Seseorang tengah memainkan nasi dengan mulut sendok. Matanya menyorot sayu pemandangan yang berada di depan. Aroma sup buntut yang begitu ia suka, seketika tidak menggoda. Pusing. Kepalanya terasa berat dan pikirannya melayang-layang.
Setyo. Pria itu masih saja mengingat ucapan mantan istrinya yang ternyata sudah memiliki kehidupan baru. Karin meninggalkannya sesaat setelah mengatakan bahwa ia punya suami dan dua anak. Membuat sekujur tubuh Setyo mendadak panas. Hatinya robek. Jiwanya terguncang. Pupus sudah harapan untuk kembali memiliki wanita yang sempat ia sia-siakan kala itu.
"Mas, kenapa nasinya tidak dimakan, sih?!" tanya wanita berambut pendek yang duduk bersebrangan dengan Setyo.
Sesuai dengan surai gonjesnya, sosok itu bernama Dora. Istri sambung Setyo setelah ia kehilangan Karin. Dora menilik wajah suaminya yang tidak seperti biasa. Tampaknya, Setyo menyimpan beban. Meja makan hanya dihiasi dengan dentingan sendok yang beradu dengan piring kaca. Menimbulkan tanda tanya di benak Dora.
Satu detik.
Dua detik.
Hening.
Kepala Setyo sama sekali tidak terangkat. Lelaki itu senantiasa melamunkan kejadian tadi siang di sudut fakultas Ilmu Komunikasi. Telinganya seolah tuli. Tak mendengar panggilan sang istri.
"MAS!"
"Eh. Iya, Karin? Ada apa?" Setyo kelabakan.
Deg!
"Apa kamu bilang? Karin?" Dora membeliakkan mata. Terkesiap dengan sebuah nama yang baru saja dilafazkan oleh Setyo.
Sementara itu, Setyo sontak kebingungan. Saking fokusnya memikirkan Karin, sampai-sampai dia refleks menyebut nama mantan istrinya itu di depan Dora. Setyo merubah posisi duduknya. Sekilas ia melihat paras Dora berubah masam. Bibirnya mengkerucut dengan mata menyipit.
"Ehm. Itu, maksudku…" Setyo gugup. "…aku bertemu bocah malang tadi siang. Namanya Karin dan dia ditinggal oleh ibu dan ayahnya karena meninggal," lanjutnya berbohong.
Mati!
Setyo meyakini bahwa wanita yang dinikahinya empat tahu lalu itu tak akan langsung percaya. Ia tahu betul watak Dora. Perempuan itu memiliki rasa cemburu yang kuat.
Pernah suatu ketika, Setyo menolong wanita hamil yang tergeletak lemah di pinggir jalan dengan memasukkannya ke mobil guna dilarikan ke rumah sakit. Saat Setyo mengabarkan hal itu pada Dora, istrinya itu langsung menyusul mereka dan memaki perempuan malang tersebut. Sungguh peristiwa memalukan yang masih menempel dalam ingatan Setyo. Di mana ia dan Dora menjadi sorotan orang-orang yang berada di rumah sakit. Semunya menyorot mereka penuh jijik.
"Ehm." Dora berdehem. Tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Rumah yang mereka tempati begitu sepi. Hanya diisi oleh sepasang suami istri itu dan para asisten. Keduanya belum dikaruniai anak. Hal itulah yang membuat Dora kerap khawatir, kalau Setyo akan mencari perempuan yang bisa memberi ia keturunan dengan cepat. Dora tidak akan membiarkan hal itu terjadi dengan selalu mengintai keberadaan Setyo dan orang-orang di sekitarnya. Jujur saja, selama ini Setyo memang tidak pernah mendua meskipun banyak wanita yang jauh lebih apik daripada Dora. Namun setelah pertemuannya dengan Karin, membuat hati Setyo seakan tertarik. Meskipun mantan istrinya itu sudah punya keluarga baru, bukan berarti bisa menghapus rasa Setyo sepenuhnya. Karena perasaan Setyo terkubur setelah berpisah dari Karin dan kembali terbongkar saat ia berjumpa kembali dengan perempuan itu.
"Mas lanjutkan saja makannya. Aku duluan,"
Ting!
