"Karin. Mari kuperkenalkan pada kepala jurusan kita. Beliau sudah pulang dari tugasnya di luar Kota,"
Gedung berdominasi warna hijau itu disesaki oleh remaja yang tengah berlalu lalang di sepanjang koridor. Sebagian dari mereka ada yang mengapit beberapa buku di dadanya, berjalan beriringan bersama teman satu geng, berteriak histeris saat bersisian dengan pria yang ditaksir, dan ada pula yang hanya bengong meratapi judul skripsi yang tak kunjung di-ACC.
Sosok tinggi bernama Karin itu dibawa ke sebuah ruangan yang selama empat hari belakangan ini kerap menjadi lapak kesehariannya. Sebagai dosen baru, ia harus lebih mempelajari seluk beluk kampus serta apa-apa saja yang harus ia lakukan pada saat proses pembelajaran agar mencapai hasil maksimal.
"Guin. Apa tidak bisa nanti saja? Sebentar lagi aku ada kelas,"
Guina. Wanita berambut sebahu itu terpaksa menghentikan langkah di depan sebuah ruangan yang bertuliskan Prodi Ilmu Komunikasi, sesaat setelah Karin mencengkram pergelangan tangannya sangat erat.
Ini bukan yang pertama kali Karin memasuki ruangan tersebut. Hanya saja, kali ini ada sebuah atmosfir yang berbeda. Karin merasakan aura dingin yang menyengat tulang. Gegas ia memundurkan langkah, seakan menolak ajakan temannya untuk diperkenalkan pada kepala jurusan yang selama ini Guina gembar-gemborkan.
"Ck! Kau hanya grogi. Sudah, ayo!"
Tanpa ingin paham dengan kondisi konconya, Guina yang berstatus sebagai sekretaris jurusan itu pun mengetuk pintu dan langsung masuk setelah suara berat menyapa dari dalam sana.
"Ayo," titahnya sekali lagi kemudian berjalan mendekati sebuah meja besar yang berada di sisi jendela.
Deg!
Tanpa Guina sadari, bahwasanya wanita yang berada di belakangnya sudah menjelma sebagai patung batu. Sepasang netranya membulat kunci dengan bibir terangkat tiga centimeter.
Hati memang organ yang paling sensitif untuk merasakan sesuatu. Benar saja. Karin begitu terperanjat saat menangkap sosok mana yang disebut-sebut sebagai Kepala Jurusan Ilmu Komunikasi tersebut. Seorang pria dengan kemeja hitam dan dasi marun itu tampak tengah membolak-balikkan kertas di tangannya. Sama sekali belum mengetahui siapa yang datang.
Ya, dia adalah Setyo Wijaya. Seseorang yang telah menghilang dari hidup Karin selama enam tahun lamanya.
Karin terkesiap, berusaha berputar haluan. Sialnya, Guina sudah lebih dulu menahlil namanya. Membuat sang kepala jurusan tersebut menjungkitkan sebelah alis.
"Karin. Ayo, sini!"
Mendengar nama yang tak asing keluar dari bibir Guina, Setyo sontak menaikkan kepala dan mencari objek tersebut. Keterkejutan yang sama juga dialami oleh Setyo. Dadanya bergemuruh hebat saat menyaksikan wajah wanita yang dulunya kerap ia belai lalu menghilang, kini hadir kembali.
"Ini orang yang Ibu maksud sebagai dosen baru kita?"
Setyo tak habis pikir. Ia jadi menyesal kenapa sempat tidak teliti memeriksa data dosen baru yang pernah diserahkan Guina pada dirinya. Andai saja kala itu ia lebih memerhatikan nama serta foto yang tertera, pastilah kejadiannya tak akan seperti ini. Setyo pasti sudah lebih dulu mencari sosok Karin, jauh sebelum pihak mereka menerima perempuan itu sebagai dosen baru untuk mata kuliah Public Relations.
"Iya, Pak. Ibu Karin merupakan teman sekelas saya sewaktu kuliah dulu," dengan bangga Guina memperkenalkan orang yang menjadi sahabatnya selama mengenyam bangku pendidikan.
Bukannya Setyo hanya seorang guru honor? Kenapa dia bisa ada di sini? Karin juga ikut menyesal karena tidak bertanya lebih lanjut pada Guina soal pembesar-pembesar yang ada di jurusan mereka. Namun siapa sangka? Karin juga tidak pernah mengira bahwa guru yang dulunya pergi pagi pulang petang itu dapat bertahta menjadi kepala jurusan di sebuah Universitas. Andai waktu bisa diputar, Karin tak akan sudi membiarkan mata sepasang mantan suami istri itu kembali beradu pandang.
"Karin, Ayo!"
