakukannya tersebut sukses membuat Albus De Mattias sang Pengawal Pribadi-nya geleng-geleng kepala.
"Hm…?" pandangan William berhenti di halaman koran tentang hiburan dan kesenian; lebih lepatnya pandangannya tertuju ke anak kecil yang dikatakan bernama Luna Grace. Di koran tertulis Luna Grace adalah anak jenius seni lukis; yang mana hasil lukisannya telah mampu membuat William tertarik, padahal ia belum melihatnya secara langsung. Haruskah ia jalan-jalan ke pentas-pentas seni untuk hiburan di waktu seperti ini?
"Ada yang menggangu Anda, Yang Mulia?" tanya Albus sang pengawal pada William sang kaisar; dengan tanpa meninggalkan posisi di mana ia berdiri. Ia merasa sang kaisar nampak sedang memikirkan sesuatu secara mendalam namun kesannya berbeda.
"Albus, kau suka seni lukis? Aku ingin dilukis. Rugi sekali bila wajah tampan-ku ini jarang di lukis, benar?" tanya William; kini menatap Albus yang mendadak tampak kaget dan heran dengan pertanyaannya. William tertawa setelahnya, menikmati ekspresi terkejut dari sang pengawal.
"Siapa yang memfitnah Yang Mulia dengan ketampanan itu?" tanya balik Albus yang nampaknya tidak terima karena merasa keseriusannya tadi malah dijahili! Albus bertanya dengan nada datar serta pancaran mata serius. Beruntung William dulu teman masa kecilnya, jadi Albus terkadang bisa bertindak tanduk seperti ini.
"...…Bosan hidup?" tanya William dengan senyuman paksa. Sekilas ia melihat ke arah jendela kaca untuk menatap bayangannya sendiri; yang untung saja masih sama dengan wajahnya di masa muda ketika banyak gadis yang jatuh cinta pada ketampanannya. Ha! Kurang ajar sekali Albus! Sekilas William hampir percaya dengan ucapan Albus perihal 'fitnah'.
"Tidak, Yang Mulia."
***
Bersambung