Tepat sekali setelah Amera keluar dari ruangan kepala sekolah, bel istirahat berbunyi. Cepat-cepat tangan putih itu mengusap air mata yang membekas di pipi. Langkah Amera berbelok di toilet dan masuk ke dalam sana. Beniat untuk membasuh muka dan merapikan pakaiannya.
Amera menatap pantulan dirinya di kaca, dengan mata merah dan sedikit sembab. Untuk pertama kalinya ia berada di ruangan kepala sekolah karena masalah. Masalah yang sama sekali tidak ia perbuat.
Setelah merasa puas meratapi diri di hadapan kaca, Amera keluar dan menuju kelas. Masalahnya ini belum dan tidak diketahui oleh sekolah, hanya kepala sekolah yang mengetahuinya. Jika Amera keluar dengan mata menangis, pasti orang yang melihatnya akan bertanya-tanya. Tidak biasanya seorang Amera kembali dengan air mata setelah dipanggil oleh sekolah.
Amera menemukan Kinan yang tengah menidurkan kepalanya di atas meja. Perempuan yang merupakan sahabat Amera tersebut tengah menunggunya.
"Kinan!" panggil Amera pelan seraya menepuk pelan bahu perempuan tersebut.
Kinan spontan mengangkat kepalanya dan menatap Amera yang sedang tersenyum padanya.
"Amer. Udah selesai urusannya?" tanya Kinan seraya menyelipkan anak rambut di belakang telinga.
Amera mengangguk.
"Masalah olimpiade?" tanya Kinan lagi. Lagi-lagi Amera mengangguk sembari tersenyum tipis.
"Kinan, gue mau bolos," ucap Amera tiba-tiba. Namun, respon yang Amera dapatkan adalah wajah terkejut dari Kinan.
"Amer, lo bercanda 'kan?" sahut Kinan menatap sahabatnya tidak percaya. Selama dua tahun setengah, Kinan berteman dengan Amera, baru kali ini gadis itu mengajaknya bolos. Amera yang merupakan siswi berprestasi dan terpandang di sekolah, menolak tegas jika Kinan mengajak membolos, walaupun bercanda. Namun, kali ini ajakan bolos itu terlontar dari mulutnya.
"Kepala lo habis kebentur tembok? Iya 'kan?" tambah Kinan berseru.
"Anggap aja itu bener. Sekarang gue mau bolos, kalo lo mau ikut ayo. Ini ajakan unlimited," ujar Amera mengambil tasnya berlalu pergi.
Buru-buru Kinan menyambar tasnya dan mengejar Amera. Perjalanan mereka untuk keluar dari kawasan sekola tidaklah mudah. Karena ada beberapa pihak yang harus mereka hindari. Kinan berdecak kagum dengan kelincahan Amera, gadis itu baru pertama kali bolos melewati jalan belakang. Namun, anehnya Amera seakan telah ahli dalam hal ini. Perempuan dengan tinggi tubuh lebih dua senti dari Kinan, begitu paham dengan jalan belakang. Padahal selama Kinan berteman dengan Amera, gadis itu pernah berkeliling lingkungan sekolah di bagian belakang.
"Kita manjat tembok ini?" ucap Kinan menatap tembok tinggi di depannya.
Amera ikut menatap tembok tersebut hingga ke atas kemudian mengeleng pelan.
"Kinan, jangan bolos," ucap Amera menatap Kinan yang tengah memperagakan naik ke tembok.
Sontak Kinan menengok horor ke arah Amera. Perempuan itu benar-benar aneh, padahal beberapa menit lalu ia sangat bersungguh-sungguh ingin membolos.
***
Amera mengurungkan niatnya untuk bolos dan pulang. Memilih berdiam diri dan melamun di taman belakang sekolah bersama Kinan. Kinan tidak tahu yang sebenarnya terjadi pada Amera, gadis itu juga tidak menceritakan apapun padanya.
Suara isakkan yang terdengar, membuat Kinan spontan menoleh pada Amera. Benar saja, perempuan itu kini tengah menangis.
"Amer, lo kenapa nangis?" Kinan merubah posisinya menghadap Amera dengan tangan yang menangkup wajah Amera.
