Chereads / The Epilogue of the Unbreakable Fate / Chapter 6 - APA INI SALAH SATU KUTUKAN? PLOT YANG TERUS BERJALAN

Chapter 6 - APA INI SALAH SATU KUTUKAN? PLOT YANG TERUS BERJALAN

Warning: Adegan berdarah, gangguan kejiwaan. Tidak untuk ditiru.

***

Ares dan Logan selamat dari ruangan keparat penuh penyiksaan. Fisik mereka selamat namun tidak sepenuhnya dengan kondisi kejiwaan mereka. Bersama-sama mereka seharusnya bisa saling menguatkan. Nyatanya darah De Jove memang penuh kutukan, dimana salah satu kutukannya erat dengan kondisi kejiwaan. Ares serta Logan tidak pula lepas dari kutukan tersebut.

Di dalam kamar pribadinya yang gelap, Ares merasa ia sedang sendirian; padahal Logan sedang meringkuk gemetaran di pojok ruangan kamar tersebut. Bagai gelap mata serta kalut dalam kabut penderitaan, Ares teringat masa-masa bahagianya bersama Luna di kehidupan sebelumnya. Ia tersenyum paksa miris; menyadari Luna sedang atau mungkin tidak akan lagi ada di sampingnya.

Ia merasa makin sendirian; tidak ada Luna gadis yang ia cintai, pun entah Logan sang adik ada di mana. Sebagai pengingat; di sini Ares belum mampu menyadari Logan ada di sekitarnya.

Setelah semua sakit yang pernah ia rasa, terdiagnosa bipolar di kehidupannya sebagai Levi, lelah dengan sakit fisik dan jiwa; ia makin terlena dengan sisi gelap sakitnya. Ares yang sedari tadi hanya berbaring di tempat tidur pun kini menuruni tempat tidur, mengobrak-abrik laci untuk mendapatkan kertas.

"Aku ingin mengambar bunga indah untuk diriku dan Luna. Simbol perjuangan kami dengan tinta gratis serta paling mahal yang kumiliki," ucapnya dengan nada datar bagai tiada lagi sisa rasa sakit yang mampu merusak mentalnya lebih dari ini.

Ia duduk di kursinya, mengambil jarum suntik dari laci obat-obatan; kemudian ia menusukkan jarum tersebut ke vena-nya sendiri guna mengambil darah hingga 3 cc. Ia menuangkan darah tersebut ke dalam gelas kecil; buru-buru menggambar mawar merah dengan pena hitam sebagai artline. Harus buru-buru sebelum darah-nya membeku. Usai menggambar mawar merah, ia mewarnai mawar tersebut dengan darah merah segar-nya. Percayalah bahwa hasil karya-nya cukup indah. Ia menyukainya, meski di sisi lain ia sedikit sedih karena warna merah tersebut nanti akan berangsur-angsur menjadi kecoklatan dikarenakan darah-nya yang mengering. Namun secara keseluruhan Ares merasa lega dan senang dengan karya indahnya tersebut.

"Bukankah mawarnya indah?" ucap Ares dalam keheningan, tidak berharap mendapatkan respon dari mana pun.

Ia sudah terbiasa hidup tanpa Luna, sudah lelah menanti sang kekasih akan kembali ke pangkuannya. Ia lelah, toh bagai-

"Ayah kumat sakit-nya?" pertanyaan tersebut menghentikan segala pemikiran kelam Ares; membawanya ke kenyataan bahwa ternyata sekarang Logan sedang berdiri di sampingnya.

Pertanyaan tadi terlontar dari Logan yang menatapnya dengan pandangan khawatir, mengerti serta tidak menghakimi. Ares terdiam, tidak lagi hatinya benar-benar mampu merasakan apapun karena kelelahan fisik dan mental yang ia rasa. Sering merasa hambar, namun sesekali ia bisa tertawa bila ada hal lucu dan sesekali hati-nya juga terasa sakit karena segala permasalahan yang ada.

