Olimpiade semakin dekat, tinggal menghitung hari. Para peserta yang mengikuti kegiatan tersebut mendapat waktu khusus dari pihak sekolah, yakni memperbolehkan mereka tidak mengikuti pelajaran di kelas dan belajar untuk olimpiade. Hal tersebut seperti sesuatu yang istimewa untuk peserta olimpiade. Namun, bagi Amer jika ia meninggalkan pelajaran di kelas yang sedang berlangsung rasanya berbeda.
Lagi pula belajar setiap detik membuat kepalanya mengepul. Jadi Amer memutuskan untuk tetap tinggal di kelas saja.
Sebuah ketukan membuat seisi kelas menoleh, tak terkecuali dengan Amer dan Kinan yang awalnya tengah fokus mengisi jawaban pada buku.
Seorang laki-laki masuk dan menghadap ke meja guru. Berbincang sejenak pada wanita paruh baya yang duduk di sana. Kemudian nama Amera disebut untuk maju ke depan. Kinan tersenyum kecil dan memberi kode untuk segera ke depan.
"Pasti Rey mengajak belajar bersama," bisiknya.
Laki-laki itu adalah Rey, tak heran jika belakangan ini ia begitu sering ke kelas Amer.
Amer berjalan ke depan, tepatnya pada meja guru dan Rey.
"Amer, Rey mau ajak kamu belajar untuk olimpiade nanti. Sekarang kamu bisa pergi sama Rey, ya. Semangat untuk kalian berdua. Sekolah mengharapkan yang terbaik pada kalian," ucap wanita tersebut dengan senyum manis.
Amer mengangguk cepat dan segera pamit untuk mengambil alat tulus di meja.
"Belajar, 'kan?" terka Kinan saat Amer tengah menyiapkan alat tulis yang akan ia bawa.
"Ya, seperti tebakan lo. Maaf, ya, gue gak janji nanti istirahat bisa balik ke kelas. Atau enggak lo ke tempat gue aja nanti," usul Amer.
Kinam tertawa pelan. "Enggak papa, gak usah minta maaf. Enggak, deh, gue gak mau ganggu kalian belajar. Semangat, ya, Amer!"
Amer tersenyum mengangguk dan segera keluar kelas menghampiri Rey yang sudah keluar lebih dulu. Laki-laki itu menunggu sembari mengamati lapangan.
"Rey," panggil Amer membuat sang pemilik nama menoleh.
"Udah?"
Amer mengangguk memperlihatkan barang yang ia bawa. Lalu mereka berdua berjalan menuju tempat tujuan.
"Ke perpustakaan?" tanya Amer.
"Hu'um, di sana udah ada yang lain," jawab Rey.
Orang lain yang dimaksud Rey adalah peserta olimpiade juga, tetapi mereka berada di olimpiade yang berbeda dengan Rey dan Amer. Rey dan Amer di percayakan untuk mengikuti tingkat internasional, yakni dari negara-negara luar. Mungkin karena potensi keduanya yang memungkinkan untuk di tingkat tinggi. Sedangkan peserta yang lain di tingkat nasional. Kedua olimpiade itu memiliki waktu pelaksanaan yang sama. Alhasil Rey dan Amer harus memberikan pada yang lain kesempatan itu.
"Rey, menurut lo kita bisa kali ini?" tanya Amer pesimis.
Rey mengernyit. "Kenapa? Lo tiba-tiba jadi pesimis," balas Rey.
Amer terkekeh pelan, tiba-tiba saja pertanyaan itu terlintas di kepalanya. Memang ini bukan pertama kali, tetapi yang kedua kali pada tingkat internasional.
Sesampainya di perpustakaan sekolah, keduanya segera bergabung dengan yang lain. Memulai kegiatan belajar sekaligus diskusi mereka. Rey dan Amer yang menjadi sumber pengetahuan. Banyak pertanyaan yang dilontarkan pada kedua orang tersebut.
Sebuah denting notifikasi dari ponsel Amer membuat empat orang di sana menghentikan ucapan mereka.
"Maaf, kalian bisa lanjut dulu," ucapnya kemudian beranjak menjauh dari sana.
Mengecek notifikasi ponsel miliknya. Sebuah pesan dari Kinan dan nomor tidak dikenal. Amer mendahulukan pesan dari Kinan.