Dora menyentak sendok di atas piring. Melenggang pergi meninggalkan suaminya yang sama sekali belum menyentuh nasi. Begitulah sosok Dora jika sudah terbakar api. Dapat ditebak kalau permasalahan tadi tak akan berhenti sampai di sini.
***
"Selamat pagi, Pak," Guina memasuki kantor jurusan seraya tersimpul manis. Menyapa atasannya yang tengah sibuk dengan layar putih. Entah apa yang dilakukan.
Tak lama setelah itu, Karin masuk dan langsung menghampiri Guina di meja kerjanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan kepada teman karibnya itu. Tak sengaja, matanya bertabrakan dengan mata Setyo. Pria itu memandangnya penuh sayu. Melihat Karin sama dengan merajut luka di jiwanya.
"Hei. Kau sudah datang rupanya," seru Guina antusias.
Kedua dara itu lantas ngobrol sebelum jam kerja dimulai. Kantor itu diisi oleh petinggi-petinggi jurusan dan meja sang kepala jurusan berada agak jauh dari bawahannya, tapi masih dalam ruangan yang sama. Sedangkan tenaga pengajar seperti Karin memiliki ruangan tersendiri. Namun, bukan berarti dosen-dosen lain tidak boleh masuk ke kantor jurusan. Selagi ada keperluan, maka hal itu diperbolehkan.
"Aku ingin minta jadwal mengajar untuk semester III. Apakah kau menyimpannya?" Karin melempar pandangan ke arah Guina. Perempuan itu tampak segar dengan polesan make up naturalnya.
"Tentu. Akan kukirim filenya sekarang,"
Jemari Guina sibuk memijat-mijat layar ponselnya. Ia mencari kontak Karin dan langsung mengirimkan jadwal yang diminta barusan. Maklum, Karin merupakan dosen baru. Dia pasti belum ingat jam berapa dan ruangan mana yang akan ia ajar.
"Terimakasih, Guin. Kalau begitu aku duluan, ya,"
Karin melepas kepergiannya dengan senyum hangat. Gegas ia keluar karena tak ingin berlama-lama di ruangan dingin, tapi terasa panas itu.
Sementara itu, Guina yang mendapati Karin tidak berpamitan dengan Kepala Jurusan langsung menubrukkan sepasang alis. Kenapa perempuan itu bersikap tidak sopan dengan atasannya sendiri?
Ketika mentari berada tepat di pusat kepala, Setyo menarik langkah menuju lapak parkir. Menicipi menu yang itu-itu saja di kantin kampus membuat lidahnya jenuh. Sesekali, perlulah ia berpindah tempat.
Mumpung jam makan siang masih panjang, Setyo tancap gas ke sebuah café yang tidak terlalu jauh dari lokasi kampus. Cacing dalam perutnya sudah berdemo minta jatah. Membuat Setyo menginjak gas mobilnya lebih dalam.
Sesampainya di sana, Setyo langsung dihampiri oleh seorang wanita berseragam hitam putih. Tak lain dan tak bukan sosok itu merupakan pelayan café yang sedang ditraining. Setyo memesan udang tempura dan nasi kari sebagai menu makan siangnya kali ini.
15 menit berselang, pelayan yang sama datang dengan membawa nampan di tangan. Tak lupa perempuan itu tersenyum sambil mempersilahkan Setyo untuk melahap makanan tersebut. Dengan senang hati Setyo menyambut.
Cita rasa nasi kari semakin sempurna tatkala dipadu dengan udang tempura dan saus asam manisnya. Lidah Setyo memproduksi cairan bening. Rempah-rempahnya menusuk indra penciuman Setyo.
Teplek teplek teplek.
Di tengah kenikmatan makan siangnya, tiba-tiba muncul sesosok pria bertubuh tinggi masuk ke café. Kemeja hitam dan pentofel mengkilapnya menambah kesan elegan. Membuat seluruh mata yang berada di sana menatap intens.
Setyo menelan paksa makanan yang sebenarnya belum lumat di mulut. Bukan. Ini bukan karena terpukau dengan ketampanan sosok laki-laki itu. Melainkan seseorang yang sekarang dilihat Setyo adalah bagian dari masa lalunya. Napas Setyo tercekat. Tanpa memedulikan makanannya, ia berlari menuju pria tersebut.
"Hei! Tunggu," Setyo berteriak seraya melambai-lambai.
***
Bersambung