Tiba-tiba Logan bertekuk lutut di depan Ares yang masih terduduk. Tangan Logan meraih tangan Ares; membimbing tangan Ares agar berada di atas kepala Logan; lantas sang adik-anak pun berucap, "KIta akan bik baik saja, Papa. Papa, jangan tinggalkan aku ya. Ayo kita hidup meski kadang hidup menyakitkan. Bukankah hidup ini memang ujian? Ujian kita berat berarti kita diharapkan jadi kuat, kan? Aku tidak sanggung menghadapi ini sendirian tanpa Papa. Papa, kenapa dada-ku terasa sakit? Anehnya menangis saja aku tidak bisa."

"....Iya, Alexander. Logan adalah Alexander anakku. KIta akan baik-baik saja," ucap Ares dengan datar namun penuh kelembutan; meski dalam batin ia tidak paham kegilaan apa yang baru ia katakan. Alexander? Kenapa nama tersebut terlintas di benak Ares saat menatap Logan tadi? Tangannya membelai lembut rambut Logan; benar-benar merasa bagai ayah yang sedang berusaha menenangkan anak-nya. Kini ketika Ares lebih sadar, ia bisa melihat banyak luka-luka sayatan di tangan kiri Logan dengan pisau basah darah tergeletak tidak jauh dari Logan.

Ares mengatur napas-nya, melakukan beberapa kali teknik napas dalam dalam usahanya menjernikah pikiran. Jemari-nya berhenti membelai rambut Logan; disusul ia memberikan instruksi, "Kau mandi duluan. Bersihkan dirimu, Nak. Ayah akan mandi setelahmu. Lalu kita akan makan bersama dan meminum herbal yang bisa menenangkan pikiran. "

Logan mengangguk tanpa menatap ke Ares; masih tampak lesuh. Ia berdiri, ketika hendak berjalan ke arah kamar mandi, tangan Ares menghentikan Logan dengan cara menarik lengan Logan. Logan pun menatap sang Ayah-Kakak-nya tersebut dengan tatapan bingung. Ia tidak melakukan kesalahan, kan?

Ares memberikan senyuman tulus pada Logan sang Anak-Adik-nya tersebut. Ia berucap dengan nada lebih bersemangat, berusaha memotivasi Logan disaat bersamaan, "Terimakasih sudah berusaha melindungi Ayah kemarin. Logan sudah melakukan hal hebat. Kau pasti akan tumbuh jadi anak yang kuat kelak."

Usaha Ares terbayarkan dengan raut wajah Logan yang berangsur-angsur nampak lebih cerah karena semangat baru. Logan memberikan Ares sebuah anggukan lagi, namun kali ini lebih bersemangat. Bila sudah begini, meski dalam kegelapan dan sang kekasih Luna belum ada di sampingnya; Ares tetap mampu berusaha mempertahankan semangatnya. Demi Logan juga; Ares harus menang di kehidupan sekarang. Ayolah berikah dia kejayaan sesekali, Novel Bajingan. Apa kurang cukup kematian tragis-nya di kehidupan-kehidupan sebelumnya?

***

Dua hari setelahnya Kekaisaran Esezar tengah mengalami guncangan berita yang besar. Segala media menyiarkan kabar kematian dua pangeran putra dari Permaisuri Minerva. Banyak rakyat mengecam kedua pangeran tersebut, namun kebanyakan tidak menduga bahwa kedua pangeran akan kehilangan nyawa secepat ini. Kedua pangeran di kabarkan dibunuh saat sedang berburu di hutan; ditemukan meninggal dalam keadaan mengenaskan. Dikabarkan pula pihak istana akan melakukan pemakaman secara privat. Di sisi politik banyak yang mengaitkan bahwa kematian tersebut erat kaitannya dengan perebutan kekuasaan; serta dalang di belakangnya masih di selidiki. Di titik ini aman dikatakan bila seluruh penduduk Esezar sudah mengetahui berita besar tersebut.