Kesadaran menghampiri Karin setelah kenangan buruk di masa lalu sukses terulang. Ia menatap sosok yang memandangnya tanpa kedip. Berusaha menetralkan debaran jantungnya lalu berjalan menuju meja kebesaran Setyo.
"Karin Angeli,"
Tak ingin dianggap sebagai seorang pengecut, dara bertubuh jenjang itu menjabat tangan Setyo di hadapan Guina. Senyum tipis ia hadiahkan pada pria yang sempat menjadi tambatan hatinya tersebut. Bayang-bayang kekejaman Setyo kembali berlarian dalam kepala.
"Setyo Wijaya. Kepala jurusan Ilmu Komunikasi,"
Tanpa membuat perjanjian, rupanya kedua belah pihak itu sudah mengerti tentang mereka yang harus berpura-pura tidak mengenal antara satu sama lain. Sepasang netra Karin menyala. Kalau bukan karena ingin mengejar cita-cita, pastilah ia lebih memilih untuk mengundurkan diri dari kampus itu.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak Setyo. Karena saya masih memiliki kelas," paras Karin tidak semerah tadi. Namun bukan berarti kebencian itu ikut memudar juga.
"Tidak bisa. Sebagai dosen baru, saya harus mengetahui dulu sejauh mana pengalaman dan pengetahuan Anda. Ibu Guina, Ibu bisa keluar terlebih dahulu,"
Sekujur tubuh Karin menggeletar. Rupanya Setyo tidak berubah juga. Karin tahu bahwa semua ini merupakan akal-akalan lelaki itu agar mereka bisa kembali bercakap-cakap.
Guina membungkukkan badan kemudian berlalu meningalkan dua manusia tersebut. Atmosfir ruangan kian menusuk. Bukan karena AC-nya yang terlalu dingin, melainkan karena bertemunya kembali sepasang mantan suami istri yang telah lama berpisah itu.
"Duduk," titah Setyo.
Setelah memastikan bahwa pintu telah tertutup rapat, Setyo berdiri persis di belakang Karin. Tangannya ia tempelkan pada bahu dara tersebut. Membuat Karin membelokkan kepalanya ke belakang.
"Ke mana saja kau selama ini, hem?" sebuah pertanyaan yang tak diharapkan mencelos.
Karin sendiri merasa risih. Ia membangkitkan tubuh lalu menangkis lengan Setyo. Pria itu memang lebih tinggi jabatannya daripada Karin, tapi bukan berarti ia dapat memperlakukan Karin seenak jidatnya saja.
"Kau berkata bahwa kau akan melihat sejauh mana pengetahuanku," kini, keduanya saling bersitatap.
"Eum, sepertinya aku salah bicara. Yang kumaksud adalah; aku ingin tahu sejauh mana kau meninggalkanku selama ini,"
Karin jijik melihat sikap keras kepala yang tak kunjung hilang dari mantan suaminya tersebut. Ia tidak suka jika sesuatu yang sudah berlalu diungkit kembali.
"Bukan urusanmu!"
Karin sadar bahwa tidak mudah baginya untuk bersaing dengan orang-orang di luaran sana. Ia sudah berjanji pada diri sendiri kalau ia akan memanfaatkan kesempatan diterima sebagai dosen salah satu universitas dengan sebaik-baiknya. Menjadi seorang professor sudah tertanam dalam dirinya sejak masa putih abu-abu dulu. Hal ini lah yang membuat Karin tak boleh gegabah apalagi sampai mengundurkan diri hanya karena bertemu dengan lelaki yang kala itu menendangnya dari rumah.
Setyo menyunggingkan senyum mengejek. Betapa ia tahu bahwa Karin terlampau mencintainya. Karin banyak perubahan. Perempuan itu lebih jenjang, berisi, dan semakin cantik. Terlebih saat ekspresi merengut terlukis di rupa. Setyo menyukai raut yang baginya sangat menggemaskan itu.
"Tidak menyangka bahwa kita akan bertemu kembali. Kau tahu? Itulah yang dinamakan dengan jodoh," Setyo menyorot mata Karin yang membesar.
"Maaf, Bapak Setyo Wijaya. Masa jodoh kita telah usai,"
Puas sudah Karin dicaci maki oleh lelaki di depannya tersebut. Cukup kenyang dia menelan seluruh hinaan dari bibir Setyo. Sesuatu yang tidak ditelusuri lebih jauh lagi, memang akan menimbulkan kekeliruan. Dan, hal itu lah yang membuat pernikahan Karin dan Setyo berakhir seusai keduanya menjalankan kewajiban sebagai suami istri. Sebuah keadaan yang pada akhirnya menjadi Duka Malam Pertama.
"Aku permisi," tanpa peduli, Karin langsung keluar dari ruangan dan meninggalkan Setyo yang belum puas memandangi wajah manis sang mantan istri.
***
Bersambung