"Kinan, apa selama ini gue pernah jahat sama seseorang?" tanya Amera sembari mengusap air matanya.
"Jahat? Gak pernah gue lihat lo jahat ke orang. Memangnya kenapa? Ada orang yang berbuat jahat sama lo?" tanya Kinan beruntun.
Amera mengangguk, "Gue gak tahu kesalahan gue apa. Tapi orang itu bener-bener jahat."
"Maksud lo jahat kenapa? Gue gak paham, Am."
"Ada video yang menampilkan gue sama Kenzo di kamar hotel dan melakukan hal selayaknya suami istri. Padahal gue sama sekali gak lakuin itu! Tapi di awal video terekam jelas kalo gue sama Kenzo masuk di kamar yang sama."
Amera bercerita dengan tangis tersedu-sedu.
"Astaga, tapi lo bener sama sekali gak lakuin itu sama Kenzo 'kan?"
"Lo percaya sama video itu? Kenapa semua orang gak percaya sama gue!" teriak Amera mendorong tubuh Kinan hingga gadis itu terjengkang ke belakang.
"Amer, bukan gitu maksud gue. Gue percaya sama lo. Lo gak mungkin lakuin hal itu!" jawab Kinan bangun dan memeluk tubuh Amera.
"Lo percaya sama gue?" ujar Amera terisak di dekapan Kinan.
Kinan mengangguk, "Gue percaya sama lo."
"Ayah sama Bunda tadi ada di sekolah. Dan mereka percaya sama video itu. Bukan cuma Ayah sama Bunda, tapi juga kedua orang tua Kenzo. Mereka ada di sana. Dan besok gue bakal di tes ke dokter. Kalo terbukti gue lakuin itu sama Kenzo, gue bakal di keluarkan dari sekolah. Bukan cuma itu, tapi juga olimpiade akan digantikan sama orang lain," terang Amera dengan suara serak bercampur isakkannya.
"Gue yakin itu gak akan terbukti karena lo sama sekali gak lakuin hal itu. Jangan khawatir, itu semua pasti gak akan terbukti. Besok gue bakal ikut ke dokter, ya? Gue temenin lo di sana," ucap Kinan melepaskan pelukannya dengan Amera.
Amera mengeleng, "Gue gak papa sendirian aja, Kin. Besok lo harus tetep sekolah," tolak Amera.
"Tapi, Am—"
"Ayo ke kelas. Bel masuk udah bunyi," sela Amera berdiri dan menarik tangan Kinan agar perempuan itu segera berdiri.
Amera mengusap air matanya kemudian tersenyum pada Kinan. Keduanya berjalan meninggalkan taman.
"Am, apa siswa di sini udah tahu?" celetuk Kinan di perjalan mereka.
Amera mengeleng, "Mereka belum tahu. Hanya kepala sekolah sama beberapa guru yang tahu. Gue gak bisa bayangin kalau satu sekolah tahu video itu. Gue yakin mereka bakal benci dan jijik sama gue," jawab Amera.
"Baguslah kalo video itu belum kesebar dan jangan sampai ada guru yang bocor tentang ini," balas Kinan.
"Gue berharap begitu."
"Bentar, deh, jangan-jangan ada yang video-in lo, waktu lo masuk ke kamar Kenzo buat balikin ponsel dia. Lo ingat 'kan?"
Langkah Amera terhenti dan balik menghadap Kinan.
"Waktu ponsel Kenzo jatuh dan gue balikin ke dia?"
"Iya itu!" seru Kinan.
"Lo bener, Kin. Gue rasa orang ini sengaja fitnah gue dan video yang di kirim ke kepala sekolah udah dia rekayasa," balas Amera yakin, "Bakal gue cari sampai dapat! Apa alasan dia fitnah gue dengan video itu. Apa gue pernah jahat sama dia? Dan gue yakin, orang itu ada di sekolah ini," desis Amera bersungguh-sungguh.
Ia menjentikkan jari teringat sesuatu yang penting, "Nomor pengirim! Gue harus cari tahu siapa yang kirim video itu ke kepala sekolah!"
"Kinan, lo mau bantu gue 'kan?!"
Refleks Kinan menatap Amera lalu mengangguk cepat.