***

Di Istana Utama dari Kekaisaran Esezar, sang Kaisar William nampak tengah bahagia dimana seolah semua telah ada di tangannya. Kebahagiaan yang membuat ia tidak perduli bila rambut pirang panjangnya tampak berantakan, sedang mata khas keluarga kerajaan yang berwarna hijau cerahnya memacarkan ambisi tiada henti. Ia menganggap 'alat ciptaan-nya' dengan sang penyihir Irene telah mengalami kesuksesan. Alat yang dimaksud adalah anak yang dikatakan hasil antara mereka berdua, yang mana keduanya pernah sepakat untuk memiliki anak bersama agar kelak keturunan sang Kaisar memiliki energi sihir (disebut 'Mana') yang tinggi, sedang Irene akan mendapatkan harta serta kekuasaan yang berlimpah. Rencana gelap yang mereka susun berdua, terlepas dari sang Kaisar yang sudah memiliki Permaisuri, pun selanjutnya lahirnya Ares dan Logan.

Tangan kanan sang Kaisar memegang minuman alkohol berwarna merah, duduk megah di kursi kamar pribadinya, selanjutnya dari bibirnya terucap, "Kau lihat kan, Irene? Anak kembar-ku memang bisa diandalkan. Mereka sukses memusnahkan anak-anak Minerva. Sedikit lagi aku sudah bisa melengserkan wanita itu."

Anak kembar yang Kaisar maksud adalah Ares dan Logan, sedang 'wanita itu' adalah sang Permaisuri. Pernikahan Kaisar William dengan Permaisuri Minerva memang hanya pernikahan politik, sehingga lebih diberlakukan bagai bisnis dan politik. Kaisar William jugalah yang memberikan tugas agar Ares dan Logan membunuh pangeran pangeran lain; meski awal-nya ia sempat terkejut kalau ternyata Irene melahirkan dua anak. Ia dan Irene serta para pendukungnya memang jauh lebih kuat dibandingkan sang Permaisuri Minerva, membuat mereka tidak terlalu kesulitan untuk membuat celah kesempatan agar para pangeran dari sisi sang Permaisuri Minerva dapat terbunuh. Rencana yang terbukti berjalan lancar.

Kaisar William menyeringai licik, "Cobalah lebih giat, Irene Sayang. Mungkin saat wanita itu lengser, aku bisa menjadikanmu sebagai Permaisuriku baruku. Tunjukkan kau pantas untuk posisi itu." Tidak perlu seorang jenius untuk tahu bahwa ajakan tersebut juga merupakan ajakan politik, tidak ada rasa kasih di antara keduanya.

Irene sesekali memainkan rambut hitam-merah panjangnya, sepasang iris mata merah mudahnya memancarkan ke-netralan. Ia berada di kursi khusus untuknya, menyunggingkan senyum tipis tanpa perlu berucap apapun, selain membatin bagaimana ia tidak lagi percaya dengan bualan sang Kaisar. Terlambat untuk mengubah takdir perihal kelahiran Ares dan Logan. Irene tidak pula sampai hati untuk berusaha melenyapkan darah dagingnya sendiri. Dalam lubuk hatinya, ia sudah lama menentukan jalan baru yang ia diam diam buat di belakang sang Kaisar.

Wajah Kaisar William tiba tiba berubah menjadi garang, "Aku tetap belum bisa sepenuhnya mengampunimu karena menyembunyikan kenyataan kalau kau hamil kembar. Rencanaku hampir berantakan."

Selama ini Kaisar William terus membangun rencana dengan Ares sebagai boneka atau alat barunya, dengan Ares yang sebagai anak tunggal antara dirinya dan Irene. Penamaan untuk Ares saja sudah mereka rencanakan jauh hari, namun nyatanya Irene melahirkan anak kembar. Awalnya Kaisar William ingin membunuh Logan agar tetap memilik satu anak, namun ada hal lucu yang menghentikannya kala itu.

Kaisar William berdecih 'tch' kesal, kemudian melanjutkan dengan seringai mengejek. "Beruntung sujud permohonanmu untuk membiarkan anak kedua Logan hidup telah mampu membuatku tertawa. Kubiarkan lah kalian main mainan keluarga. Hanya camkan baik baik tujuan awal kita tetap tidak ada perubahan."

Irene berusaha memasang paras netral, tidak menunjukkan isi hatinya yang makin muak dengan sang Kaisar. Ia hanya membatin, [Tidak ada yang main keluarga keluarga-an di sini, Pak Tua. Lelucon sesungguhnya adalah lelaki sepertimu, yang merasa sangat percaya diri dengan kemampuannya hingga meremehkan orang lain. Kau jadi sering lengah tanpa sadar. Yang kau kira bisa selamanya kau injak, kelak akan jadi duri yang menusukmu hingga ke jantung.]