'Amer, nanti lo pulang lagi gak ke kelas? Kalo enggak nanti gue anter tas lo ke sana'
Amer segera membalas pesan tersebut dengan bibir terangkat ke atas. Mengetikkan jawaban pada Kinan.
Setelah itu ia segera melihat pesan dari nomor tidak dikenal. Ia mengernyit bingung dengan isi pesan tersebut.
'Rencana selanjutnya akan berlangsung'
"Amer?"
Sontak Amer menutup ponselnya karena terkejut dengan suara itu. Kemudian menoleh ke belakang dan melihat Rey yajg berdiri di belakang.
"Rey."
"Lo gak papa?"
Amer segera mendekat pada laki-laki itu.
"Gue kaget," tukasnya dengan raut kesal.
"Lagian lo kelihatan tegang. Apa ada pesan-pesan aneh lagi?" tebak Rey.
Refleks Amer menatap wajah Rey.
"Kok lo tahu, Rey?"
"Jadi tebakan gue bener, ya. Ya, biasanya 'kan begitu. Orang-orang merasa paling benar di kehidupan ini dan membual seolah-olah orang lain salah, kecuali dia," balas Rey.
Amer mengangguk-angguk setuju dengan jawaban Rey.
"Oh ya, Maya dapat hukuman dari BK karena kejadian waktu lalu sama lo," ucap Rey yang baru teringat untuk menyampaikan pada Amer.
"Katanya Maya di skors, ya, selama satu minggu. Kinan juga udah kasih tahu tadi. Walaupun gitu, tapi bukan cuma Maya yang benci ke gue. Hampir sebagian dari sekolah ini. Jadi, ya, menurut gue gak ada yang berubah. Orang-orang kadang masih gosip soal video itu dan tepat di dekat gue," terang Amer dengan wajah meratap.
"Gue percaya sama lo, kok. Apalagi lo gak kenal sama laki-laki itu."
"Tapi Rey, gue selalu berpikir kalo ini tuh perputaran roda. Gak selalu orang yang sama berada di atas. Ada saatnya mereka di bawah dan, ya, kayaknya gue ada di posisi bawah itu. Mungkin ini jawaban dari harapan orang-orang yang benci sama gue."
"Tapi harapan gue gak terkabul, Amer," timpal Rey menatap lekat wajah perempuan di hadapannya. Amer tersenyum hangat, matanya sedikit menyipit.
"Harapan lo gak terkabul karena lo bukan termasuk orang-orang yang benci gue," jawab Amer tertawa. "Harapan lo itu pasti terlalu baik sampai kalah sama harapan buruk dari orang-orang yang lain."
"Hu'um, mungkin itu benar. Apa gue harus benci supaya harapan itu terkabul?" ucap Rey menatap lekat mata Amer yang melebar cantik. "Tapi, sayang, gue gak bisa benci sama lo."
"Rey, ayo lanjut lagi," sergah Amer segera meninggalkan Rey di sana. Memutuskan kontak mata dari Rey. Laki-laki itu terlalu menelisik ke dalam, sampai-sampai Amer menjadi salah tingkah.
Rey terkekeh pelan dan segera menyusul Amer. Duduk di sebelah perempuan tersebut dan melanjutkan kegiatan mereka yang tertunda. Kemudian bel istirahat berbunyi membuat dua orang yang bersama memilih untuk istirahat.
Rey menutup bukunya dan menoleh ke samping. Melihat Amer yang masih serius mengamati isi buku. Ia memandangi wajah cantik itu dengan saksama. Amer yang merasa ditatap menyudahi bukunya. Ia menoleh ke samping, tepat pada wajah Rey.
"Rey, mau istirahat dulu?" tanya Amer meminta pendapat.
Namun, yang ditanya tidak merespon. Rey mengalihkan pandangan ke lain arah dan menghela napas pelan. Ia balik menatap Amer dan tersenyum hangat.
"Amer, gue pengen benci sama lo," ucap Rey tiba-tiba. Namun, wajah Rey tidak memperlihatkan raut benci, malah ia tersenyum.
Amer mengernyit heran dengan laki-laki di hadapannya ini.
"Kenapa tiba-tiba? Ada sesuatu yang menjadi alasannya. Gue rasa tadi lo bilang gak bisa benci ke gue."
"Karena gue pengen harapan itu terjadi," jawab Rey dengan wajah serius.