***

Di antara pepohonan indah asri di dalam hutan, nampak seorang remaja muda berusia 11 tahun dengan surai hitam acak acakan panjang yang diikat kuncir satu atas, pun ditutup oleh tudung jubah guna untuk menutupi sepasang mata hijau cerah khas pupil runcing anggota kerajaan. Remaja tersebut adalah Ares yang tengah berjalan menelusuri jalan setapak untuk menuju kota terdekat guna mencari makanan demi Logan sang adik- ok, anak. Logan lebih senang menganggap ia sebagai ayah. Tanpa bisa ditahan, ingatan lamanya perihal awal mula kehidupannya di sini pun terngiang. Ingatan yang membuat ia terkekeh pelan tanpa humor, membuat paras khas remaja mudanya nampak berpikir lebih dalam.

***

Flashback

Ia tidak pernah lupa dengan kehidupannya ketika ia masih menjadi Levi, teringat jelas setiap detik di sana sehingga awal ia lahir di dunia penuh sihir ini terasa bagai candaan tanpa humor, bahkan ia kira ia sedang bermimpi atau dikerjai oleh Tia istrinya. Rasanya begitu konyol sehingga di awal ia pertama kali hidup sebagai Ares. Bagaimana mungkin hal semacam fantasi terjadi di dunia nyatanya?!

Kala itu ia terbangun di tempat tidur yang terlalu nyaman, belum ingat tentang kematiannya, kemudian ia merubah posisi menjadi duduk di tempat tidur dengan warna dominan hijau tua dan keemasan, hanya untuk merasa amat terkejut!

"HAH?! Rambutku kok jadi panjang?! Aku jadi wanita atau bagaimana?!" ia terlalu kaget dan takjub karena rambut hitam panjang acak acakan mengantung jelas dari kepalanya. Ah ya, suaranya masih suara miliknya namun terasa lebih rendah dan lebih sedikit serak. Masih suara laki laki.

Jari jarinya memeriksa apa itu wig palsu yang dipasangkan ke kepalanya? Bukan! Lanjut ia memegang dadanya sendiri dengan horror. Beruntung tetap dada lelaki pada umumnya. Tidak sampai di situ, ia beranjak dari posisinya, sudah jelas ingin kabur dari kejadian yang baginya seperti mimpi. Mungkin ia akan sadar kalau ia melompat jatuh dari jendela?

Ia berlari ke arah ke jendela di ruangan megah tersebut, membuka jendela besar dan hendak melompat tapi terhenti karena ketinggian dari ruangan tersebut. Tunggu! Ini ruangan kamar biasa atau kamar dalam menara?!

"APA INI?! Tinggi sekali! Menara, kan?! Muncul kalian yang membuat prank ini! Tidak, mungkin ini mimpi. Lebih baik aku melompat-"

Rencananya digagalkan oleh orang yang menganku sebagai pengawal pribadinya, juga orang tersebut meminta maaf karena masuk tanpa banyak basi basi ke kamarnya dikarenakan suara kegaduhan. Itulah sekilas awal bagaimana seorang Levi menjadi Ares Frederick de Jove, yang merupakan anak haram sang Kaisar William dengan sang penyihir Irene.

Sifat pemberontak serta sulit diatur juga kerinduan Ares pada istrinya sungguh menyusahkannya dalam adaptasi di awal, membuat banyak nasib tragis serta jebakan musuh melanda dirinya. Ia pernah mendapatkan julukan sebagai Pangeran Yang Paling Tersegel dikarenakan dalam tubuhnya di masa itu terdapat ratusan segel yang mencegahnya untuk berontak dari kuasa Kaisar William.

Keputusasan yang makin menenggelamkannya saat itu sirna ketika ia tahu bahwa jiwa sang istri Tia berada ditubuh puan bernama Luna. Luna dan Ares? Seketika itu ia teringat novel 'Freedom in Her Eyes' yang pernah Tia ceritakan padanya, sayangnya selalu sebagian sebagian, membuat Ares tidak tahu kisah sesungguhnya. Perasaannya membuat ia berusaha meraih Luna, namun justru puluhan tragedi menanti serta menggagalkan rencananya. Ia lupa pada kehidupan yang keberapa, namun ucapan Luna saat itu masih tergiang jelas di benaknya.

"Ares, hiduplah di jalan yang kau mau. Kelak setelah ini, kau harus bertahan hidup. Bertahan hidup di jalan yang kau mau. Jangan lupakan ucapanku ini," itulah ucapan Luna dengan darah yang menetes dari kedua bola mata Luna yang telah dicongkel oleh musuh mereka.

Segelintir ingatan ingatan saja yang mampu ia ingat, selebihnya hanya seperti bayangan penuh kabut tanpa gambar dan suara.

Flashback usai

***

Di antara keramaian lomba seni lukis di balai kota; Luna (9 tahun) sudah tampak menyelesaikan lukisannya. Ia masih was-was bila akan dijemput oleh pihak istana untuk menjadi seniman di sana, belum lagi was-was pula bila Leon tiba-tiba muncul dan mengusik hidup-nya lagi. Namun di sisi lain ia tidak bisa menghentikan diri menjadi seniman. Dengan menjadi seorang seniman, ia berharap ia akan mendapatkan banyak fans/pendukung; sehingga ia akan memiliki pengaruh lebih besar, yang nantinya menguatkan posisi dan status-nya.

"….Tapi berita macam apa ini?" gumam Luna sembari menunduk, teringat tentang berita kematian kedua pangeran. Bukankah ini terlalu cepat? Genggaman tangan Luna pada kuas ditangannya pun makin erat, berusaha menahan segala gejolak emosi.

Seingatnya Ares biasa-nya membunuh para pangeran tersebut ketika usia Ares menginjak 14 tahun. Ares lebih tua 2 tahun daripada dirinya; jadi Ares seharusnya sekarang masih berumur 11 tahun, kan? Plot di dunia ini berjalan jauh lebih cepat daripada biasanya. Ugh. Waktu Luna juga rasanya makin menipis saja disaat bersamaan; khawatir segala rentetan tragedi datang ke ia yang masih 9 tahun dan belum siap ini.

Terlepas itu semua; Luna mengepalkan tangan di depan dada, mengucapkan kata kata penyemangat pada dirinya sendiri di dalam batin; bahwa kali ini ia harus menang demi semuanya. Setelah merasa sudah menguatkan diri dan kebetulan para juri memberikan waktu istirahat; Luna segera turun dari panggung seni lukis. Ia ingin membeli makanan di area langganan-nya, percaya kalau makan dapat meningkatkan mood.

Selayaknya takdir yang memang sudah paten terjalin, Luna berjodoh dengan toko kue kesukaannya! Kemarin kemarin tokonya tutup, namun kali ini tokonya beroperasi! Luna berdiri di depan toko tersebut, menatap toko tersebut bagai toko tersebut adalah segalanya. Ugh, Luna suka sekali dengan makanan yang manis manis memang! Tangan Luna segera merogoh kantung saku-nya, hanya untuk berakhir kekecewaan karena uangnya ketinggalan! Ah! Ceroboh sekali! Paras cantik-nya pun menunjukkan ekspresi panik dan kecewa.

"Jelek, mau kutraktir?" sebuah suara berisikan ajakan terdengar. Suara yang amat tidak asing di benak Luna; di segala kehidupannya.

Suara tersebut tiba tiba terdengar di samping Luna, membuat bulu kuduk Luna bagai berdiri dikarenakan ia tahu benar siapa pemilik suara itu. Demi segala kehidupan dan kematian-nya, itulah suara yang tidak pernah bisa Luna lupakan. Suara Ares, namun Ares yang masih di usia belia. Berusaha menenangkan diri, Luna memberanikan diri untuk menoleh ke arah Ares; mendapatinya yang kini sedang menggunakan tudung. Jelas untuk menutupi mata hijau cerah khas keluarga kerajaannya itu, kan?

"Luna gak suka ditraktir orang asing!" ucap Luna dengan nada anak anak normal yang berusaha Luna buat buat, toh selama ini hanya dia kan yang ingat masa lalu sebagai Levi dan Tia? Ia juga ingat ucapan Emma sang mama kalau ia harus mengucapkan isi hati-nya yang sesungguhnya di saat yang tepat. Tidak dalam kondisi ia masih lemah seperti ini. Ia sungguh ingin memeluk Ares dan berharap Ares akan mengatakan mantra kalau semuanya akan baik-baik saja; namun sekarang bukanlah waktunya.

"…."

"…." Kenapa ada jeda diam di antara kami, hanya saling pandang meski Luna tidak bisa menatap langsung matanya-. Eh?! Tiba tiba Ares menarik tudungnya ke bawah, membuat Luna bisa menatap mata hijau cerahnya, detik ketika mata keemasan Luna menatap mata hijau cerah Ares. Luna bisa membaca tatapan kesal yang Ares berikan pada kepadanya. Hei! Apa hak dia untuk kesal sekarang?! Kan orang bebas mau menerima atau menolak ajakan?!

"Ambil uang ini untuk beli kue itu. Tunggu sampai kau kuberi hukuman, Wanita Nakal," ucap Ares dengan nada terdengar kesal, mengagetkan Luna yang merasa…

….itu nada suami-na ketika ngambek dulu? Tidak mungkin. Hanya Luna saja kan yang mengingat kisah masa lalu, kan? Luna menangkap uang yang dilemparkan kepadanya, tidak pula Luna menghalangi Ares berjalan pergi meninggalkannya. Luna berdecak sebal dan geleng geleng kepala. Kebiasaan. Ares kalau kesal keseringan pergi begitu saja dari dulu, jarang mencoba membahas masalah dalam dalam. Kapan bocah itu anak lebih dewasa?

"Serahlah. Mau beli makan saja!" Luna menjulurkan lidah ke arah Ares pergi tadi, kemudian memasuki toko untuk membeli kue-kue yang ia mau, sembari menyakinkan diri kalau menyembunyikan segalanya dari Ares di waktu sekarang adalah lebih baik?

Hehehe. Luna berusaha menenangkan diri, tetap berusaha merasa senang hati menerima uang cuma-cuma dari Ares. Tidak boleh menolak rezeki. Hm, sebenarnya di dunia manapun dan kapanpun, bersama Ares bisa memiliki banyak potensial. Ia tetaplah si 'pemain utama laki laki', kan? Sudahlah! Ayo makan dulu. Oke. Siapa yang hendak ia bohongi di sini? Ia amat merindukan lelaki yang merupakan suaminya di masa lalu tersebut!

Teriakan penjual kue bagai tidak ia dengarkan sebab ia tidak lagi merasa butuh kue tersebut; ia yang kini memutuskan untuk berlari meninggalkan toko, meninggalkan pesanan kue yang sudah ia bayar. Luna mencari ke sana ke mari, berusaha menemukan Ares. Haruskah ia berteriak? Tidak, nanti akan mengundang masalah menjadi lebih besar karena jadi perhatian umum? Ia terus berlari hingga memasuki gang sempit sampai tanpa sengaja terpeleset dan jatuh.

"Kemana sih Ares bodoh itu? Tidak juga, kurasa aku lebih bodoh," gumam Luna, masih di posisi duduk terjatuhnya; dengan pandangan menunduk bawah, menatap ke jalanan kotor tempat ia terjatuh.

Sebuah tangan terulur ke arah Luna, seolah ingin membantu ia berdiri. Ketika Luna mengangkat dagunya untuk menatap siapa yang memberikan uluran tangan; ia mendapati sosok anak berambut merah muda tua pekat hingga sampai mirip warna merah? Anak tersebut nampak seumuran dengan Luna?

"Aku Alex, bukan Ares. Kebetulan Ares itu nama ayah-ku. Menarik, kan? Sini kubantu berdiri, Nona Manis," ucap anak perempuan tersebut? Ia perempuan, kan? Model rambut dan gaya bajunya seperti laki-laki. Alex memberikan senyuman ramah pada Luna, sayangnya nama Alex tersebut amatlah tidak asing.

"….Jangan katakana kau saudaranya Leon," ucap Luna dengan nada waspada seketika, menolak uluran tangan tersebut dan memilih berusaha berdiri sendiri.

***

Bersambung